Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Bantahan Choirul Anam

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI orang yang pernah tinggal agak lama di TEMPO, saya wajib mengingatkan insan pers agar jangan antem kromo, semua yang dekat dengan kekuasaan dicurigai terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada pemberitaan dalam dua edisi TEMPO (1-7 Mei dan 8-14 Mei), terutama yang menyangkut KKN Presiden Gus Dur, terkesan TEMPO sudah tidak lagi berpegang pada asas in-depth report ataupun interpretative report dan kurang menghormati hak kehidupan pribadi seseorang. Dan dalam proses mendapatkan berita, awak TEMPO seolah lebih mendahulukan nafsu memburu ”mangsa” ketimbang semangat mencari kebenaran.

Pemberitaan tentang diri saya, misalnya, sama sekali tidak sesuai dengan ajaran TEMPO. Saya dimasukkan dalam gerbong KKN Presiden Gus Dur, tapi tidak dilengkapi bukti-bukti akurat tentang yang saya KKN-kan. Padahal, substansi KKN itu merugikan negara dan bangsa. Lha, yang saya rugikan itu siapa, yang saya korupsi itu apa, dan saya ini berkolusi dengan siapa, serta nepotismenya di mana?

Juga tentang hubungan saya dengan PT Balang (Balai Lelang) Surabaya. Dengan hanya berdasar pada keterangan petinggi BPPN yang sudah tergusur, TEMPO kemudian memberitakan PT Balang Surabaya telah dicoret dari daftar rekanan ”karena empat kali ketahuan menggelembungkan tagihan ke BPPN”. Seharusnya wartawan TEMPO mengajukan pertanyaan, kenapa bisa terjadi penggelembungan sampai empat kali terhadap satu obyek invoice, yakni soal pembelian accu mobil eks milik BBKU dan pembuatan katalog yang nilai keseluruhannya sekitar Rp 35 juta, pada lelang ketiga (12-14 Juni 1999) di Denpasar, Bali. Dan mengapa pula balang lain, yang juga melakukan penggelembungan serupa, tidak dipersoalkan.

Oke, Balang Surabaya salah. Tapi, lebih salah lagi adalah sistem kerja yang dibangun oleh BPPN itu sendiri. Sebab, PT Balang Surabaya berani menggelembungkan tagihan, ya, karena ada petunjuk dari orang dalam (oknum) BPPN sendiri. Nah, kalau harus divonis salah, jangan cuma Balang Surabaya yang disudutkan. Sebab, Balang Surabaya sendiri ketika penggelembungan itu dipergunjingkan selama hampir sepuluh bulan belum menerima uang tagihannya.

Karena itu, saya (selaku komisaris) meminta agar Balang Surabaya membikin surat ke BPPN yang isinya agar BPPN membayar sesuai dengan standar pasar atau perhitungan BPPN sendiri. Yang penting segera dibayar. Sebab, ibarat buruh, pekerjaan sudah kami kerjakan atau selesaikan sekitar lima bulan lalu, tapi ongkos kerjanya belum juga dibayar. Lagi pula, setelah peristiwa penggelembungan invoice pada lelang ketiga (12-14 Juni 1999) di Denpasar, Balang Surabaya masih juga dipercaya BPPN untuk menjualkan non-core assets eks BBO dan BBKU yang keempat (16 Juli 1999), kelima (24-26 Juli 1999), keenam (19-21 Agustus 1999), serta ketujuh (22 September 1999), yang semuanya terjadi pada masa Presiden Habibie.

Justru pada masa Presiden Gus Dur itulah PT Balang Surabaya menerima surat penghentian jasa pra-lelang secara sepihak dari BPPN. Pertanyaannya, jika dasar pemutusan hubungan kerja sama itu adalah kasus yang terjadi pada lelang di Denpasar, Bali, kenapa tidak pada saat itu juga dihentikan atau dikenai PHK? Memang, dalam surat perjanjian, BPPN bisa saja melakukan pemutusan hubungan kerja sama secara sepihak. Tapi harus ada dasar yang kuat. Sebab, yang terkena kebijakan itu juga menanggung nasib ratusan karyawan. Nah, di sinilah saya lantas turun tangan.

Saya datang ke BPPN dan bertemu Bapak Cacuk Sudarijanto (wakil ketua). Komentarnya, ”Kalau memang tidak becus, tidak peduli Anda itu siapa, ya, harus diputus.” Singkat cerita, setelah hampir tiga bulan lamanya kami ”berjuang”, akhirnya berhasil juga. Alhamdulillah, Balang Surabaya masih diberi kesempatan untuk melakukan lelang aset-aset properti, yang akan dimulai pada minggu pertama Juni 2000 ini.

Pada ending berita, TEMPO menulis begini: ”... Sebelumnya, Anam gagal dalam memutar bisnis lainnya. Ia, misalnya, pernah dipercayai Grup Jawa Pos mengelola koran ekonomi Suara Indonesia. Ia juga pernah mengelola majalah Semesta, yang didanai sejumlah warga Cina, dan tabloid Petisi di Surabaya. Semua bisnis itu akhirnya kandas.”

Dari mana TEMPO bisa mengambil kesimpulan semacam itu? TEMPO, kan, tidak tahu proses pengunduran diri saya dari Grup Jawa Pos, apakah karena kandas atau karena sebab-sebab lain. Semua itu ada autentiknya, Bung! Juga, ketika menyebut majalah Semesta, TEMPO menyatakan ia didanai sejumlah warga Cina. Itu juga tidak betul. Lalu, soal tabloid Petisi yang juga dibilang kandas, sampai sekarang masih segar bugar.

CHOIRUL ANAM
Komisaris Balai Lelang Surabaya
Surabaya

Fokus utama kami adalah bahwa PT Balang yang Anda pimpin pernah dicopot dari daftar rekanan BPPN dan belakangan terbukti masuk lagi. Konfirmasi tentang itu kami peroleh dari Cacuk Sudarijanto sendiri (Ketua BPPN sekarang). Jelas di situ kami tidak antem kromo. Bagaimanapun, terima kasih untuk peringatan Anda bahwa kami harus hati-hati–Red.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus