Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bagaimana menyandangnya

Perayaan sekaten yang tepat jatuh di tahun dal, bersamaan dengan 40 th bertahtanya sri sultan. diadakan juga upacara penganugerahan gelar pangeran untuk tiga orang putera dalem.(ils)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGALA sesuatu yang menyangkut perayaan tradisionil, sekaten dan banyaknya orang yang datang ke Yogya, kali ini lebih dari yang sudah-sudah. Karena sekaten tahun ini tepat jatuh di tahun Dal, menurut hitungan kalender lawa. Bahkan Ketua Majlis Ulama Indonesia, Prof. Hamka sempat hadir pada perayaan ini. Menurut Hamka, bangunan sekater secara keseluruhan sudah merupakan penggambaran Islam. Namun hingga sekarang masih terdapat berbagai penafsiran akan asal mula dan arti sekaten. Umumnya berpendapat berasal dari kata sahadatein (sahadat), sebagai salah satu cara para Wali dulu mengajak orang mengenal dan masuk Islam. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata sekati, nama gamelan di Kraton Yogya. "Karena itu Majlis Ulama ingin mengembalikan makna sekaten sebenarnya," ucap K.H. Hasan Basri, Wakil Ketua Majlis Ulama. Juga diadakannya upacara penganugerahan gelar pangeran untuk para putera Sultan Hamengkubuwono IX bertepatan dengan kawan dasa taun Jumenengan Dalem, yaitu tepat 40 tahun lamanya Sri Sultan bertahta. Biarpun upacara ini sebetulnya hanya untuk lingkungan kraton saja, toh cukup menarik kaum wisatawan dan mass media dalam negeri. Upacara Senin Pon, 9 Sapar tahun Dal 1911 dilakukan dengan sangat sederhana, tetapi agung. Di antara mereka yang naik pangkat dalam titel kebangsawanannya terdapat isteri-isteri Sri Sultan. Antara lain Tjiptamurti dan Windyaningrum yang tadinya bergelar BRA (Bandoro Raden Ayu) jadi KRA (Kanjeng Raden Ayu). Puterl Sultan (Bandoro Putri) yang tadinya disebut Kanjeng Ratu Anom kini menjadi Gusti Kanjeng Ratu Anom. Suaminya yang jadi CPM berpangkat mayor, jadi Kanjeng Pangeran Adibroto. Tempat duduknya pun pindah, dari deretan para Bupati Mantu Dalem pindah ke deretan Putera Dalem. Di samping itu, ada tiga orang Putera Dalem yang mendapat gelar dan nama baru. Mereka adalah: Pangeran Murtyanto, Ibnuprastowo dan Kasworo. Murtyanto yang baru 31 tahun usianya, kini bergelar GBPH (Gusti Bandoro Pangeran Haryo) Hadikusumo. Ia kini duduk di tingkat terakhir Fakultas Hukum UGM. "Kalau nanti di-wisudha dipanggil Murtyanto SH saja," ujarnya. Mahasiswa Gama ini cukup kocak menanggapi gelar kebangsawanannya. Sebab katanya lagi: "Habis, yang tercatat sebagai mahasiswa, 'kan nama itu." Tambahnya: "Setidak-tidaknya nanti menyusul Murtyanto Hadikusumo SH dan berangsur-angsur Murtyanto hapus untuk diganti GBPH." Murtyanto yang gemar kelakar ini telah menikah dengan Sri Handani beberapa waktu yang lalu. Pernikahan dilangsungkan di rumah pengantin wanita di Semarang dan kebetulan sang ayah pengantin wanita menjadi Lurah di Desa Tambangan. Perkawinan menurut adat kraton belum diresmikan, "karena masih harus menunggu perintah Sri Sultan," ujarnya. Sedangkan Ibnuprastowo yang kini bergelar dan bernama baru GBPH Hadiwinoto, lahir dari Garwa Dalem Windyaningrum, 31 tahun yang lalu. Juga masih kuliah di Jurusan Antropologi Fakultas Sasdaya UGM. Ibnuprastowo juga merangkap manajer Hotel Sri Manganti. "Sulit untuk menyandang nama baru yang harus dipakai itu," katanya, "sebab kalau dirubah secara mendadak, bisa-bisa relasi bingung." Jadi dia lebih senang melakukan pemindahan nama ini secara bertahap, seperti juga Murtyanto. Putera ketiga ialah Kasworo. Nama barunya jadi GBPH Hadisuryo. Lahir dari Garwa Dalem Pintokopurnomo, dia ini menjabat sebagai direktur pabrik tekstil Yogyatex di Yogya. Di Jakarta, Kasworo ini juga menjabat direktur dari heberapa perusahaan, bahkan pernah terpilih sebagai salah satu pria berbusana terbaik. Menikah dengan puteri bangsawan juga, Raden Ayu Andini (puteri GBPH Hadinegoro), Kasworo juga sulit untuk merobah namanya dan memakai GBPH segala. "Nama baru menyangkut masalah yuridis, misalnya dengan perjanjian kontrak," ujarnya. Upacara pelantikan tiga pangeran himirip dengan upacara militer. Sri Sultan yang siniwaka (duduk) telah memerintahkan kepada ajudan beliau (dalam bahasa Jawa disebut Narpacunaka Dalem) GBPH Suryobrongto dan GBPH Hadiwiyono untuk memanggil mereka yang akan dilantik. Sang Pangeran yang mengenakan kain parangrusak seling kusumo ceplok garudo, lontong biru tua dan sabuk bludiran, maju ke depan dengan laku dhodhok (jalan sambil jongkok) dengan diiringi gending yang berirama girang-girang. Pelantikan titel kebangsawanan yang asli, selamanya lebih seronok, ketimbang titel kebangsawanan pemberian, apalagi titel yang didapat dengan membeli. Gelar bangsawan memang macam-macam. Yang asli ialah yang didapat karena keturunan. Para putera Sri Sultan yang tadinya-mendapat "gaji" dari Sri Sultan, kini mereka mendapat gaji resmi dari kraton. Menolak untuk mengatakan jumlah gaji mereka, GPH (Gusti Pangeran Haryo) Poerboyo (72 tahun) yang mengetuai lembaga kenaikan pangkat dan gelar ini menandaskan: "Gelar Pangeran, harus dipakai." Jumlah Pangeran kini ada 17 orang, untuk lingkungan Kraton Yogya saja. Sedangkan bagi orang luar kraton, Bahkan mereka yang berasal dari luar Jawa, juga bisa mendapatkan gelar kebangawanan dari kraton Yogya ini. Kalau kepengin sekali dan berhasrat. Syaratnya, menurut Pangeran Poerboyo, tidak ulit "asal mereka sudah berdomisili di wilayah Dl Yogyakarta dan bekerja dalam lingkungan Pemda Propinsi DI Yogyakarta." Tambahnya: "Bisa saja anda mengajukan permohonan ke Dwarapura dan tentu saja kalau disetujui." Gelar yang didapat ialah KRT (Kanjeng aden Tumenun). Dalam hal gelar pemberian, Pangeran Poerboyo menandaskan lagi: "Pemberian gelar oleh kraton tidak boleh ditolak suka tidak suka, harus diterima." Soal akan dipakai atau tidak, itu urusan lain. Rupanya gelar bangsawan pemberian ini cukup menyulitkan orang yang mendapatnya, kalau kebetulan orang tersebut sudah punya nama. Misalnya Walikota pertama kota Yogya yang bernama Sudarisman, sebetulnya telah mendapat gelar KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) Poerwokoesoemo. Rasanya ia tidak pernah menyandang KPH-nya, cuma nanlanya sering digandeng jadi Sudarisman Poerwokoesoemo. Sedangkan Selo Sumardjan yang dosen dan juga Sekretaris Pribadi Sultan, tidak pernah memakai KPH-nya melainkan gelar profesornya. Tokoh lain ialah Pangeran Puger. Semua orang menyebut Pangeran Puger untuk nama komplitnya yang berwarna darah biru drs. GBPH (Gusti Bandoro Pangeran Haryo) Puger. Tetapi karena dia ini sudah sejak dulu seorang pegawai negeri, Puger mendapatkan gelar kebangsawanan belakangan. Walhasil, seluruh surat-surat beslitnya tetap bernama: Robin Haryani. Mungkin, cuma sedikit yang tahu nama asli Pangeran Puger tersebut. Tapi, begitulah jadinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus