Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRI Nanggala 402 ditemukan terbelah menjadi dua di kedalaman 838 meter perairan laut utara Bali pada Ahad, 25 April 2021. Empat hari sebelumnya, kapal yang membawa 53 personel Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia itu sempat dikabarkan hilang kontak saat hendak melakukan latihan tembak torpedo kapal perang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal buatan Jerman ini didatangkan ke Indonesia dan menjadi kapal tempur Angkatan Laut pada 1981 untuk menggantikan sejumlah kapal selam buatan Uni Soviet yang pensiun karena sudah tidak laik pakai. Majalah Tempo edisi 12 Oktober 1991 pernah mengulas makin menyusutnya jumlah armada tempur, termasuk kapal selam Indonesia, pada 1991 dalam artikel bertajuk "Kiat ABRI yang Kecil". Berikut ini ulasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggaran pertahanan dan keamanan terus merosot sejak 1969. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita I (1969-1974), anggaran untuk pertahanan mencapai 3,5 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Jumlah itu terus menciut menjadi 3 persen pada Pelita II, 2,5 persen pada Pelita III, 2 persen pada Pelita IV, dan 1,9 persen pada Pelita V. Berkurangnya anggaran pertahanan menyebabkan makin mengecilnya jumlah personel dan armada tempur. Pada 1991, genap 46 tahun usia Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, jumlah personel tentara hanya 445 ribu atau berkurang 100 ribu dibanding pada 25 tahun sebelumnya. "ABRI memang menghendaki postur yang kecil, efisien, efektif, profesional," kata Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno kala itu.
Toh, kondisi tersebut dikeluhkan oleh Direktur Politik dan Strategi Departemen Pertahanan dan Keamanan Laksamana Muda Wahyono. Menurut Wahyono, jumlah personel ABRI belum ideal. Porsi prajurit ABRI—tanpa polisi—terhadap populasi hanya mencapai 0,15 persen. Jauh lebih kecil dibanding negara tetangga. Di Malaysia, misalnya, porsinya 0,7 persen, di Muangthai 0,5 persen, dan Filipina hampir 0,8 persen. Keterbatasan personel itu terasa di jajaran bintara pembina desa atau babinsa. Semestinya ABRI punya 65 ribu babinsa sebagai ujung tombak pembinaan teritorial, sesuai dengan jumlah desa yang ada. Kenyataannya, rata-rata satu bintara membina lima desa.
Kekuatan tempur di laut juga minim. Menurut Wahyono, Indonesia setidaknya membutuhkan 60 kapal patroli jenis fregat untuk mengawasi perairan Indonesia yang mencapai 3 juta kilometer persegi. "Tapi kita hanya mempunyai 17 buah, belinya second hand lagi," ujar alumnus Akademi Angkatan Laut 1962 itu.
Armada kapal selam Angkatan Laut lebih mungil lagi. Secara geografis, Indonesia memiliki delapan pintu laut, di antaranya Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Selat Sunda, dan Laut Arafura. Untuk merondanya, Angkatan Laut hanya memiliki dua kapal selam andalan, Cakra dan Nanggala, keduanya buatan Jerman. Kapal selam satunya, Pasopati, buatan Uni Soviet yang dibeli pada 1960, sudah memasuki masa persiapan pensiun. Pada 1962, Indonesia pernah memiliki 12 kapal selam. Kapal selam buatan Uni Soviet tidak berusia lama karena dibeli dalam kondisi bekas.
Di udara, kekuatan Angkatan Udara pun terbatas. Dalam hitungan Wahyono, delapan pintu masuk itu harus pula dijaga masing-masing oleh satu skuadron pesawat buru sergap. "Sampai sekarang, kita baru punya tiga skuadron," ujarnya. Sebagai seorang militer, dia berharap perkakas fisik Tentara Nasional Indonesia bisa dimekarkan.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Madya Siboen mengakui minimnya armada pesawat tempur itu. Namun dia menyatakan jumlah tersebut masih cukup memadai. "Kalau dilihat dari segi ancamannya, kekuatan kita cukup," ucap Siboen. Seorang perwira penerbang lain mengatakan, meski jumlah pesawat tempur sedikit, dari segi teknologi tidak ketinggalan. Skuadron 3 TNI-AU, yang berpangkalan di Madiun, Jawa Timur, memiliki 12 F-16 Fighting Falcon yang mutakhir.
Berkurangnya jumlah personel paling dirasakan oleh TNI Angkatan Darat. Untuk mengatasi keterbatasan itu, Angkatan Darat berupaya meningkatkan mobilitas pasukannya. Seperti yang dilakukan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal K. Harseno yang membentuk pasukan bersepeda motor dengan radio komunikasi untuk pengamanan wilayah DKI Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo