Mari Pangestu
Pengamat ekonomi dan pakar perdagangan internasional
Diskusi WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) di Seattle ternyata gagal menghasilkan suatu agenda, dan karena itu ditunda untuk sebuah pembahasan lebih lanjut di Jenewa. Namun, beberapa isu sudah jelas karena merupakan agenda yang sudah disepakati sebelumnya sehingga, bagaimanapun, tetap layak untuk dianalisis dan diantisipasi.
Pertama, berkurangnya komitmen terhadap sistem multilateral, terutama oleh AS dan MEE. Bagi Indonesia, sistem perdagangan multilateral tetap paling menguntungkan. Sebagai negara ekonomi lemah, posisi tawar kita payah, khususnya dalam hubungan dagang bilateral. Sebaliknya, dalam sistem multilateral, kita ikut serta membentuk aturan main dan berlindung di baliknya—misalnya bila negara besar mencoba bersikap tidak ''adil" terhadap kita.
Walaupun diperkirakan ada satu agenda negosiasi—karena built-in agenda sudah ditentukan sebelumnya untuk tiga tahun ke depan—hasil tersebut sangat mungkin tidak memuaskan bagi beberapa anggota utama. Jika dukungan domestik terhadap WTO bagi AS berkurang, misalnya karena AS tidak memperoleh penghapusan subsidi ekspor pertanian di negara-negara Eropa, mungkin ada upaya mengaitkan sanksi perdagangan dengan pelanggaran standar mengenai buruh. Akibatnya, kebijakan perdagangan AS bisa beralih ke bilateral atau jadi perjanjian plurilateral.
Strategi terakhir adalah memperluas kawasan perdagangan bebas yang ada. Pada intinya, kawasan perdagangan bebas merupakan contoh akses pasar yang diskriminatif dan diperbolehkan di bawah peraturan WTO. Negara-negara seperti Meksiko, misalnya, akan bergabung dalam sistem plurilateral dan tetap punya akses ke pasar AS karena tidak dikenai kuota atau tarif. Contohnya adalah eskpor tekstil, pakaian jadi, dan elektronik dari Meksiko ke pasar AS secara bebas. Bagi Indonesia, perubahan tersebut tentu dapat mengganggu aksesnya ke pasar.
Kedua, berbagai program pemulihan ekonomi dan prospek akses pasar harus kita perjuangankan bersama negara lain. Dalam negosiasi pertanian, diharapkan subsidi ekspor dan tunjangan domestik untuk produk pertanian dapat berkurang dan membuka pasar bagi produk pertanian kita di MEE dan Jepang. Aspek lain adalah penurunan tarif setelah hambatan nontarif diubah menjadi tarif.
Akan halnya perundingan tentang akses pasar, itu memang bertujuan mencapai penurunan tarif di bidang nonpertanian. Kalau itu terwujud, yang harus diperjuangkan adalah penurunan tarif di pasar negara-negara maju untuk berbagai produk yang merupakan ekspor Indonesia, misalnya tekstil, pakaian jadi, dan produk olahan sumber daya alam seperti kayu lapis.
Hal lain adalah meningkatkan implementasi dalam penghapusan kuota tekstil. Menurut data UNCTAD, walaupun periode transisi 10 tahun untuk penghapusan kuota sudah hampir setengah jalan, baru enam persen dari nilai impor yang sebelumnya terkena kuota kini dinyatakan bebas kuota.
Pembukaan sektor jasa-jasa, jika dilakukan dengan tahapan yang tepat, juga sangat penting bagi Indonesia. Memang, untuk bidang ini kita jauh dari siap. Tapi, kalau terus memproteksi, kita tak akan pernah jadi peserta yang terintegrasi dengan pasar global. Contohnya, perkembangan pesat di e-commerce atau penggunaan internet untuk aneka ragam transaksi.
Yang juga tak boleh dianggap enteng adalah dampak masuknya Cina sebagai anggota WTO, yang prosesnya diperkirakan selesai enam sampai 12 bulan lagi. Kelak, produk Cina akan memperoleh perlakuan sebagai MFN (most favored nation) dan tak lagi harus meminta izin setiap tahun. Suka atau tidak, kenyataan ini akan memaksa Indonesia dan Cina berhadap-hadapan sebagai pesaing, terutama di pasar tekstil, pakaian jadi, elektronik, dan sepatu.
Selain itu, dalam hal menaikkan tarif gula, misalnya, harus lebih dulu ditelaah untung-ruginya. Kalau proteksi gula ditujukan untuk menciptakan masa transisi bagi pabrik gula dan pekerjanya, lebih baik mengelola proses tersebut sebaik-baiknya daripada menaikkan tarif dan lagi-lagi merugikan konsumen. Dengan kenaikan tarif, proteksi tak juga bisa dihapus.
Ketiga adalah aspek nonperdagangan. Presiden AS, Bill Clinton, telah mengarisbawahi posisinya mengenai kaitan antara sanksi perdagangan dan pelanggaran hak-hak buruh. Selain itu, aspek nonperdagangan juga ditemukan di sektor negosiasi pertanian dan lingkungan hidup. Pilihan lain tak ada, dan tampaknya kita mesti berjuang keras agar isu nonperdagangan tak dikaitkan ke perdagangan.
Keempat, negosiasi implementasi dan aturan main. NSB (negara sedang berkembang alias developing countries) memang menginginkan masa transisi lebih lama untuk implementasi, tapi yang penting adalah kejelasan mengenai NSB mana yang berhak memohon perlakuan khusus. Jika tidak, akan muncul kelompok vested interest yang hanya menuntut perlindungan bagi sektor atau perusahaan mereka sendiri. Singkat kata, koreksilah masalah di sumbernya. Itu baru ''good policy".
Terakhir, masalah transparansi. Pada saat ini, banyak imbauan dan demonstrasi—pembukaan sidang WTO tertunda gara-gara demo yang digerakkan ratusan anggota LSM—yang dimaksudkan agar WTO lebih terbuka. Tentang ini, AS menghendaki adanya wakil masyarakat dan LSM di dewan penasihat WTO dan diperbolehkannya peninjau untuk menyaksikan negosiasi. Di lain pihak, Meksiko merasa bahwa transparansi dapat dipenuhi dengan arus informasi yang lebih baik dan terbukanya dialog dengan masyarakat dan LSM di tiap-tiap negara. Pokoknya, keterbukaan yang partisipatif dianggap penting untuk mendukung upaya mengubah kebijakan, apalagi jika kita ingin terus menjadi peserta yang beruntung dalam ekonomi global.
Dan beberapa anggota WTO sudah melakukan hal itu. Dalam delegasi AS, ada 100 anggota nonpemerintah. Delegasi NSB juga melibatkan orang nonpemerintah. Bagaimana Indonesia? Tidak ada anggota nonpemerintah dalam delegasi RI, kecuali wakil-wakil dari Kadin. Pengambil keputusan di sini rupanya belum menyadari pentingnya wakil-wakil masyarakat dan LSM dalam proses pembentukan kebijakan WTO—padahal negara maju, yang dicurigai menyuarakan kepentingan perusahaan multinasional itu, kini bahkan sudah melibatkan stakeholders.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini