Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman: Hoaks Kencang sampai Pilpres Selesai

Ketua KPU telah memprediksi kabar kibul seputar pemilihan umum dan pemilihan presiden akan menghantui Indonesia.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Arief Budiman. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGENDA Ketua Komisi Pemilihan Umum -Arief Budiman berantakan. Rabu malam pekan lalu, dia seharusnya melanjutkan validasi laporan sumbangan dana kampanye pemilihan umum dan pemilihan presiden 2019 di kantornya di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.

Selepas pukul 09.00 malam itu, perhatian Arief dan enam komisioner lain terpecah. Tersiar desas-desus tentang tujuh peti kemas berisi surat suara pemilihan presiden yang terlubangi pada gambar pasangan nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Ada juga yang menyebutkan jumlahnya 70 juta lembar. Tumpukan kontainer itu disebut-sebut baru turun dari kapal asal Cina yang mendarat di Tanjung Priok, Jakarta Utara; ditemukan oleh seorang anggota Korps Marinir; dan satu peti kemas telah disita KPU.

Berawal dari Twitter pada Rabu siang, 2 Januari lalu, kabar itu meluas pada malam harinya. Sejumlah tokoh, termasuk Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief dan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain, ikut menyebutnya dalam cuitan mereka—belakangan dihapus.

Arief Budiman baru sempat membaca rumor tersebut selepas konferensi pers soal dana kampanye pukul 09.00 malam itu. “Melihat perkembangan isu yang sudah sedemikian besar, kami putuskan memeriksanya,” katanya. Selepas tengah malam, di Pelabuhan Tanjung Priok, KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum menyatakan isu tujuh kontainer berisi surat suara tersebut hoaks. “Semua terkonfirmasi.” Siang harinya, dua lembaga itu melaporkan pembohongan tersebut kepada polisi.

Arief, 44 tahun, telah memprediksi kabar kibul seputar pemilihan umum dan pemilihan presiden akan menghantui Indonesia. Hanya, dia tidak pernah menduga skalanya semasif ini. “Kita akan terus diganggu hal-hal seperti ini sampai rangkaian pemilu dan pilpres selesai,” ujarnya.

Di antara agendanya yang nyaris tanpa jeda, Arief menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Syafiul Hadi, untuk wawancara khusus, Jumat petang pekan lalu. Interviu berlangsung di sela rapat persiapan penyampaian visi-misi calon presiden dan wakil presiden di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat. Komisioner KPU Jawa Timur 2004-2012 ini juga menjawab berbagai serangan yang ditujukan kepada lembaga yang dia pimpin sejak 2017 itu.

Kapan pertama kali Anda mendapat isu soal tujuh kontainer berisi surat suara itu?

Rabu (2 Januari 2019) sore. Ada di Twitter dan WhatsApp. Tapi saya tidak sempat membacanya karena terus rapat dan macam-macam. Saya baru sempat membacanya setelah konferensi pers soal laporan sumbangan dana kampanye pukul 21.00 WIB. Kemudian kami berembuk. Melihat perkembangan yang sudah sedemikian besar, kami memutuskan berangkat ke Tanjung Priok.

Butuh waktu lama untuk berembuk?

Tidak. Kami butuh waktu untuk berkoordinasi dengan Bea-Cukai dan kepolisian. Jangan sampai kami ke lokasi tapi tidak ada orang yang berwenang memberikan penjelasan. Kalau malam kan di kantor mereka cuma ada petugas jaga. Kami juga mencari kendaraan untuk media, karena waktu itu para wartawan masih berada di kantor KPU seusai konferensi pers dana kampanye. Kami berangkat pukul 22.15 WIB.

Bagaimana Anda memastikan kabar itu hoaks?

Di Tanjung Priok, kami bertemu dengan pejabat Bea-Cukai dan kepolisian. Mereka menjelaskan bahwa tidak ada satu pun kontainer berisi surat suara. Ada juga perwira TNI Angkatan Laut, seorang letnan kolonel, tapi saya lupa namanya, menyebutkan tidak ada anggotanya yang menemukan kontainer berisi surat suara. Jadi tidak benar ketiga hal yang disebutkan di kabar, yaitu ada tujuh kontainer berisi surat suara, ditemukan anggota TNI Angkatan Laut, dan KPU menyita satu kontainer. Itu terkonfirmasi.

Rombongan Anda memeriksa lapangan peti kemas?

Tidak perlu. Wong di sistem mereka bisa terlacak semua. Berapa kontainer masuk, isi, asal negara. Tidak ada satu pun laporan yang menunjukkan ada kontainer dari Cina berisi surat suara.

Mengapa baru tergerak memastikan kabar itu pada larut malam?

Kan, kami banyak pekerjaan. Kami baru lepas dari jadwal kerja setelah pukul 21.00 WIB. Itu pun meninggalkan pekerjaan tersisa.

Anda membaca cuitan Andi Arief tentang tujuh kontainer itu?

Sempat. Waktu itu diperlihatkan oleh teman-teman.

Andi Arief menyatakan KPU bergerak setelah membaca cuitannya….

Tidaklah. Kami memutuskan sendiri. Yang mencuit banyak. Ada yang namanya Hermansyah dan nama-nama enggak jelas itu.

Benarkah pada 2 Januari 2019 KPU dijadwalkan merilis surat suara sehingga momen itu digunakan penyebar hoaks?

Bukan mengeluarkan surat suara. Rencananya, seluruh proses lelang selesai pada Desember dan surat mulai diproduksi pada Januari. Ternyata tidak terkejar karena proses lelang baru selesai pada 7 Januari. Sekarang sudah ada pemenang. Tapi, setelah mendapatkan pemenang, tidak boleh langsung ditetapkan. Harus ada masa sanggah untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkeberatan terhadap hasil lelang. Kalau tidak ada yang keberatan, baru ditetapkan.

Pernah memperkirakan muncul kabar bohong sebesar ini?

Tidak. Saya memprediksi hoaks terus berembus kencang sampai pemilihan umum dan pemilihan presiden selesai. Pasti akan terus diganggu hal-hal seperti ini. Hanya, apakah skalanya besar atau kecil, saya enggak bisa memperkirakan.

Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kembali menyinggung soal 31 juta nama dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah. Bagaimana penyelesaiannya?

Tidak ada masalah. Angka 31 juta itu berasal dari Kementerian Dalam Negeri. Setelah KPU menetapkan DPT pertama, September lalu, Kemendagri membuat analisis. Hasilnya, ada 31 juta nama yang sudah terekam di kartu tanda penduduk elektronik yang belum masuk DPT. Muncullah tudingan bahwa 31 juta itu nama baru. Padahal tidak.

Artinya memang ada masalah?

Enggak ada. Kami memeriksa 31 juta data itu. Ternyata sebanyak 6 juta sudah masuk. Lalu 4,5 juta tidak memenuhi syarat karena sudah meninggal, tidak dikenal, dan lainnya. Sampai akhirnya tersisa sekitar 600 ribu. Itu memang punya potensi dijadikan pemilih ganda. Tapi bukan pasti ganda, ya. Angka 600 ribu dibanding jumlah pemilih, 192 juta, hanya 0,3 persen. Tidak sampai 1 persen.

Tetap saja bisa mempengaruhi hasil pemilihan….

Ya. Satu pemilih pun menjadi perhatian kami. Makanya data itu terus kami periksa. Kami minta KPU kabupaten/kota terus memeriksanya di lapangan.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakrulloh menyarankan penggunaan card reader di tempat pemungutan suara untuk menghindari e-KTP palsu. Akankah diakomodasi?

Tidak memungkinkan. KPU tidak punya dana untuk membelinya. Alokasi dana KPU rigid sekali. Ini untuk apa, itu untuk apa.

Bahkan untuk menempatkan card reader hanya di titik rawan kecurangan, bukan semua TPS?

Tetap tidak bisa.

KPU menghadapi sidang di Bawaslu terkait dengan gugatan Oesman Sapta Odang, Ketua Dewan Perwakilan Daerah dan Ketua Umum Partai Hanura. Mengapa perselisihan dengan Oesman Sapta tak kunjung selesai?

Selesai, cuma, digugat lagi, he-he-he…. KPU memutuskan batas waktu penyerahan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai, sebagai syarat pendaftaran calon anggota DPD, Desember lalu. Dia menggugat. Ya, tidak ada masalah.

Apa pangkal masalahnya?

Dia ingin masuk daftar calon tetap (DCT) Pemilihan Umum 2019, sementara kami menjalankan putusan hukum (hasil uji Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 mengenai larangan pengurus partai menjadi anggota DPD). Kalau dia mau masuk DCT, harus memenuhi syaratnya, yaitu mundur dari kepengurusan partai.

Oesman Sapta mengatakan seharusnya putusan MK tidak berlaku surut....

Kami tidak memberlakukan surut. Kami berlakukan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu pada Pemilu 2019.

Menurut Oesman Sapta, putusan itu baru berlaku pada Pemilihan Umum 2024….

Tidak. Ada pernyataan seperti itu di bagian pertimbangan hukum. Bahkan, saat mengeluarkan putusan itu, Juli lalu, Mahkamah Konstitusi membuat rilis. Seingat saya, belum pernah ada rilis soal putusan mereka sebelumnya. Mungkin karena isunya sensitif. KPU hanya menjalankan putusan itu, seperti menjalankan putusan-putusan lain. Putusan MK soal verifikasi partai, pada Januari 2018, misalnya, keluar di tengah tahap verifikasi. Begitu putus, langsung kami jalankan. Contoh lain, pada Pemilu Presiden 2009, MK menyatakan pemilih cukup menunjukkan KTP untuk bisa mencoblos. Seingat saya, putusan itu keluar cuma kurang dua hari sebelum pemungutan suara. Langsung KPU eksekusi.

Walaupun Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan gugatan Oesman Sapta?

Putusan Mahkamah Agung dan PTUN juga kami jalankan. Putusan MA menyatakan Peraturan KPU berkekuatan hukum tetap. Perintahnya, jangan berlakukan surut. Kami tidak memberlakukan surut. PTUN memutuskan agar nama Oesman Sapta masuk daftar calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kami masukkan. Tapi kami juga tidak bisa mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi. Ada syaratnya. MK memerintahkan harus mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik. KPU memberikan waktu sampai 21 Desember lalu.

Menurut Anda, putusan Mahkamah Konstitusi dan MA-PTUN bertentangan?

Menurut saya, KPU harus menjalankan semua putusan. Itu bentuk penghormatan dan kepatuhan KPU terhadap hukum.

Hanura menuding KPU berpolitik. Pembelaan Anda?

Enggak. KPU lembaga yang kerjanya teknis mengurusi pemilihan umum. Sama sekali tidak berpolitik.

Apa perkembangan pemidanaan terhadap Anda dan komisioner Hasyim Asy’ari oleh Oesman Sapta?

Memang ada laporan ke Badan Reserse Kriminal Polri, tapi sampai sekarang kami belum diperiksa.

Mengapa KPU memberikan daftar pertanyaan menjelang rangkaian debat pasangan calon presiden yang dimulai 17 Januari ini?

Ya. Memang ini model baru. Pertimbangannya supaya tidak lagi muncul kecurigaan-kecurigaan, seperti kebocoran soal dan pertanyaan selundupan. Biar saja semua tahu soalnya. Terlebih, yang sebetulnya hendak kita dapatkan dari debat kan visi-misi para calon. Bukan pertanyaan-pertanyaan jebakan. Tapi tetap ada pertanyaan tertutup yang baru muncul saat debat, yaitu yang dilontarkan setiap pasangan calon.

Arief Budiman (depan, ketiga dari kiri) saat rapat validasi dan persetujuan surat suara Pemilihan Umum 2019 di gedung KPU, Jakarta, Jumat pekan lalu. TEMPO/Subekti

Dengan memberikan pertanyaan, diharapkan muncul jawaban yang lebih dalam?

Ya. Semua bisa mempersiapkan lebih baik. Menjawab dengan data yang detail. Harapan kita, debat kali ini akan berlangsung secara lebih terbuka, tidak lagi ewuh-pakewuh (sama-sama sungkan).

Visi-misi calon presiden tidak tergali dalam debat terdahulu?

Mungkin, ya.

Mengapa ada Bambang Widjojanto, pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, di tim panelis debat?

Panelis diusulkan oleh setiap tim kampanye plus KPU. Lalu disepakati.

Bambang Widjojanto diusulkan tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno?

Tanya saja kepada mereka. Pokoknya sudah disetujui. (KPU mencoret Bambang dan Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo dari daftar panelis, Jumat malam pekan lalu.)

Apa dasar pertimbangan KPU mengganti kotak suara dari berbahan aluminium menjadi kardus?

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kotak suara lama tidak bisa dipakai lagi karena desainnya beda. Undang-Undang menyebutkan harus transparan. Kami, bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat dengar pendapat Maret-April 2018, memutuskan menggunakan dupleks atau karton kedap air dengan pertimbangan penghematan.

Berapa banyak pemangkasan biayanya?

Dari segi harga produksi saja bisa sepertiga kotak aluminium. Masih ada biaya lain yang menjadi turunan. Misalnya biaya distribusi. Distribusi aluminium lebih berat dan butuh tempat luas, pasti lebih mahal. Kotak kardus bisa dilipat. Kedua, penyimpanan. Menurut regulasi kita, aset berbahan logam harus disimpan. Enggak boleh sekali pakai. Maka KPU harus punya gudang untuk menyimpan barang-barang itu. Teman-teman di wilayah, yang tidak punya ruang, menyewa gudang setahun bisa Rp 200 juta. Bayangkan kalau sampai lima tahun. Dengan kotak karton, KPU tidak perlu gudang. Sekali pakai, sampai tahap selesai, dijual. Jadi kita bisa menghemat biaya penyimpanan juga.

Kotak aluminium sisa pemilu lalu diapakan?

Sudah tidak ada lagi. Dijual. Uangnya masuk kas negara. Tidak bisa dipakai lagi karena desainnya berbeda dengan ketentuan di undang-undang.

Kekhawatiran bahwa kotak suara kardus mudah rusak terbukti setelah terendam banjir di Bali….

Kan, rusak karena bencana. Kotak suara didesain tidak dengan kemampuan menahan bencana, tapi menjalankan fungsinya, yaitu membawa logistik pemilu ke tempat pemungutan suara dan membawa balik logistik pemilu ke KPU kabupaten/kota. Itu saja. Ada yang bilang kotak suara karton bisa terbakar, memang itu tidak didesain untuk menahan api. Kotak suara aluminium pun kalau ada kebakaran, ya, terbakar juga bersama isinya. Jadi kotak suara memang tidak didesain untuk menahan api dan banjir, juga fungsi lain, seperti diduduki.

Bagaimana dengan kekhawatiran bahwa kotak kardus mempermudah kecurangan?

Mau pakai karton, mau aluminium, potensi kecurangan sama. Tidak terbayang oleh saya kemudahan kecurangan apa yang bisa terjadi akibat perubahan bahan dari aluminium ke karton.

Misalnya disayat untuk mengganti surat suara?

Tidak bisa. Kotak suara kan selalu dijaga petugas. Lagi pula, surat suara yang sudah dipakai dimasukkan ke bungkus tersendiri. Tidak dibiarkan berhamburan di dalam kotak. Kalau orang mau curang, ya, curang. Bukan karena bahan kotak suaranya.

 


 

Arief Budiman

Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 2 Maret 1974

Pendidikan: S-2 Ekonomi Universitas Gadjah Mada (2010), S-1 Hubungan Internasional Universitas Airlangga (2002), S-1 Sastra Inggris Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2000)

Karier: Ketua Komisi Pemilihan Umum (2017-2022), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (2012-2017), Komisioner Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur (2004-2012)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus