Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATU akik kembali menjadi tren. Di setiap sudut kampung, orang berkumpul mengerumuni pedagang batu berharga itu. Tentu ini bukan pertama kalinya akik naik daun. Majalah Tempo edisi 24 Juli 1971 menyajikan laporan tentang kekayaan Indonesia atas batu-batu berharga.
Arif Wibisono, Direktur Indonesian Gemeraft, memutuskan banting setir di bidang karier dan mata pencarian. Dia belajar di satu college di Hong Kong tatkala matanya terpesona memandang batu-batu permata, terutama jade, yang berubah bentuk menjadi perhiasan dan barang antik lainnya. Serta-merta ia memutuskan mencari peruntungan di dunia batu.
Sejak umur belasan tahun Arif berminat ke sana, tapi hanya "burung jade dalam sangkar jade yang dipahat dari batu tunggal" kiranya yang berhasil memantapkan hatinya. Sekarang, sesudah belasan tahun kemudian, ia sendiri punya gong yang juga dipahat dari batu tunggal. Bedanya, batu itu bukan jade, melainkan Yaman atau Sulaiman dari keluarga akik yang dalam bahasa permata dunia dikenal sebagai agate. Warnanya ibarat pelangi, merona dari putih bening, kekuning-kuningan, kemerah-merahan, dan kecokelat-cokelatan. Hampir seluruhnya transparan, tembus cahaya. Mutu kristalnya tidak perlu disangsikan lagi. Harganya apalagi: Rp 200 ribu!
Dan Arif yang tekun tidak kelihatan bangga, walaupun ia mengakui, untuk menemukan batu, orang harus menggali paling sedikit 200 meter ke dalam perut bumi. Bisa saja habis uang puluhan ribu untuk gali-menggali, tapi batu yang dicari tidak ditemukan. Sesudah itu mulai menggali lagi di tempat lain. Dengan risiko yang sama. Tapi sekarang Arif biasa menggali di dua tempat, di Gunung Delepe (Jawa Tengah) dan Gunung Sarwo (Jawa Timur).
Memang berat juga pekerjaan menyulap batu gunung menjadi batu permata. Lebih berat lagi kalau diingat bahwa peralatan yang dipakai masih sederhana, tidak mekanis. Dan mata-mata intan, satu-satunya mata pisau yang bisa menyayat batu, ternyata makin mahal harganya. Tapi kemauan Arif sama keras dengan batu yang dipahatnya. Karena itu, Indonesian Gemeraft jalan terus, sementara permintaan dari dalam dan luar negeri ke alamatnya di Jalan Gembong Sawah 43, Surabaya, mulai merupakan satu hal yang biasa. Kemunculannya di pameran permata, akhir Juni lalu, dalam rangka ulang tahun Jakarta, mendapat perhatian lumayan. Nyonya Nani Ali Sadikin, pada upacara pembukaan pameran, telah mengenakan gelang akik yang kalau tidak salah adalah hasil ciptaan Indonesian Gemeraft.
Satu pojok dan dua kotak kaca besar telah menampung batu-batu akik asal Surabaya itu, satu penampilan paling besar dari sembilan penampilan yang ikut dalam pameran. Dinding pojok diisi potongan batu Yaman, yang besar dimasukkan ke rangka kayu jati berbentuk kemudi kapal. Maka jadilah lampu dan perhiasan dinding sekaligus. Di dekat situ berdiri sebuah meja jati berbentuk segi delapan. Permukaannya berlubang-lubang dalam bolongan segi delapan kecil-kecil, yang mengingatkan pada sarang tawon. Dari puluhan bolongan itu memancar batu akik transparan kuning muda. Mungkin sekali, dari begitu banyak ciptaan Arif Wibisono, meja itu akan dihargai paling mahal. Sedangkan sebentuk cincin kecil dihargai paling murah, hanya Rp 500.
Sementara itu, gelang yang semodel dengan gelang yang dikenakan Nani Sadikin di luar dugaan berharga Rp 15 ribu, dan konon banyak menghias tangan gadis-gadis Surabaya. CV Tiasky, yang juga menggarap batu-batuan, mengikat dan menggantungkan batu-batu yang sewarna ditatah dalam bentuk pohon atau jambangan bunga. Ada juga keping papan yang ditaburi berbagai batu warna-warni, lalu digantung sebagai perhiasan dinding. Mirip keping papan yang bertabur batu giok dari Taipei.
Berbeda dengan Indonesian Gemeraft yang menggali batu-batunya sendiri, CV Tiasky sebagian besar membeli batu permata dari orang lain. Karena itu pula agak terbatas daya ciptanya lantaran tidak bisa 100 persen bebas dalam menggunakan batu yang merupakan bahan baku.
Mengenai bahan baku ini, baik Jack-pembantu Ibu Suwaji (pemimpin CV Tiasky)-maupun Arif Wibisono berpendapat sama: bumi Indonesia sangat kaya akan batu. Persoalannya, bagaimana mengeluarkan dari perut bumi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo