Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Dari Sabang Sampai Merauke

16 Maret 2015 | 00.00 WIB

Dari Sabang Sampai Merauke
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Persoalan impor minyak membuat PT Pertamina tak pernah lepas dari sorotan.

Majalah Tempo edisi 18 November 1972 menuliskan tentang eksplorasi Pertamina yang sudah dilakukan dari Sabang sampai Merauke. Saat itu Indonesia masuk negara pengekspor minyak. Namun impor tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Setelah berpayah-payah mengebor kulit "Bumi Kepala Burung Barat" sebulan lamanya, dari kedalaman 3.150 kaki, menyemburlah minyak bumi yang lumayan banyak. Meskipun 1.400 barel emas hitam yang tiap hari ditampung di situ tidak seberapa banyak bila dibandingkan dengan produksi Jatibarang, misalnya, bagi Pertamina, itu cukup besar artinya. Sebab, dengan suksesnya pengeboran yang masih akan disusul pengeboran-pengeboran berikutnya di wilayah 11 ribu hektare yang dikontrak oleh Petromer Trend Co itu, utuhlah rantai ladang minyak dari Sabang sampai Merauke. Maka ada yang menduga bahwa ada satu kawasan minyak yang terjepit di antara lapisan-lapisan kulit bumi kepulauan ini yang masih bisa diperas puluhan tahun lagi.

Dalam tiga bulan terakhir ini telah ditemukan sumur baru, yang beramai-ramai mampu menyemburkan 19 ribu barel sehari atau kira-kira 20 persen dari seluruh produksi minyak mentah tahun lalu. Bila dibandingkan dengan kenaikan produksi minyak bumi mulai 1970 hingga 1971, kemajuan tahun ini jauh lebih pesat.

Yang terang menerima rahmat dari kenaikan produksi ini adalah sektor ekspor yang terutama bergantung pada minyak, kayu, dan timah. Seperti perkiraan Departemen Perdagangan, tahun ini seluruh hasil ekspor komoditas yang licin dan basah itu bakal mencapai nilai devisa US$ 1 miliar, Desember nanti. Kendati demikian, bukannya tidak ada kepincangan di balik melimpahnya ekspor minyak bumi itu. Memang kontrak kerja perusahaan-perusahaan asing dengan Pertamina umumnya dilakukan atas dasar production sharing, di mana Pertamina kebagian porsi 65 persen. Toh, keuntungan yang paling banyak lari ke kantong-kantong kontraktor asing itu. Penyebabnya semata-mata karena ekspor terutama dilakukan dalam wujud minyak mentah, bukan minyak kilang.

Bagi perusahaan asing seperti Caltex, yang menghasilkan 80 persen dari seluruh produksi tahun lalu, cara ini lebih menguntungkan. Tapi, bagi negeri penghasil, nilai devisa ekspor jadinya jauh lebih rendah daripada kalau minyak mentah itu disuling dulu di kilang, baru diekspor. Namun, apa daya, produksi minyak kilang Indonesia tahun lalu hanya 79,5 juta barrel dari panen minyak mentah sebanyak 325 juta barel, yang seluruhnya dikerjakan di kilang-kilang Pertamina. Dari jumlah itu, hanya 17 persen dijual ke luar negeri, sedangkan bagian terbesar dimanfaatkan konsumen dalam negeri. Adapun perusahaan-perusahaan asing hanya membatasi diri dalam perburuan dan pengeboran minyak.

Betapapun, seandainya semua kontraktor asing mau menyuling minyaknya lebih dulu sebelum diekspor, belum tentu Pertamina sendiri sanggup. Karena itu, usaha yang dapat dilakukan Pertamina hanyalah memperbesar daya terpasang kilang yang sudah ada atau mem-bangun kilang baru, seperti yang dilakukan di Dumai. Meskipun ini membutuhkan modal tertanam yang jauh lebih besar, dalam jangka panjang, meningkatnya ekspor minyak kilang akan melipatgandakan penghasilan negara, sambil memperluas kegiatan industri dengan hasil sampingan penyulingan-penyulingan minyak itu.

Dari pembangunan-pembangunan dewasa ini, tampaknya memang begitulah siasat Pertamina dalam jangka panjang. Tapi, sementara ini, Pertamina lebih menggantungkan diri pada kebijaksanaan pemasaran yang lebih menguntungkan. Minyak bumi Indonesia, yang kadar belerangnya rendah dan karena itu lebih mahal, diekspor sebanyak-banyaknya ke mancanegara. Pada saat yang sama, minyak mentah dari Timur Tengah, yang lebih rendah mutunya dan lebih murah, diimpor dan diolah di kilang-kilang Pertamina untuk konsumsi dalam negeri. Keuntungan dari siasat pemasaran ini ditanamkan kembali dalam pembangunan prasarana pengangkutan, telekomunikasi, kilang, dan industri petrokimia yang lebih bernafsu melahap cairan kulit bumi yang keriput ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus