Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Wasiat Nanggala-402

Tenggelamnya Kapal Republik Indonesia Nanggala-402 meninggalkan duka dan pertanyaan: kenapa kapal tidak layak operasi dipaksakan melaut? Pembelian “alutsista” besar-besaran bukan jawaban atas masalah persenjataan.

1 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wasiat Nanggala-402

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK mereka yang ayahnya terkubur bersama Kapal Republik Indonesia Nanggala-402 di Laut Bali pada dinihari 21 April 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian dari kalian mungkin baru bisa membaca tulisan ini beberapa tahun lagi. Hati kami bersamamu. Kami mendaraskan harap untuk keselamatan ayah kalian ketika kabar mengenai hilangnya kapal selam Nanggala-402 tersiar pertama kali. Ketika itu, semua awak kapal—53 orang, termasuk ayahmu—tak bisa lagi dikontak dari daratan. Oksigen yang terbatas di dalam kapal membuat setiap menit yang lewat di tengah operasi penyelamatan membuat jantung kian berdebar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto memastikan Nanggala-402 tenggelam di palung sedalam 838 meter, tiga hari kemudian, kami semua terperenyak. Semua orang tertekuk dalam duka. Ini tragedi paling memilukan dalam sejarah TNI Angkatan Laut sejak era reformasi.

Kini, dua pekan seusai peristiwa itu, keluarga kalian pasti masih berkabung. Tapi, di tengah duka, mungkin ini juga saat yang tepat untuk mulai bertanya: kenapa? Apa yang keliru dari penanganan kapal selam Nanggala-402 yang membuatnya terempas ke dasar laut? Adakah sesuatu yang seharusnya dilakukan tapi dilalaikan?

Kita tahu, sejak enam tahun lalu, terjadi belasan kecelakaan pesawat dan kapal militer di negeri ini. Ratusan prajurit gugur bukan karena perang atau operasi khusus, melainkan lantaran kegagalan peralatannya. Pesawat Hercules C-130 jatuh di Medan pada Juni 2015 dan membunuh 122 penumpangnya. Usia pesawat itu setengah abad, hampir sama dengan umur Nanggala-402.

Setahun kemudian, terjadi kecelakaan beruntun yang menimpa sejumlah helikopter milik TNI. Pada Juli 2016, TNI kehilangan helikopter Bell-205 yang jatuh di Yogyakarta dan menewaskan tiga orang. Pada tahun yang sama, helikopter Bell-412 EP milik TNI juga jatuh di Poso, Sulawesi Tengah, dengan korban 13 orang tewas. Tiga tahun kemudian, helikopter MI-17 milik TNI Angkatan Udara jatuh di Papua. Kecelakaan itu menelan korban 12 orang.

Seakan-akan belum cukup, tahun lalu, sebuah pesawat tempur Hawk Mk-209 jatuh di Kampar, Riau. Hampir tiap tahun ada saja kapal militer yang celaka. KRI Rencong-622 pada 2018 dan KRI Teluk Jakarta-541 pada tahun lalu rusak di tengah laut. Beruntung semua awaknya bisa diselamatkan.

Kecelakaan terus terjadi meski anggaran pertahanan terus bertambah. Tahun ini jumlahnya Rp 137 triliun, naik 14 persen dari tahun lalu. Rentanya usia peralatan selalu menjadi alasan untuk meningkatkan anggaran, tapi kecelakaan tak pernah berhenti. Publik tak pernah tahu apakah perawatan alat utama sistem persenjataan kita sudah sesuai dengan standar keselamatan atau tidak.

Pada 21 April 2021 itu, Nanggala-402—kapal selam yang dibuat Howaldtswerke Deutsche Werft, Jerman, pada 1979—berada di perairan utara Bali untuk menjalani latihan penembakan senjata strategis TNI Angkatan Laut. Ini bukan misi berat bagi kapal selam ayah kalian, apalagi Nanggala sudah dipoles kembali pada 2012 di galangan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering di Korea Selatan.

Namun belakangan ada informasi bahwa Nanggala saat itu tak sepenuhnya prima. Dalam rapat persiapan acara disebutkan bahwa kondisi kapal di bawah 50 persen. Petinggi Angkatan Laut pun mengakui, tahun lalu, kapal itu sempat mati total di perairan Bawean, Jawa Timur. Dua pekan sebelum acara, kerusakan mendera sistem kemudi Nanggala.

Kematian memang bagian dari takdir—seperti halnya kelahiran. Namun tenggelamnya Nanggala-402 tak boleh berlalu begitu saja. Sudah seharusnya ada penjelasan mendetail tentang kronologi dan penyebab kecelakaan tragis ini. Investigasi militer yang memadai perlu dilakukan dan hasilnya diumumkan kepada khalayak ramai. Jika benar kapal yang tak layak beroperasi tetap dipaksa melaut, para penanggung jawab keputusan itu harus diadili dan dijatuhi sanksi.

Itu utang kami kepada ayah kalian. Negara yang menghargai nyawa tentaranya pasti melakukan hal serupa. Tahun lalu seorang komandan di Angkatan Laut Amerika Serikat dipecat karena tidak melaporkan kerusakan mesin di kapal perusak USS Decatur. Ini penting agar kekeliruan sekecil apa pun tak sampai mengorbankan nyawa prajurit.

Karena itu, dorongan sejumlah kalangan agar negara segera membeli peralatan militer baru seusai insiden ini terasa melompati logika. Apalagi, kita tahu, dari praktik serupa di masa lalu, belanja senjata tak pernah dilakukan terbuka dan kerap memicu penyimpangan.

Waktu akan membuktikan pelajaran macam apa yang dipetik pemerintah dari tragedi Nanggala-402. Yang pasti, kalian harus bangga, ayah kalian kini berpatroli di keabadian samudra.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus