SEHUBUNGAN dengan tendens untuk membeda-bedakan warganegara
berdasarkan keturunan yang disinyalir oleh beberapa pihak,
bersama ini saya ingin mengemukakan hal-hal berikut ini:
1. Undang-Undang Dasar R.I. tahun 1945 dalam pasal 26 menetapkan
kewarganegaraan orang asli, kewarganegaraan orang bukan asli
harus ditetapkan dengan undang-undang.
2. Mengingat akan pasal tersebut diundangkan Undang-Undang No.
3/1946 jo. No. 6/1947 jo. No. 8/1947 jo. No. 11/1948 yang
menetapkan: warganegara R.l. adalah:
a. Orang yang asli
b. Orang yang bukan asli yang lahir di wilayah RI yang menetap
(Ius Soli) dan tidak menolak setelah dewasa.
3. Persetujuan KMB (27 Desember 1949) tentang pembagian
warganegara (yang sudah ada) tidak merobah/mengganti UU No.
3/1946 yang berlaku terus sampai diganti dengan tegas oleh
Undang-Undang lain. Pembatalan persetujuan KMB seluruhnya oleh
RI (tahun 1956) juga tidak mempengaruhi berlaku terusnya UU No.
3/1946 sampai diganti dengan tegas oleh Undang-Undang lain.
4 Perbedaan azas Undang-Undang kewarganegaraan RI (Ius Soli) dan
Undang-Undang kewarganegaraan RRC (lus Sanguinis) dan
negeri-negeri lain (misalnya Arab) melahirkan persoalan
dwi-kewarganegaraan. Dengan RRC diadakan persetujuan (UU No.
2/1958) yang bermaksud meniadakan persoalan tersebut. Adalah
nyata tegas dari Formulir V dan VI yang dikeluarkan oleh RI
berdasarkan persetujuan tersebut sebagai surat bukti
kewarganegaraan RI bahwa pada waktu itu azas Ius Soli
dipertahankan oleh RI: seorang anak yang lahir di dalam wilayah
RI dan menetap, biarpun orang tuanya asing, ya, bahkan walaupun
ditolakkan kewarganegaraan Indonesianya dapat memilih menjadi
kembali warganegara RI dengan melepaskan kewarganegaraan RRC
ayah/ibunya. Tidak disebut bahwa hal itu hanya berlaku untuk
anak yang lahir sampai 27 Desember 1949 berdasarkan KMB, yang
bukan merupakan dasar bagi persetujuan RI-RRC.
5. Pembatalan persetujuan RI-RRC oleh RI (UU No. 4/1969) tidak
mempengaruhi berlakunya UU No. 3/1946 sampai dengan tegas
diganti oleh UU No. 62/1958 tentang kewarganegaraan pada 1
Agustus 1958, yang berazas Ius Sanguinis. Hal ini berarti: semua
anak yang lahir di dalam wilayah RI sebelum 1 Agustus 1958 dan
menetap walaupun orang tuanya asing adalah Warganegara RI (Ius
Soli).
6. Pasal XII dan XIII persetujuan RI-RRC memerlukan perundingan
di antara kedua belah pihak bila terdapat perselisihan, maka
pembatalan persetujuan sepihak oleh RI tanpa perundingan dapat
berakibat tidak diakuinya persetujuan tersebut oleh RRC sejak
permula. Dengan demikian apakah "Surat Kewarganegaraan" yang
dikeluarkan berdasarkan persetujuan tersebut dasar hukumnya
tidak menjadi kabur maka harus diganti oleh Surat Bukti lain
sama untuk semua warganegara dan berdasarkan perundangan RI
sendiri?
7. Oleh karena pembatalan persetujun RI-RRC oleh RI dengan
otomatis orang kembali ke perundangan kewarganegaraan RI tanpa
restriksi, seolah-olah persetujuan tersebut tidak pernah
diadakan. Perobahan dan/atau penyimpangan dari perundangan
kewarganegaraan RI yang ada hanya dapat dilakukan dengan
Undang-Undang. Hal ini berarti: sejak 17 Agustus 1945 sampai 1
Agustus 1958 berlaku UU No. 3/1946 jo. UU No. 6/1947 jo. UU No.
8/1947 jo. UU No. 11/1948 dan sejak 1 Agustus 1958 berlaku UU
No. 62/1958. Pasal 1 a UU No. 62/1958 mengukuhkan
kewarganegaraan RI yang diperoleh berdasarkan perundangan yang
berlaku sejak 17 Agustus 1945, yaitu UU No. 3/1946.
8. Status kewarganegaraan RI keturunan Tionghoa oleh karena
persetujuan RI-RRC dan pembatalannya oleh RI sepihak maka
menjadi kabur dan sering merupakan sumber komersialisasi dengan
segala akibatnya yang buruk, karena adanya peraturan simpang
siur yang tidak bertarap Undang-Undang dan tafsirannya sering
bertentangan dengan UU No. 3/1946, yang berdasarkan UUD RI 1945
tetapi oleh beberapa instansi dianggap "dengan tidak tegas tidak
berlaku lagi", satu institut yang tidak dikenal dalam sistim
hukum dan perundangan RI.
9. Kekaburan tersebut dapat ditiadakan dengan pengeterapan
Undang-Undang No. 3/1946 yang berdasarkan Ius Soli secara
konsekwen sampai ia diganti oleh UU No. 62/1958 pada 1 Agustus
1958, yang berdasarkan Ius Sanguinis. Oleh karenanya, semua anak
yang lahir di dalam wilayah RI sebelum 1 Agustus 1958 dan
menetap adalah warganegara RI kecuali bila menolak setelah
dewasa.
Persoalan dwi-kewarganegaraan yang mungkin timbul sudah
diselesaikan oleh pasal I Peraturan Penutup UU No. 62/ 1958,
yang hanya mengakui kewarga negaraan RI dalam wilayah RI, bila
orang juga mempunyai kewarganegaraan lain 10. Kebijaksanaan
Pemerintah dalam kebijaksanaannya membina kesatuan dan persatuan
bangsa Indonesia (Nation Building), sewajarnya diarahkan ke
pembaruan, ke integrasi dan asimilasi semua golongan, asli dan
bukan asli, dalam satu natie, ke realisasi Pancasila, ke Bhineka
Tunggal Ika. Hal tersebut sewajarnya dilaksanakan dengan
"semangat kembali ke Undang-Undang Dasar 1945", yang tidak saja
menjiwai UU Dasar 1945, tetapi juga Maklumat Politik 1 Nopember
1945, dan UU No. 3/1946.
Perlakukanlah warganegara keturunan asing (Tionghoa) sama dengan
warganegara keturunan asli atau keturunan lain sesuai dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI.
Rasialisme tak akan membawa penyelesaian seluruh warganegara
tak perduli keturunan, suku, agama dan lainlain sebagainya harus
meresapi dan menghayati Pancasila. Inilah yang menetapkan
Kesatuan dan Persatuan Bangsa Indonesia, seperti juga di semua
negara lain yang demokratis.
M H. HUSINO SH
Jl. Raya Mangga Besar SH
Jakarta Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini