Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA tak kenal Tjut Nyak Dhien? Pahlawan wanita asal Aceh yang mampu menjaga Aceh dari serangan Belanda itu berjuang mempertahankan Tanah Rencong hingga akhir hayatnya. Meski kedua matanya buta, ia tetap bersemangat mengobarkan api perjuangan kepada rakyat Aceh untuk tidak begitu saja menyerahkan harga diri bangsa kepada imperialis Barat. Siapa pula tak mengenal Panglima Besar Jenderal Sudirman? Bapak TNI ini bergerilya melawan penjajah yang ingin kembali merebut Tanah Air tercinta. Meski paru-parunya rontok hingga ia harus ditandu naik-turun gunung untuk bergerilya, itu tak membuatnya surut membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada.
Kelemahan fisik kedua pahlawan bangsa kita itu tak menyurutkan semangat juang mereka bagi negeri yang kita tempati sekarang. Begitu pula Presiden Gus Dur. Ia memang mengalami kesulitan dalam penglihatannya. Namun, semua itu bukan masalah bagi tokoh sekaliber Gus Dur, yang kemampuannya di atas rata-rata manusia Indonesia. Ia bisa melihat apa yang tak dapat kita lihat. Ia bisa merasakan apa yang tak bisa kita rasakan. Siapa pun yang mengejeknya sama artinya memperlihatkan sebenarnya kelemahan sendiri.
Apa itu kelemahan kita? Kepekaan. Kita merasa sombong akan kelebihan kita. Padahal, kesombongan itu merupakan kelemahan kita yang membuat kita kurang peka terhadap dunia di sekeliling kita, yaitu bahwa manusia tak ada yang sempurna. Dan ketidaksempurnaan itu adalah buah kasih Sang Pencipta. Apa pun alasannya, kita tak bisa mencela seseorang karena kelemahannya. Sebab, itu sama artinya mencela karunia Ilahi.
Bagi saya, Gus Dur seorang demokrat sejati. Ia sengaja menerima jabatan presiden, selain untuk mengajari kita berdemokrasi, untuk mendinginkan panasnya situasi Indonesia. Sebagai contoh, ia dan Megawati adalah dua ’’musuh” dalam perebutan kursi kepresidenan. Di luar itu, Gus Dur dan Megawati merupakan sosok ’’kakak-adik”. Namun, pilihan rakyat adalah yang utama bagi Gus Dur. Gus Dur bisa saja mengundurkan diri dari pencalonan presiden dan menyerahkan dukungannya kepada ’’sang Adik”, sekadar mencegah lebih luasnya kekecewaan simpatisan PDI Perjuangan. Tapi Gus Dur tak menyerah. Sebab, dengan menyerah, berarti Gus Dur mengorbankan demokrasi yang lebih besar, dengan emosi simpatisan PDI Perjuangan.
Sebagai presiden, kelemahan Gus Dur tak berarti apa-apa. Sebab, yang dibutuhkan dari seorang pemimpin negeri ini adalah visinya untuk membawa bangsa melewati masa-masa sulit. Itu seperti halnya di Amerika Serikat. Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR) juga memiliki kelemahan fisik. Namun, FDR dengan ’’New Deal”-nya mampu membawa rakyat Amerika Serikat menuju kejayaannya, sampai sekarang.
Kita mengharapkan Gus Dur dikaruniai kesehatan yang memungkinkannya membawa Indonesia ke arah Indonesia Baru, yang besar, damai, dan sejahtera. Apa lagi yang kita harapkan dari negeri ini kalaulah bukan agar negeri ini tetap berdiri tegak?
SUKARJA
Jalan Kebonnanas V/37 RT 006/10
Grogol Utara, Kebayoran Lama
Jakarta 12210
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo