Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Gambar Tengkorak Di Lempake

Daerah transmigrasi Lempake, Samarinda yang dihuni penduduk kampung Jayamulya & tanah merah sedang kisruh. Masalahnya penduduk Benanga dalam, penduduk asli tiba-tiba menggarap tanah jatah. (dh)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Gambar Tengkorak Di Lempake
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUASANA perang terjadi di daerah transmigrasi Lempake, Samarinda, sejak awal Januari lalu. Coba saja, satu gambar tengkorak terpampan disatu kampung dipasang oleh kampung lawan. Satu pihak sudah mengancam akan membunuh habis penduduk kampung lain. Dan ketegangan begini sudah terjadi untuk ke-8 kalinya selama 4 tahun terakhir. Sementara itu jalan keluar masuk kampung yang sama dijaga penduduk dua kampung lain yang kebetulan mengapitnya. Tak ayal penduduk kampung pertama hanya berani keluar rumah di malam hari dengan cara menyelinap. Ada apa? Dari cerita Ishak, Kepala Kampung Benanga Dalam, diketahui bahwa antara warganya dengan penduduk Kampung Jayamulya dan Tanah Merah selama ini selalu rusuh. Ketiganya sama-sama termasuk daerah transmigrasi Lempake. Penetapan ini disebut dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur 11 tahun lalu, Wahab Syahrani. Namun sampai saat ini tidak semua penduduk Lempake adalah transmigran. Khususnya penduduk Penanga Dalam yang kepala kampungnya adalah Ishak. Para transmigran itu sendiri baru berangsur datang sejak 1972. Dari 1200 KK asal Jawa Timur, 100 dan 300 KK ditempatkan di Jayamulya dan Tanah Merah. Selebihnya di kampung lain. Tidak termasuk Bcnanga Dalam, hingga penduduk kampung ini adalah penduduk asli di daerah transmigrasi tadi. Setidaknya mereka sudah bermukim di sana sejak 8 tahun sebelum SK Gubernur menetapkan Lempake sebagai daerah transmigran. Ceritanya memang dimulai saat itu, 1960. Lempake yang waktu itu merupakan hutan dirambah sejumlah penduduk Samarinda. Seorang di antaranya yang sekaligus merupakan tokohnya adalah Ishak. Tanah itu jelas tanah negara. Tapi Ishak dan kawan-kawannya pada mulanya merasa aman di sana. Ketika 1968 Gubernur Kalimantan Timur mengeluarkan keputusan menjadikan daerah Lempake -- termasuk hutan yang sudah dirambah Ishak dan kawan-kawannya -sebagai daerah transmigrasi, para penggarap ini mengaku tidak tahu menahu. Menyerah Mereka baru faham akan hal itu justru setahun setelah gubernur menetapkan Lempake sebagai daerah transmigrasi. Tapi mereka waktu itu diusir di sana bukan lantaran bakal datangnya kaum transmigran. Melainkan karena hutan di daerah itu telah diserahkan pemerintah daerah untuk digarap CV Kayu Mahakam. Diusir atas dasar apa pun mereka tidak mempersoalkannya. Mereka menyerah. Namun tatkala dua tahun kemudian CV Kayu Mahakam menghentikan kegiatannya disana lantas angkat kaki, mereka pun kembali memasuki wilayah itu. Sampai sekarang. Pada mulanya penduduk asli di Kampung Benanga Dalam dan penduduk pendatang di Jayamulya dan Tanah Merah tak saling peduli. Tapi setelah 4 tahun para transmigran berada di sana, keadaan mulai berubah. Penduduk Benanga Dalam yang melihat sebagian hutan di daerahnya masih utuh serta merta menanaminya dengan palawija. Juga pisang dan berbagai jenis tanaman lain. Melihat keadaan ini protes segera muncul dari pihak penduduk Jayamulya dan Tanah Merah. Sebab setahu mereka tanah yang tiba-tiba digarap penduduk Benanga Dalam itu adalah jatah yang mereka terima dari Direktorat Transmigrasi -- yang kebetulan belum sempat dimanfaatkan karena kekurangan biaya. Seperti diketahui dari 2 Ha jatah tanah bagi tiap KK transmigran 1 3/4 hektarnya harus buka sendiri. Nah, yang belum dijamah inilah yang digarap penduduk Benanga Dalam. Penduduk Benanga Dalam tampaknya bisa memaklumi protes penduduk Jayamulya dan Tanah Merah tadi. Setidaknya setelah Oktober tahun lalu terbit pula satu SK Gubermlr Kalimantan Timur yang baru Erry Suparjan yang isinya selain menegaskan kembali Lempake sebagai daerah transmigrasi sekaligus meminta penduduk Kampung Benanga Dalam untuk hijrah ke tempat lain SK tersebut tidak menyebut-nyebut soal ganti rugi. "Masak kami harus angkat kaki begitu saja," kata Ishak. Alhasil Ishak dan kawan-kawan bertahan. Mereka menuntut ganti rugi Rp 100 ribu setiap hektar. Ardin, Kepala Direktorat Pemerintahan dan Ketertiban Umum Propinsi Kalimantan Timur selaku Ketua Panitia Banding Pembebasan Tanah sudah menginstruksikan Kepala Sub Direktorat Agraria Samarinda untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi sampai awal pekan lalu hal tersebut belum terlaksana. Fadlan BA, Kepala Sub Direktorat Agraria Samarinda menyebut hanya bisa bertindak apabila sudah ada "perintah pelaksanaan. " Bisa dimaklumi penduduk Benanga Dalam masih gelisah. Lebih-lebih setelah para transmigran berdasarkan SK Gubernur terakhir menakut-nakuti mereka. Buktinya antara lain dengan memasang gambar tengkorak tadi di tengah kampung Benanga Dalam. Sementara itu kegelisahan juga menimpa sejumlah 100 petani di kawasan lain di Samarinda yang tergabung dalam organisasi Usaha Karya Tani. Organisasi ini pertengahan tahun lalu dengan izin Gubernur menggarap 65 hektar tanah di Lempake. Untuk keperluan itu mereka mengeluarkan biaya sampai Rp 1 juta. Dengan adanya penegasan kembali Lempake sebagai daerah transmigrasi organisasi ini diharuskan menyerahkan kembali tanah itu. Sementara soal ganti rugi pun tidak disebut-sebut. Kendati mereka disediakan tanah pengganti di tempat lain, di pinggir tepi jalan antara proyek gas alam Muara Badak dengan Kota Samarinda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus