Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Berpacu dengan rayap

Buku-buku kuno yang tak terawat & jarang disentuh, jumlahnya ribuan buah a.l: dalam perpustakaan-perpustakaan kraton. lembaran lontar (bali) & pustaka (batak) bernasib sama. as membantu proyek microfilm.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU-BUKU itu telah berusia ratusan tahun. Kusam berdebu, di sana-sini kertas-kertasnya mulai menguning. Tertumpuk di atas rak hampir dengan cara acak-acakan, buku-buku itu tampak jarang ditelaah. Padahal beberapa di antaranya cukup penting untuk diteliti. Buku Niti Mani di perpustakaan Reksa Pustaka, di kompleks Istana Mangkunegaran Surakarta, misalnya. Karangan R.M. Haryo Sugondho pada tahun 1892 ini, diduga adalah ensiklopedi pertama dalam bahasa Jawa yang ditulis orang Jawa. Di halaman 170 buku itu antara lain tertulis "Silsilah keturunan. Artinya permata. Dalam kitab Hadits diceritakan mempunyai cahaya beraneka-warna, tempat para malaikat bersemayam. Hakekatnya adalah budi. Bisa juga jadi kiasan zat, asal mulanya anak. Perputaran kehidupan dunia." Ada seperangkat meja dan kursi di ruang perpustakaan dengan lampu yang cukup terang itu. Perpustakaan ini dibuka cuma sebentar pukul 08.00 - 14.00. Ada 7 orang yang mengelolanya. Mereka bekerja tanpa gaji. "Ini sekedar pengabdian kepada Mangkunegaran", kata Husodo yang jadi pimpinannya. Di sini tersimpan sekitar 10.000 buah buku lama. Reksa Pustaka berdiri pada 1878, ketika Sri Mangkunegara IV bertahta. Dari buku-buku yang berjumlah 10.000 itu, cuma 1.351 buah saja yang berbahasa Jawa. Tapi ditulis dengan tulisan halus dalam aksara Jawa, alias hanacaraka. Sisanya buku-buku dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda. Buku-buku asli dari Wedhatama karya Mangkunegara IV, atau buku Serat Babad Nitik Mangkunegaran karangan Prajurit Carik Istri (riwayat hidup Mangkunegara I--1757/1796), masih dalam bentuk asli--juga terdapat di sini. Bagi kolektor buku antik (antiquariate) buku ini tak ternilai harganya. Dan di Sala, ternyata banyak buku kuno yang perlu cepat-cepat dirawat. Radya Pustaka yang terletak di sebelah timur Sriwedari, mempunyai sekitar 2.000 buah buku. Perpustakaan ini meskipun kecil--adalah milik Yayasan Pakemah Radya Pustaka yang diketuai Go Tik Swan alias K.R.T. Hardjonagoro. Di antara isinya, terdapat 350 buah buku yang ditulis tangan dalam huruf Jawa, dan 950 buah buku bahasa Jawa yang telah dicetak. Sisanya, adalah buku-buku berbahasa Indonesia atau asing. Perpustakaan yang buka dari pukul 08-12.00 itu memungut bayaran Rp 50 dari tiap peminjam buku. Tarif ini termasuk juga untuk memasuki museum Radya Pustaka. Perpustakaan lain adalah Sana Pustaka, milik Paku Buwana XII. Tidak terbuka untuk umum, tapi bagi mereka yang mendapat izin masuk, berada di ruang baca berarti harus melepas sepatu atau sandal. Juga tidak disediakan kursi, karena pengunjung harus bersila sewaktu membaca. Ada sekitar 900 buah buku di Sana Pustaka, di antaranya buku asli dari Yasadipura I dan Yasadipura II yaitu Serat Bharatayudha, Serat Paniti Sastra, Babad Giyanti, Serat Menak termasuk karya Ranggawarsita seperti Serat Pustaka Raja, Serat Paramayoga. Semua ditulis halus dalam aksara Jawa, dengan tinta paling bagus waktu itu di atas kertas buatan Italia. Tapi apa pun isi perpustakaan-perpustakaan itu, pengunjungnya rata-rata 20 orang dalam seminggu. Di Bali ada juga sehuah perpusrakaan kuno. Gedungnya biasa disebut penduduk Kota Singaraja Cedong Kertya. Perpustakaan ini didirikan pada 1928 oleh F.A. Liefrick - van der Tuuk dan karena itu gedung itu pernah bernama Kertya Liefrick - van der Tuuk. Isinya bukan hanya buku cetak, tapi terutama berupa lembaran-lembaran lontar. Iama-nama orang terkenal yang pernah memanfaatkan Gedong Kertya, antara lain Dr. W.1. Stutterheim, Dr. Th. Pigeaud, Dr. C. Hooykaas, Dr. Purbatjaraka. Sayangnya, pembaca tulisan di atas lontar semakin jarang. Dan jumlah pengunjungnya pun hampir tak beda dengan pengunjung perpustakaan di Sala-umumnya pelajar dan mahasiswa. Tetapi gedung yang berukuran 13 X 8 meter itu tampaknya sarat dengan buku kuno, yang belakangan datang dari berbagai penjuru di Bali dan Lombok. Jumlahnya ada sekitar 6.000 buah. Sedangkan lembaran lontar sekitar 5.000 buah. Untung ada I Ketut Suwija, 42 tahun, yang merelakan dirinya bergelut dengan buku-buku yang mulai menguning ini. Keuangan perpustakaan ini banyak mendapat sumbangan dari Asia Society. Kini ada 10 orang tenaga yang mencoba merawat buku dan lontar-lontar ini. Cara menyusun buku dalam rak, tampak dijejal-jejalkan. Lembaran buku bukan saja kuning atau geripis, tetapi banyak pula yang sudah dimakan rayap. Rupanya pemeliharaan hanya dilakukan secara primitif, dengan kamper. Tidak ada sistem fumigasi seperti seharusnya di perpustakaan-perpustakaan modern. Pernah Suwija mencoba memfotokopi setiap lembaran. Tetapi sinar fotokopi malah menambah kerusakan lembaran-lembaran itu. Perpusukaan yang memuat kepustakaan daerah umpaknya hanya ada di Jawa dan Bali. Di Tapanuli (Sum-Ut), hingga kini sebenarnya masih banyak pustaha lama. Cuma bukan ditaruh di museum atau perpustakaan, melainkan dalam lemari tiap-tiap keluarga, Pustaha biasanya memuat silsilah keluarga, jampi-jampi atau mantera-mantera. Karena itu, pustaha bagi orang Batak berarti pusaha untuk keturunan berikutnya. Pustaha ini dibuat dari kulit pohon waru. Proses pembuatannya: kulit ini direndam dalam air selama sebulan. Setelah itu dipukul-pukul untuk menipiskannya. Kemudian dianginkan selama 1 bulan agar kuning sehingga kelak mudah digulung seperti karton. Bahan tinta Batak, cukup unik: terdiri dari campuran air pinang dan minyak baja. Minyak jenis ini dibuat dari ranting pohon jeruk yang ditempelkan pada besi panas yang memerah. Setelah dingin, akan tertinggal beberapa tumpukan endapan halus. Jadilah minyak itu yang kemudian dijadikan unta. Waranggono Seperti juga daun lontar di Bali, pustaba Batak tidak banyak peminat. Selama ini, cuma ada empat orang yang mencoba mengungkapkan isi pustaha ini. Yaitu Ms. Huugalung, Guntur Tarigan, Urich Damanik dan Suruhen. Tapi sayang hasil terjemahan mereka belum dipublikasikan secara luas. Di Tepas Kapujanggan Kraton Yogyakarta, terdapat 276 buah buku yang sebagian besar dalam bentuk macapat-yang juga belum ditelaah secara tunus. Teronggok dalam lemari yang lusuh, buku-buku ini dikeluarkan hanya sekali dalam setahun. Yaitu menjelang bulan puasa, untuk ditembangkan para waranggono (penyanyi). "Tapi hanya sekedar dibaca, tanpa mendalami isinya." ujar K.R.T. Widyokusumo, 70 tahun, yang jadi Pengageng Kawedanan Ageng Punakawan Widyabudaya Kraton Yogyakarta. Perpustakaan Pura Pakualaman, juga di Yogya, cukup bagus diurus. Buku koleksi Pakualam 11 (1829 - 1858), itu berjumlah sekitar 1000 buah yang telah dibuatkan katalog. Sama seperti perpustakaan kraton lainnya, perpustakaan Pakualaman juga berisi buku babad, berbagai macam serat dalam bahasa Jawa, berhuruf Jawa atau Pegon. Nasib buku-buku itu sama: jarang disentuh. Para peneliti atau mahasiswa yang membutuhkannya hanya mungkin memahami isinya lewat penerjemah yang tak lain adalah pegawai prpustakaan itu sendiri. Di Sala maupun Yogya ongkos penerjemahan itu adalah Rp 500 setiap halaman buku--satu jumlah yang cukup memadai bagi karyawan yang umumnya bergaji rendah di sana. Meskipun secara keseluruhan nasib buku-buku kuno kesepian karena kurang dijamah, ada berita yang cukup menggembirakan--khususnya bagi museum-museum di Sala. Sejak Desember tahun lalu, Cornell University, Ithaca, New York, mulai melaksanakan programnya yang bernama Surakarta Manuscript Project. Orang yang langsung menangani masalah ini, Nancy K. Florida, 32 tahun, dibantu beberapa orang temannya telah memotret halaman-halaman dari ratusan buku lama yang ada di perpustakaan-perpustakaan di Sala. Persisnya sampai pertengahan September lalu: 800 buah buku dari Mangkunegaran telah rampung dipotret, dari Kasunanan 450 buah, Radya Pustaka 300 buah. Proyek ini direncanakan selesai Desember tahun ini, dengan biaya sekitar Rp 60 juta. Nancy dan teman-temannya, sekaligus juga mengkatalogkan buku-buku tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus