Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Referendum Aceh Ahistoris

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERLAKUAN kejam kalangan sipil dan militer yang menghancurkan martabat rakyat Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini perlu diselesaikan secara tuntas oleh pemerintahan Gus Dur. Itu suatu keharusan mutlak yang tak dapat ditunda-tunda lagi. Namun, alangkah naifnya bila kemudian sebagian rakyat Aceh menuntut untuk melepaskan diri dari kedaulatan RI. Sulit rasanya memperoleh pembenaran bagi tuntutan merdeka untuk rakyat Aceh. Dari segi moral, tuntutan referendum yang diarahkan untuk merdeka, sejatinya, tidak memperoleh landasannya. Ini artinya tuntutan tersebut sangat tidak sejalan dengan pengorbanan rakyat Aceh di masa lalu. Bahkan, itu berarti pengingkaran sebagian rakyat Aceh terhadap para pahlawannya sendiri. Sementara itu, dengan dalih apa pun—baik sejarah, politik, maupun hukum—tuntutan itu juga tidak memperoleh justifikasi. Dengan kata lain, tuntutan referendum sebagian rakyat Aceh menjadi ahistoris.

Sebagaimana diketahui masyarakat luas, Aceh memiliki tokoh-tokoh legendaris seperti Tengku Cik Di Indrapuri atau Tengku Daud Beureuh. Kedua pemimpin karismatis yang sepanjang hidupnya memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh ini menitipkan testamen politik untuk rakyat Aceh sebelum wafat. Wasiat kedua Tengku ini adalah sebuah permintaan kepada rakyat Aceh agar dalam kondisi seperti apa pun rakyat Aceh mempertahankan Tanah Rencong tetap berada dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan dengan menggelembungnya luapan emosi dan kemarahan rakyat Aceh akibat ketidakadilan selama setidaknya tiga dasawarsa belakangan ini, barangkali testamen politik kedua tokoh Aceh yang dihormati rakyatnya di masa lalu itu menjadi tidak begitu penting.

Semestinya, tuntutan referendum bukan sebuah harga mati bagi rakyat Serambi Mekah untuk melepaskan diri dari wilayah RI. Tuntutan itu tentu lebih dipersepsikan sebagai keinginan untuk merdeka dari rasa takut dan merdeka dari ’’pengisapan” pemerintah pusat. Mungkin yang terakhir inilah sesungguhnya keinginan rakyat Aceh.

Memang, fakta menunjukkan ada sebagian kalangan masyarakat Aceh yang ingin memisahkan diri dari wilayah RI. Potensi separatis itu hanyalah ditunjukkan oleh sekelompok golongan yang mengklaim diri sebagai Gerakan Aceh Merdeka. Kelompok ini memperoleh momentum untuk mengaktualisasi lagi tujuan politiknya, dengan memanfaatkan suasana emosional rakyat di tataran akar rumput, sekaligus mengeksploitasi sentimen masyarakat Aceh yang kental dengan corak kehidupan Islami.

Suku bangsa lain di Tanah Air tentu sangat berempati terhadap tragedi dan kepedihan rakyat Aceh. Namun, rakyat Indonesia umumnya tentu juga sangat prihatin dengan tuntutan merdeka sebagian rakyat Aceh. Sebab, Indonesia tanpa Tanah Rencong bukan lagi Indonesia sebagaimana cita-cita dan tujuan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tuntutan merdeka saudara-saudara kita dari Serambi Mekah itu tentu sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya yang tengah emosional. Pemerintah harus secepatnya menuntaskan masalah Aceh.

T. AMIRUDDIN
Pamulang Permai Blok B/29
Pamulang, Tangerang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus