BUKU-BUKU itu telah berusia ratusan tahun. Kusam berdebu, di
sana-sini kertas-kertasnya mulai menguning. Tertumpuk di atas
rak hampir dengan cara acak-acakan, buku-buku itu tampak jarang
ditelaah. Padahal beberapa di antaranya cukup penting untuk
diteliti.
Buku Niti Mani di perpustakaan Reksa Pustaka, di kompleks Istana
Mangkunegaran Surakarta, misalnya. Karangan R.M. Haryo Sugondho
pada tahun 1892 ini, diduga adalah ensiklopedi pertama dalam
bahasa Jawa yang ditulis orang Jawa. Di halaman 170 buku itu
antara lain tertulis "Silsilah keturunan. Artinya permata. Dalam
kitab Hadits diceritakan mempunyai cahaya beraneka-warna, tempat
para malaikat bersemayam. Hakekatnya adalah budi. Bisa juga jadi
kiasan zat, asal mulanya anak. Perputaran kehidupan dunia."
Ada seperangkat meja dan kursi di ruang perpustakaan dengan
lampu yang cukup terang itu. Perpustakaan ini dibuka cuma
sebentar pukul 08.00 - 14.00. Ada 7 orang yang mengelolanya.
Mereka bekerja tanpa gaji. "Ini sekedar pengabdian kepada
Mangkunegaran", kata Husodo yang jadi pimpinannya. Di sini
tersimpan sekitar 10.000 buah buku lama.
Reksa Pustaka berdiri pada 1878, ketika Sri Mangkunegara IV
bertahta. Dari buku-buku yang berjumlah 10.000 itu, cuma 1.351
buah saja yang berbahasa Jawa. Tapi ditulis dengan tulisan
halus dalam aksara Jawa, alias hanacaraka. Sisanya buku-buku
dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda.
Buku-buku asli dari Wedhatama karya Mangkunegara IV, atau buku
Serat Babad Nitik Mangkunegaran karangan Prajurit Carik Istri
(riwayat hidup Mangkunegara I--1757/1796), masih dalam bentuk
asli--juga terdapat di sini. Bagi kolektor buku antik
(antiquariate) buku ini tak ternilai harganya.
Dan di Sala, ternyata banyak buku kuno yang perlu cepat-cepat
dirawat. Radya Pustaka yang terletak di sebelah timur Sriwedari,
mempunyai sekitar 2.000 buah buku. Perpustakaan ini meskipun
kecil--adalah milik Yayasan Pakemah Radya Pustaka yang diketuai
Go Tik Swan alias K.R.T. Hardjonagoro. Di antara isinya,
terdapat 350 buah buku yang ditulis tangan dalam huruf Jawa, dan
950 buah buku bahasa Jawa yang telah dicetak. Sisanya, adalah
buku-buku berbahasa Indonesia atau asing.
Perpustakaan yang buka dari pukul 08-12.00 itu memungut bayaran
Rp 50 dari tiap peminjam buku. Tarif ini termasuk juga untuk
memasuki museum Radya Pustaka.
Perpustakaan lain adalah Sana Pustaka, milik Paku Buwana XII.
Tidak terbuka untuk umum, tapi bagi mereka yang mendapat izin
masuk, berada di ruang baca berarti harus melepas sepatu atau
sandal. Juga tidak disediakan kursi, karena pengunjung harus
bersila sewaktu membaca.
Ada sekitar 900 buah buku di Sana Pustaka, di antaranya buku
asli dari Yasadipura I dan Yasadipura II yaitu Serat
Bharatayudha, Serat Paniti Sastra, Babad Giyanti, Serat Menak
termasuk karya Ranggawarsita seperti Serat Pustaka Raja, Serat
Paramayoga. Semua ditulis halus dalam aksara Jawa, dengan tinta
paling bagus waktu itu di atas kertas buatan Italia. Tapi apa
pun isi perpustakaan-perpustakaan itu, pengunjungnya rata-rata
20 orang dalam seminggu.
Di Bali ada juga sehuah perpusrakaan kuno. Gedungnya biasa
disebut penduduk Kota Singaraja Cedong Kertya. Perpustakaan ini
didirikan pada 1928 oleh F.A. Liefrick - van der Tuuk dan karena
itu gedung itu pernah bernama Kertya Liefrick - van der Tuuk.
Isinya bukan hanya buku cetak, tapi terutama berupa
lembaran-lembaran lontar. Iama-nama orang terkenal yang pernah
memanfaatkan Gedong Kertya, antara lain Dr. W.1. Stutterheim,
Dr. Th. Pigeaud, Dr. C. Hooykaas, Dr. Purbatjaraka.
Sayangnya, pembaca tulisan di atas lontar semakin jarang. Dan
jumlah pengunjungnya pun hampir tak beda dengan pengunjung
perpustakaan di Sala-umumnya pelajar dan mahasiswa. Tetapi
gedung yang berukuran 13 X 8 meter itu tampaknya sarat dengan
buku kuno, yang belakangan datang dari berbagai penjuru di Bali
dan Lombok. Jumlahnya ada sekitar 6.000 buah. Sedangkan lembaran
lontar sekitar 5.000 buah.
Untung ada I Ketut Suwija, 42 tahun, yang merelakan dirinya
bergelut dengan buku-buku yang mulai menguning ini. Keuangan
perpustakaan ini banyak mendapat sumbangan dari Asia Society.
Kini ada 10 orang tenaga yang mencoba merawat buku dan
lontar-lontar ini.
Cara menyusun buku dalam rak, tampak dijejal-jejalkan. Lembaran
buku bukan saja kuning atau geripis, tetapi banyak pula yang
sudah dimakan rayap. Rupanya pemeliharaan hanya dilakukan secara
primitif, dengan kamper. Tidak ada sistem fumigasi seperti
seharusnya di perpustakaan-perpustakaan modern. Pernah Suwija
mencoba memfotokopi setiap lembaran. Tetapi sinar fotokopi malah
menambah kerusakan lembaran-lembaran itu.
Perpusukaan yang memuat kepustakaan daerah umpaknya hanya ada di
Jawa dan Bali. Di Tapanuli (Sum-Ut), hingga kini sebenarnya
masih banyak pustaha lama. Cuma bukan ditaruh di museum atau
perpustakaan, melainkan dalam lemari tiap-tiap keluarga, Pustaha
biasanya memuat silsilah keluarga, jampi-jampi atau
mantera-mantera. Karena itu, pustaha bagi orang Batak berarti
pusaha untuk keturunan berikutnya.
Pustaha ini dibuat dari kulit pohon waru. Proses pembuatannya:
kulit ini direndam dalam air selama sebulan. Setelah itu
dipukul-pukul untuk menipiskannya. Kemudian dianginkan selama 1
bulan agar kuning sehingga kelak mudah digulung seperti karton.
Bahan tinta Batak, cukup unik: terdiri dari campuran air pinang
dan minyak baja. Minyak jenis ini dibuat dari ranting pohon
jeruk yang ditempelkan pada besi panas yang memerah. Setelah
dingin, akan tertinggal beberapa tumpukan endapan halus. Jadilah
minyak itu yang kemudian dijadikan unta.
Waranggono
Seperti juga daun lontar di Bali, pustaba Batak tidak banyak
peminat. Selama ini, cuma ada empat orang yang mencoba
mengungkapkan isi pustaha ini. Yaitu Ms. Huugalung, Guntur
Tarigan, Urich Damanik dan Suruhen. Tapi sayang hasil terjemahan
mereka belum dipublikasikan secara luas.
Di Tepas Kapujanggan Kraton Yogyakarta, terdapat 276 buah buku
yang sebagian besar dalam bentuk macapat-yang juga belum
ditelaah secara tunus. Teronggok dalam lemari yang lusuh,
buku-buku ini dikeluarkan hanya sekali dalam setahun. Yaitu
menjelang bulan puasa, untuk ditembangkan para waranggono
(penyanyi). "Tapi hanya sekedar dibaca, tanpa mendalami isinya."
ujar K.R.T. Widyokusumo, 70 tahun, yang jadi Pengageng
Kawedanan Ageng Punakawan Widyabudaya Kraton Yogyakarta.
Perpustakaan Pura Pakualaman, juga di Yogya, cukup bagus diurus.
Buku koleksi Pakualam 11 (1829 - 1858), itu berjumlah sekitar
1000 buah yang telah dibuatkan katalog. Sama seperti
perpustakaan kraton lainnya, perpustakaan Pakualaman juga berisi
buku babad, berbagai macam serat dalam bahasa Jawa, berhuruf
Jawa atau Pegon.
Nasib buku-buku itu sama: jarang disentuh. Para peneliti atau
mahasiswa yang membutuhkannya hanya mungkin memahami isinya
lewat penerjemah yang tak lain adalah pegawai prpustakaan itu
sendiri. Di Sala maupun Yogya ongkos penerjemahan itu adalah Rp
500 setiap halaman buku--satu jumlah yang cukup memadai bagi
karyawan yang umumnya bergaji rendah di sana.
Meskipun secara keseluruhan nasib buku-buku kuno kesepian karena
kurang dijamah, ada berita yang cukup menggembirakan--khususnya
bagi museum-museum di Sala. Sejak Desember tahun lalu, Cornell
University, Ithaca, New York, mulai melaksanakan programnya yang
bernama Surakarta Manuscript Project. Orang yang langsung
menangani masalah ini, Nancy K. Florida, 32 tahun, dibantu
beberapa orang temannya telah memotret halaman-halaman dari
ratusan buku lama yang ada di perpustakaan-perpustakaan di Sala.
Persisnya sampai pertengahan September lalu: 800 buah buku dari
Mangkunegaran telah rampung dipotret, dari Kasunanan 450 buah,
Radya Pustaka 300 buah.
Proyek ini direncanakan selesai Desember tahun ini, dengan biaya
sekitar Rp 60 juta. Nancy dan teman-temannya, sekaligus juga
mengkatalogkan buku-buku tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini