Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Bencana dan Berkah

TAHUN 2018 bisa dibilang sebagai tahun bencana.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat - MBM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejadian-kejadian pada tahun itu menyadarkan bahwa kita sejatinya tinggal di daerah dengan potensi bencana tinggi. Masyarakat baru paham bahwa ternyata Indonesia dikelilingi zona tektonis aktif yang memanjang dari barat laut Aceh hingga sepanjang Samudra Hindia menuju kepulauan paling utara Maluku, kecuali Kalimantan.

Mengapa Kalimantan tak termasuk? Di sinilah letak berkah dari daerah-daerah dengan potensi bencana alam geologi yang tinggi ini. Pada zaman sekarang, selain mencari daerah yang subur, masyarakat cenderung mencari wilayah yang nyaman dan memiliki pemandangan yang indah, seperti kawasan pantai berpasir putih serta gunung api yang elok dan sejuk.

Semua kondisi itu disediakan oleh daerah dengan potensi bencana tinggi ini karena endapan hasil letusan gunung api mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman dan organisme lain sehingga tanahnya sangat subur dan cocok untuk bertani. Selain itu, air yang keluar dari endapan hasil gunung api jernih dan punya kandungan mineral yang menyehatkan sehingga banyak dijadikan sumber air bersih oleh masyarakat dan saat ini banyak dikomersialkan oleh perusahaan air minum kemasan.

Di lain sisi, dinamika tektonis di perairan laut dan pantai menciptakan ekosistem koral yang melimpah sebagai tempat ikan berkembang biak sehingga kandungan ikan di sekitar kawasan itu sangat melimpah. Salah satu gambaran yang komplet adalah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Daerah tempat saya lahir dan besar ini memiliki keindahan laut dan gunung berkelas internasional. Dari sini kita bisa melihat keseimbangan yang diberikan Tuhan untuk kita syukuri dan agar kita bisa beradaptasi dengannya.

Kusnadi, ST, MSc

Mataram


 

Soal Habib

PADA Tempo edisi 3-9 Desember 2018, ada wawancara dengan Buya Syafii Maarif. Ada pernyataan Buya pada halaman 95, “Saya tidak percaya bahwa habib—keturunan Nabi Muhammad—punya kedudukan lebih tinggi. No way. Islam mengajarkan egaliter.” Ada dua hal di sini: apakah Bapak Syafii percaya bahwa habib itu keturunan Nabi tapi tidak percaya mereka punya kedudukan lebih tinggi atau Bapak Syafii tidak percaya keduanya?

Hal ini penting diklarifikasi, mengingat hal-hal berikut ini.

1. Saya dididik membaca selawat, doa kesejahteraan dan kemuliaan, di luar dan di dalam salat, bagi Nabi dan keluarga/keturunannya (ahlihi/habib). Bahkan para sahabat Nabi berada pada urutan ketiga setelah habib. Dengan demikian, habib punya kemuliaan karena selalu memperjuangkan aspirasi dan syariat Islam dalam seluruh kehidupan dan perbuatannya, walaupun di mata orang awam perbuatan tersebut bisa terlihat sebagai tindak kriminal. Bukankah kekerasan di Aceh dan Arab Saudi terjadi setelah peraturan daerah Islam? Perbedaan persepsi dapat timbul karena kita, orang awam, berada pada tingkat atau maqam yang lebih rendah, bukan pada tingkat hakikat seperti mereka, seperti kisah Nabi Musa atau Nabi Khidir. Kita tidak boleh bertanya karena iman adalah pedoman.

2. Dalam sebuah acara televisi, pembicara menyatakan tidak percaya bahwa habib keturunan Nabi. Alasannya, Nabi SAW tidak punya keturunan laki-laki. Hanya anak laki-laki yang meneruskan keturunan, sesuai dengan tradisi para habib yang tidak menikahkan anak perempuan dengan bukan habib. Artinya, apakah saya perlu mendoakan para habib di dalam dan luar salat saya, berkiblat kepada mereka, dan menjadikan mereka kebenaran?

3. Bapak saya sering dipanggil “Habib”, begitu pun saya. Saya tak tahu apakah benar bapak saya habib. Kakak saya suka mencantumkan “syaikh” di depan namanya. Syaikh itu apa, saya juga tak tahu. Saya juga suka mencantumkan “habib” dan “syaikh” di depan nama saya. Apakah saya bisa dipidana karena itu? Adakah pencatat keturunan yang terakreditasi secara legal, seperti pada bangsawan Prancis kuno yang mendapat lambang dua pedang perang bersilang? Akibatnya, mereka harus membayar pajak yang besar kepada negara.

4. Kalau memang bapak saya habib atau syaikh, bagaimana saya tahu bahwa saya benar anaknya? Bisa saja ibu saya khilaf dan berhubungan dengan orang lain sebentar, tapi yang sebentar itu melahirkan saya. Habib atau syaikh jugakah saya?

5. Saya bingung dan iman saya diliputi keraguan. Adakah yang bisa mengajak saya kepada kebenaran? Saya baca Catatan Pinggir di Tempo. Judulnya “Don Quixote”. Sungguh menghibur. Ada kutipan, “Hidup adalah keraguan dan iman tanpa keraguan mati belaka.” Dengan keraguan dan iman yang goyah, orang jadi berbeda, tapi bisa saling mengerti dengan tulus. Bravo habib!

Habib Syaikh Muhammad Said Attamimi

Bogor, Jawa Barat

 


 

RALAT

- Pada rubrik Buku majalah Tempo edisi 31 Desember 2018-6 Januari 2019, ada kesalahan pemasangan foto ilustrasi. Sampul buku The State, Ulama and Islam in Malaysia and Indonesia yang benar adalah yang diterbitkan oleh ISEAS-Yusof ­Ishak Institute berikut ini.

- Dalam kaleidoskop halaman 70 berjudul “Tarana Burke: Efek Global #MeToo” tertulis “...sutradara ternama Hollywood, Harvey ­Weinsten”. Penulisan yang tepat adalah produser, bukan sutradara. Nama yang benar adalah Weinstein, bukan Weinsten.


Kami mohon maaf atas ketidakakuratan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus