SEGALA sesuatu yang menyangkut perayaan tradisionil, sekaten dan
banyaknya orang yang datang ke Yogya, kali ini lebih dari yang
sudah-sudah. Karena sekaten tahun ini tepat jatuh di tahun Dal,
menurut hitungan kalender lawa. Bahkan Ketua Majlis Ulama
Indonesia, Prof. Hamka sempat hadir pada perayaan ini. Menurut
Hamka, bangunan sekater secara keseluruhan sudah merupakan
penggambaran Islam. Namun hingga sekarang masih terdapat
berbagai penafsiran akan asal mula dan arti sekaten. Umumnya
berpendapat berasal dari kata sahadatein (sahadat), sebagai
salah satu cara para Wali dulu mengajak orang mengenal dan masuk
Islam. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata sekati, nama
gamelan di Kraton Yogya. "Karena itu Majlis Ulama ingin
mengembalikan makna sekaten sebenarnya," ucap K.H. Hasan Basri,
Wakil Ketua Majlis Ulama.
Juga diadakannya upacara penganugerahan gelar pangeran untuk
para putera Sultan Hamengkubuwono IX bertepatan dengan kawan
dasa taun Jumenengan Dalem, yaitu tepat 40 tahun lamanya Sri
Sultan bertahta.
Biarpun upacara ini sebetulnya hanya untuk lingkungan kraton
saja, toh cukup menarik kaum wisatawan dan mass media dalam
negeri. Upacara Senin Pon, 9 Sapar tahun Dal 1911 dilakukan
dengan sangat sederhana, tetapi agung.
Di antara mereka yang naik pangkat dalam titel kebangsawanannya
terdapat isteri-isteri Sri Sultan. Antara lain Tjiptamurti dan
Windyaningrum yang tadinya bergelar BRA (Bandoro Raden Ayu) jadi
KRA (Kanjeng Raden Ayu). Puterl Sultan (Bandoro Putri) yang
tadinya disebut Kanjeng Ratu Anom kini menjadi Gusti Kanjeng
Ratu Anom. Suaminya yang jadi CPM berpangkat mayor, jadi Kanjeng
Pangeran Adibroto. Tempat duduknya pun pindah, dari deretan para
Bupati Mantu Dalem pindah ke deretan Putera Dalem.
Di samping itu, ada tiga orang Putera Dalem yang mendapat gelar
dan nama baru. Mereka adalah: Pangeran Murtyanto, Ibnuprastowo
dan Kasworo. Murtyanto yang baru 31 tahun usianya, kini bergelar
GBPH (Gusti Bandoro Pangeran Haryo) Hadikusumo. Ia kini duduk di
tingkat terakhir Fakultas Hukum UGM. "Kalau nanti di-wisudha
dipanggil Murtyanto SH saja," ujarnya.
Mahasiswa Gama ini cukup kocak menanggapi gelar
kebangsawanannya. Sebab katanya lagi: "Habis, yang tercatat
sebagai mahasiswa, 'kan nama itu." Tambahnya: "Setidak-tidaknya
nanti menyusul Murtyanto Hadikusumo SH dan berangsur-angsur
Murtyanto hapus untuk diganti GBPH." Murtyanto yang gemar
kelakar ini telah menikah dengan Sri Handani beberapa waktu yang
lalu. Pernikahan dilangsungkan di rumah pengantin wanita di
Semarang dan kebetulan sang ayah pengantin wanita menjadi Lurah
di Desa Tambangan. Perkawinan menurut adat kraton belum
diresmikan, "karena masih harus menunggu perintah Sri Sultan,"
ujarnya.
Sedangkan Ibnuprastowo yang kini bergelar dan bernama baru GBPH
Hadiwinoto, lahir dari Garwa Dalem Windyaningrum, 31 tahun yang
lalu. Juga masih kuliah di Jurusan Antropologi Fakultas Sasdaya
UGM. Ibnuprastowo juga merangkap manajer Hotel Sri Manganti.
"Sulit untuk menyandang nama baru yang harus dipakai itu,"
katanya, "sebab kalau dirubah secara mendadak, bisa-bisa relasi
bingung." Jadi dia lebih senang melakukan pemindahan nama ini
secara bertahap, seperti juga Murtyanto.
Putera ketiga ialah Kasworo. Nama barunya jadi GBPH Hadisuryo.
Lahir dari Garwa Dalem Pintokopurnomo, dia ini menjabat sebagai
direktur pabrik tekstil Yogyatex di Yogya. Di Jakarta, Kasworo
ini juga menjabat direktur dari heberapa perusahaan, bahkan
pernah terpilih sebagai salah satu pria berbusana terbaik.
Menikah dengan puteri bangsawan juga, Raden Ayu Andini (puteri
GBPH Hadinegoro), Kasworo juga sulit untuk merobah namanya dan
memakai GBPH segala. "Nama baru menyangkut masalah yuridis,
misalnya dengan perjanjian kontrak," ujarnya.
Upacara pelantikan tiga pangeran himirip dengan upacara
militer. Sri Sultan yang siniwaka (duduk) telah memerintahkan
kepada ajudan beliau (dalam bahasa Jawa disebut Narpacunaka
Dalem) GBPH Suryobrongto dan GBPH Hadiwiyono untuk memanggil
mereka yang akan dilantik. Sang Pangeran yang mengenakan kain
parangrusak seling kusumo ceplok garudo, lontong biru tua dan
sabuk bludiran, maju ke depan dengan laku dhodhok (jalan sambil
jongkok) dengan diiringi gending yang berirama girang-girang.
Pelantikan titel kebangsawanan yang asli, selamanya lebih
seronok, ketimbang titel kebangsawanan pemberian, apalagi titel
yang didapat dengan membeli.
Gelar bangsawan memang macam-macam. Yang asli ialah yang didapat
karena keturunan. Para putera Sri Sultan yang tadinya-mendapat
"gaji" dari Sri Sultan, kini mereka mendapat gaji resmi dari
kraton. Menolak untuk mengatakan jumlah gaji mereka, GPH (Gusti
Pangeran Haryo) Poerboyo (72 tahun) yang mengetuai lembaga
kenaikan pangkat dan gelar ini menandaskan: "Gelar Pangeran,
harus dipakai." Jumlah Pangeran kini ada 17 orang, untuk
lingkungan Kraton Yogya saja.
Sedangkan bagi orang luar kraton, Bahkan mereka yang berasal
dari luar Jawa, juga bisa mendapatkan gelar kebangawanan dari
kraton Yogya ini. Kalau kepengin sekali dan berhasrat.
Syaratnya, menurut Pangeran Poerboyo, tidak ulit "asal mereka
sudah berdomisili di wilayah Dl Yogyakarta dan bekerja dalam
lingkungan Pemda Propinsi DI Yogyakarta." Tambahnya: "Bisa saja
anda mengajukan permohonan ke Dwarapura dan tentu saja kalau
disetujui." Gelar yang didapat ialah KRT (Kanjeng aden
Tumenun).
Dalam hal gelar pemberian, Pangeran Poerboyo menandaskan lagi:
"Pemberian gelar oleh kraton tidak boleh ditolak suka tidak
suka, harus diterima." Soal akan dipakai atau tidak, itu urusan
lain.
Rupanya gelar bangsawan pemberian ini cukup menyulitkan orang
yang mendapatnya, kalau kebetulan orang tersebut sudah punya
nama. Misalnya Walikota pertama kota Yogya yang bernama
Sudarisman, sebetulnya telah mendapat gelar KPH (Kanjeng
Pangeran Haryo) Poerwokoesoemo. Rasanya ia tidak pernah
menyandang KPH-nya, cuma nanlanya sering digandeng jadi
Sudarisman Poerwokoesoemo. Sedangkan Selo Sumardjan yang dosen
dan juga Sekretaris Pribadi Sultan, tidak pernah memakai KPH-nya
melainkan gelar profesornya.
Tokoh lain ialah Pangeran Puger. Semua orang menyebut Pangeran
Puger untuk nama komplitnya yang berwarna darah biru drs. GBPH
(Gusti Bandoro Pangeran Haryo) Puger. Tetapi karena dia ini
sudah sejak dulu seorang pegawai negeri, Puger mendapatkan gelar
kebangsawanan belakangan. Walhasil, seluruh surat-surat
beslitnya tetap bernama: Robin Haryani. Mungkin, cuma sedikit
yang tahu nama asli Pangeran Puger tersebut. Tapi, begitulah
jadinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini