Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Tawur JI, Tawur: Syeh Siti Jenar

Makam Sunan Gunung Jati dan tempat bertapa Sunan Drajat banyak dikunjungi orang di bulan Syafar dan Maulud. Tindakan murid Syeh Siti Jenar yang mengadakan doa dari rumah ke rumah diteruskan. (ils)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI raya Maulud tahun ini, jatuh 9 Pebruari. Tepat malam Jum'at Kliwon. Sejak seminggu sebelum ini, hotel-hotel di Kota Cirebon sudah dibooking pendatang-pendatang luar kota yang ingin berziarah. Bahkan seminggu sebelum itu pula, di sekitar makam Sunan Gunung Jati (beberapa kilometer di luar kota Cirebon), siang malam orang sudah berziarah. Puncak acara di makam itu adalah pada malam Jum'at Kliwon itu. Penziarah umumnya orang Tionghoa. Bulan Syafar dan Maulud bagi penduduk Kabupaten Cirebon adalah bulan sibuk. Selamatan dan upacara dalam harihari menjelang Maulud, telah mentradisi. Dan kalau tampak banyak sekali pengemis -- sebagian besar dilakukan anak-anak kecil -- jangan risau. Para pengemis musiman ini biasanya berjalan berkelompok sebanyak 3 atau 4 orang anak. Kalau dijumlah, bisa mencapai angka 200-an dan keluar bagaikan laron setiap hari Selasa dan Rabu selama bulan Syafar. Para pengemis amatir ini biasanya berasal dari Desa Gunung Jati, di mana terdapat makam Sunan Gunung Jati. Beramai-ramai mereka berjalan menuju Kota Cirebon yang jaraknya sekitar 5 Km dan pergi dari rumah ke rumah berikutnya dengan ucapan senada "Tawur ji, tawur. Selamet dawa umur. . . " Maksudnya ialah agar semua orang berdoa supaya sang Syeh ini panjang umur. Yang dimaksud Syeh adalah Syeh Siti Jenar alias Syeh Lemah Abang. Koor "tawur ji, tawur" tak akan berhenti sebelum yang punya rumah memberi uang recehan. Para nyonya rumah biasanya pada hari-hari serbuan para pengemis ini sudah siap dengan uang kecil. Sebab paling tidak tiap rumah akan kedatangan 6 atau 8 kelompok pengemis di hari-hari Selasa dan Rabu, selama bulan Syafar. Lantas berapa banyak hasil mereka sehari? "Tidak banyak," jawab salah seorang anak. Paling tidak mereka dapat Rp 300 hasil keliling selama sehari. Kalau grup terdiri dari 3 orang, jadi Rp 100 setiap orang. Kalau mereka rajin beroperasi selama sebulan, berarti 4 kali hari Selasa dan Rabu, hasil dari tawur ji ini setiap anak akan mengantongi Rp 800. Cukup berarti. Kebiasaan mengemis ini mempunyai cerita sendiri. Alkisah ratusan tahun yang lalu di bulan Syafar di hari-hari Selasa dan Rabu, Syeh Lemah Abang alias Syeh Siti Jenar menderita sakit keras. Syeh yang juga jadi salah seorang tokoh di kalangan Walisanga ini, telah memhuat bingung murid-muridnya. Sebab kalau nyawa Syeh Siti Jenar putus usia berarti gagallah rencana beliau untuk duduk sebagai Wali ke-9. Berbagai usaha dilakukan para murid untuk menjauhkan maut dari Syeh Siti Jenar. Salah satu usaha murid yang setia ialah mengadakan doa dari rumah ke rumah dengan ucapan antara lain "Tawur ji, tawur. Selamet panjang umur." Dan kebiasaan ini tetap diteruskan bahkan dengan improvisasi mengemis segala. Rumah-rumah yang didatangi jarang menolak permintaan mereka, karena akan dianggap menentang tradisi dan mungkin akan tidak selamat. Puncak dari semua acara ialah hari terakhir di bulan Syafar. Tahun ini jatuh pada hari Rabu, 31 Januari. Pada hari terakhir tahun Islam ini diadakan upacara Ngirab. Tengah malam menjelang hari terakhir bulan Syafar, berkumpullah ratusan orang dari berbagai tempat di dekat sebuah makam di pinggir Kali Suba. Tempat ini konon tempat bertapa Sunan Drajat, salah seorang dari Wali Sembilan. Letak kompleks ini di daerah Kesambi, Cirebon Selatan. Nadran Upacara tengah malam ini dimulai dengan tahlilan di pasarean Sunan Drajat dipimpin Juru Kunci Syahruddin (30 tahun). Lama tahlilan: separuh malam ini sampai matahari pagi menampakkan diri. Pengikut tahlil yang tidak memicingkan mata semalam suntuk ini kemudian mandi di Kali Suba. Dulu maksudnya untuk mensucikan diri, sebab setelah mandi kemudian mengambil air wudu untuk sembahyang. Belum lama ini ribuan orang telah datang berziarah ke makam Sunan Drajat, sunan terakhir dari "grup" Wali Sanga "Pengunjung biasanya mencapai 20.000 orang dari sekitar Cirebon sampai Sumedang," cerita Syahruddin, masing-masing dengan maksud sendiri-sendiri." Petilasan Sunan Drajat jadi ramai. Orang berjualan makanan juga panen. Upacara mandi yang disebut ngirab ini juga menjadi lain artinya. Menurut Syahruddin, orang percaya bahwa mandi di Kali Suba pada hari itu berarti "membuang sial, yang sulit dapat jodoh bisa cepat dapat pasangan." Juga ada pejabat pemerintah yang mengharapkan agar cepat naik pangkat, supaya awet muda dan banyak lagi permintaan yang biasanya cuma dikatakan dalam hati. Pemandangan biasanya bercampur baur dengan orang yang betul-betul berniat sesuatu atau hanya sekedar cuci mata saja. Suasana jadi cukup seronok. Mereka mandi di air yang coklat itu. Tapi di semak-semak banyak pasangan memadu janji. Apalagi yang mandi itu kebanyakan para wanita, yang biarpun tidak seluruhnya lepas baju (dan mereka membawa baju ganti yang kering) adalah pemandangan gratis yang cuma didapati setahun sekali. Belum lagi ada upacara lain yang namanya nadran. Upacara di sungai yang sama ini dilakukan oleh serombongan nelayan dari kampung Pegambiran dan Pesisir. Mereka melayarkan perahunya di Kali Suba tersebut. Harapan mereka ialah agar tangkapan ikan yang akan datang bisa lebih banyak. Juru Kunci Syahruddin juga sibuk hari itu. Ayah dari 3 orang anak ini cukup repot melayani orang yang minta berkah. Semua diurus Syahruddin. Mereka biasanya dibawa ke sebuah bangunan di tengah-tengah kompleks pemakaman Kesambi. Di dalam bangunan itu ada sebuah makam bernisan sepanjang sekitar 2 meter. Makam ini ditutupi kain putih konon dulu tempat Sunan Drajat bertapa. Para peziarah berdoa dan seusai berdoa, tidak lupa mereka menyelipkan beberapa lembar kertas bergambar Sudirman rata-rata setiap orang Rp 200 atau Rp 500. Sebagai tanda terimakasih kepada Syahruddin. Tapi dari sekitar 20.000 pengunjung yang memenuhi petilasan Sunan Drajat, "hanya sekitar 40% saja yang berziarah ke mari," ujar Syahruddin. Rezeki hari itu juga dinikmati Pemda setempat. Yaitu dari hasil parkir kendaraan (Rp 25 untuk sepeda, Rp 50 bagi sepedamotor dan Rp 100 untuk mobil. Sebab tidak kurang dari 1.000 buah sepeda diparkir dan ratusan sepeda motor dan mobil, memenuhi kampung Kesambi. Rezeki dari para Walisanga rupanya belum juga punah hingga kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus