SUASANA perang terjadi di daerah transmigrasi Lempake,
Samarinda, sejak awal Januari lalu. Coba saja, satu gambar
tengkorak terpampan disatu kampung dipasang oleh kampung lawan.
Satu pihak sudah mengancam akan membunuh habis penduduk kampung
lain. Dan ketegangan begini sudah terjadi untuk ke-8 kalinya
selama 4 tahun terakhir.
Sementara itu jalan keluar masuk kampung yang sama dijaga
penduduk dua kampung lain yang kebetulan mengapitnya. Tak ayal
penduduk kampung pertama hanya berani keluar rumah di malam hari
dengan cara menyelinap.
Ada apa? Dari cerita Ishak, Kepala Kampung Benanga Dalam,
diketahui bahwa antara warganya dengan penduduk Kampung
Jayamulya dan Tanah Merah selama ini selalu rusuh. Ketiganya
sama-sama termasuk daerah transmigrasi Lempake. Penetapan ini
disebut dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur 11 tahun
lalu, Wahab Syahrani. Namun sampai saat ini tidak semua penduduk
Lempake adalah transmigran. Khususnya penduduk Penanga Dalam
yang kepala kampungnya adalah Ishak.
Para transmigran itu sendiri baru berangsur datang sejak 1972.
Dari 1200 KK asal Jawa Timur, 100 dan 300 KK ditempatkan di
Jayamulya dan Tanah Merah. Selebihnya di kampung lain. Tidak
termasuk Bcnanga Dalam, hingga penduduk kampung ini adalah
penduduk asli di daerah transmigrasi tadi. Setidaknya mereka
sudah bermukim di sana sejak 8 tahun sebelum SK Gubernur
menetapkan Lempake sebagai daerah transmigran.
Ceritanya memang dimulai saat itu, 1960. Lempake yang waktu itu
merupakan hutan dirambah sejumlah penduduk Samarinda. Seorang di
antaranya yang sekaligus merupakan tokohnya adalah Ishak.
Tanah itu jelas tanah negara. Tapi Ishak dan kawan-kawannya pada
mulanya merasa aman di sana. Ketika 1968 Gubernur Kalimantan
Timur mengeluarkan keputusan menjadikan daerah Lempake --
termasuk hutan yang sudah dirambah Ishak dan kawan-kawannya
-sebagai daerah transmigrasi, para penggarap ini mengaku tidak
tahu menahu.
Menyerah
Mereka baru faham akan hal itu justru setahun setelah gubernur
menetapkan Lempake sebagai daerah transmigrasi. Tapi mereka
waktu itu diusir di sana bukan lantaran bakal datangnya kaum
transmigran. Melainkan karena hutan di daerah itu telah
diserahkan pemerintah daerah untuk digarap CV Kayu Mahakam.
Diusir atas dasar apa pun mereka tidak mempersoalkannya. Mereka
menyerah. Namun tatkala dua tahun kemudian CV Kayu Mahakam
menghentikan kegiatannya disana lantas angkat kaki, mereka pun
kembali memasuki wilayah itu. Sampai sekarang.
Pada mulanya penduduk asli di Kampung Benanga Dalam dan penduduk
pendatang di Jayamulya dan Tanah Merah tak saling peduli. Tapi
setelah 4 tahun para transmigran berada di sana, keadaan mulai
berubah.
Penduduk Benanga Dalam yang melihat sebagian hutan di daerahnya
masih utuh serta merta menanaminya dengan palawija. Juga pisang
dan berbagai jenis tanaman lain. Melihat keadaan ini protes
segera muncul dari pihak penduduk Jayamulya dan Tanah Merah.
Sebab setahu mereka tanah yang tiba-tiba digarap penduduk
Benanga Dalam itu adalah jatah yang mereka terima dari
Direktorat Transmigrasi -- yang kebetulan belum sempat
dimanfaatkan karena kekurangan biaya. Seperti diketahui dari 2
Ha jatah tanah bagi tiap KK transmigran 1 3/4 hektarnya harus
buka sendiri. Nah, yang belum dijamah inilah yang digarap
penduduk Benanga Dalam.
Penduduk Benanga Dalam tampaknya bisa memaklumi protes penduduk
Jayamulya dan Tanah Merah tadi. Setidaknya setelah Oktober tahun
lalu terbit pula satu SK Gubermlr Kalimantan Timur yang baru
Erry Suparjan yang isinya selain menegaskan kembali Lempake
sebagai daerah transmigrasi sekaligus meminta penduduk Kampung
Benanga Dalam untuk hijrah ke tempat lain SK tersebut tidak
menyebut-nyebut soal ganti rugi. "Masak kami harus angkat kaki
begitu saja," kata Ishak.
Alhasil Ishak dan kawan-kawan bertahan. Mereka menuntut ganti
rugi Rp 100 ribu setiap hektar.
Ardin, Kepala Direktorat Pemerintahan dan Ketertiban Umum
Propinsi Kalimantan Timur selaku Ketua Panitia Banding
Pembebasan Tanah sudah menginstruksikan Kepala Sub Direktorat
Agraria Samarinda untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi sampai
awal pekan lalu hal tersebut belum terlaksana. Fadlan BA, Kepala
Sub Direktorat Agraria Samarinda menyebut hanya bisa bertindak
apabila sudah ada "perintah pelaksanaan. "
Bisa dimaklumi penduduk Benanga Dalam masih gelisah. Lebih-lebih
setelah para transmigran berdasarkan SK Gubernur terakhir
menakut-nakuti mereka. Buktinya antara lain dengan memasang
gambar tengkorak tadi di tengah kampung Benanga Dalam.
Sementara itu kegelisahan juga menimpa sejumlah 100 petani di
kawasan lain di Samarinda yang tergabung dalam organisasi Usaha
Karya Tani. Organisasi ini pertengahan tahun lalu dengan izin
Gubernur menggarap 65 hektar tanah di Lempake. Untuk keperluan
itu mereka mengeluarkan biaya sampai Rp 1 juta. Dengan adanya
penegasan kembali Lempake sebagai daerah transmigrasi organisasi
ini diharuskan menyerahkan kembali tanah itu. Sementara soal
ganti rugi pun tidak disebut-sebut. Kendati mereka disediakan
tanah pengganti di tempat lain, di pinggir tepi jalan antara
proyek gas alam Muara Badak dengan Kota Samarinda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini