Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi sedang rusak-rusaknya. Diberi mandat oleh undang-undang untuk memberantas korupsi, mereka malah main serong. Tidak semua pegawai memang. Tapi melihat rentang pelakunya—dari pegawai, penyidik, sampai Ketua KPK—sulit berharap Komisi akan gagah menghadapi koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar terbaru adalah ditangkapnya penyidik Ajun Komisaris Polisi Stepanus Robin Pattuju yang ditengarai menerima suap Rp 1,3 miliar untuk menghentikan perkara. Pemberi rasuah adalah Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M. Syahrial. Dalam perkara ini, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin disebut-sebut menjadi penghubung. Terungkapnya “kemitraan” Azis dan Syahrial (keduanya sama-sama politikus Partai Golkar) serta Robin membuktikan apa yang selama ini telah menjadi desas-desus: penyidik bermain mata dengan politikus. Kerja sama ini membuka kesempatan kepada penyidik untuk melakukan tebang pilih perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan sebelum muncul perkara Robin, KPK dipermalukan oleh I Gede Ary Suryantara. Anggota staf Direktorat Pengelolaan Barang Bukti itu diketahui mencuri barang bukti 1,9 kilogram emas. September 2020, Ketua KPK Firly Bahuri dihukum Dewan Pengawas karena melanggar etik saat menggunakan helikopter bertarif Rp 20 juta per jam dalam sebuah perjalanan pribadi di Sumatera Selatan.
Busuk di kepala, busuk pula di badan dan ekornya. Dalam perkara Robin, janji Ketua KPK bahwa lembaganya tidak akan menoleransi penyimpangan terdengar hanya bagai basa-basi. Dipilih dalam semangat mengerdilkan KPK—bersamaan dengan direvisinya undang-undang lembaga itu—Firly tampaknya tahu diri: tugasnya adalah membiarkan lembaga itu lembek dengan sesekali melakukan gebrakan minor agar tak terlalu tampak letoi. Patut diduga, dalam ihwal Robin, penyidik itu akan dihukum ringan dan dipulangkan ke kepolisian, organisasi asalnya.
Kehadiran penyidik Kepolisian RI di KPK memang salah satu pangkal masalah. Penyidik dari kepolisian cenderung loyal kepada institusi asal karena akan kembali ke sana setelah tugasnya di KPK berakhir. Mengemban loyalitas ganda, polisi sulit bersikap profesional terutama jika mengusut petinggi kepolisian. Pemulangan Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun ke kepolisian pada Oktober 2017 adalah contoh. Kanal IndonesiaLeaks menguak perusakan barang bukti kasus suap uji materi Undang-Undang Peternakan. Dalam rekaman kamera pengawas (CCTV) yang dilansir IndonesiaLeaks terlihat kedua penyidik berada di ruangan barang bukti. Liputan itu menemukan fakta keduanya merobek halaman buku bank dan menghapus nama petinggi Polri yang ditengarai menerima duit dari tersangka Basuki Hariman.
Betapapun Mahkamah Konstitusi pada 2016 telah menguatkan kewenangan KPK dalam merekrut penyidik di luar kepolisian dan kejaksaan, pimpinan Komisi tentu saja pura-pura tidak tahu. Mereka sadar bahwa penyidik independen akan membuat KPK mandiri—sesuatu yang tidak mereka kehendaki. Dengan merekrut penyidik polisi, pimpinan Komisi lebih mudah mengemban tugas mulia: menjadikan KPK lembek tapi tak terlalu tampak letoi.
Hilangnya kepercayaan publik terhadap KPK memang meresahkan banyak orang—meski percayalah tidak membuat risau pimpinan Komisi. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 memang dilakukan untuk membuat Komisi menjadi tak berdaya. Belum hilang dari ingatan: Presiden Joko Widodo sendiri yang mengatakan KPK bukan superbody dan gebrakan KPK selama ini telah membuat para pejabat tak berani mengambil keputusan. Pemilihan pimpinan KPK dilakukan dalam semangat pelemahan itu.
Dengan demikian, apa yang terjadi di KPK akhir-akhir ini hendaknya tidak membuat kaget. Seperti matahari terbit dari timur, sejak awal semua sudah bisa diprediksi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo