SEGALA macam bentuk arca bagai berserakan di sepanjang jalan
besar tak jauh dari kota Muntilan. Setiap kendaraan dari arah
Sala dan Yogya menuju Semarang (atau sebaliknya), tidak bisa
menghindari pemandangan ini. Patung dan arca tanpa diatur dalam
tataan menarik pengunjung, begitu saja tergolek di bawah rumpun
bambu, di tepi pagar bambu, di samping rumah-rumah penduduk yang
juga kebanyakan terbuat dari bambu. Bisu dan dingin. Tapi
pemiliknya akan bernafas harap begitu melihat sebuah mobil
berhenti dan seorang tamu -- apalagi yang parlente - masuk ke
pekarangan rumahnya.
Salah satu dari sekian banyak rumah-rumah milik para "seniman
pahat" Muntilan, ada sebuah papan reklame berbunyi "Sanggar
Linang Sayang". Pemiliknya adalah satu-satunya -- mungkin --
orang Muntilan (karena dia sudah menetap di situ selama 20
tahun) yang berasal dari Bali. Lahir 68 tahun yang lalu, tadinya
ia bekerja sebagai pelukis.
Mula-mula dia jadi pelukis karena ditahun 1947 dia jadi tawanan
Belanda. Selepas dari penjara Belanda, Paulus Hieny mengembara
ke Pulau Jawa. "Dan saya beragama Katolik sejak saya ditawan
Belanda dulu," ujar Paulus dari Bali ini. Biarpun diakuinya ini
masalah pribadi dan "semua agama pada dasarnya toh sama," Paulus
menambahkan: "yang jelas, keluarga kami di Bali adalah keluarga
miskin, sehingga untuk dapat hidup secara "orang Bali", kami
mengalami kesulitan."
Kehidupan Paulus Hieny memang cukup sulit dan panjang untuk
mencapai taraf hidupnya seperti sekarang: sebuah rumah, seorang
isteri yang telah meninggal dan 7 orang anak, dua di antaranya
sudah berumah tangga. Karena sebelum menetap di Muntilan di
tahun 1958, Paulus sudah mengembara ke berbagai tempat mencoba
mengadu nasib dengan kebolehannya sebagai pelukis.
Tempat terakhir sebelum Muntilan ia pernah menetap di salah
sebuah goa di Desa Karangasem, Kelurahan Mulo, Kecamatan
Tepus Kabupaten Gunung Kidul, di pinggir jalan yang menuju
pantai Baron. Goa seluas 11 mÿFD itu dibelinya untuk kemudian
dijadika~nnya semacam studio. Paulus bahkan mendapat tawaran
dari Bupati Gunung Kidul untuk menetap saja di situ. Ia
menolak untuk "memilih jadi tukang pahat di Muntilan."
Untunglah seperti juga kebanyakan orang Bali ketika Paulus masih
kecil mempunyai kegemaran memahat. "Karena itu, hasil kerja saya
tidak begitu saya komersilkan," ujarnya. Artinya, kalau lagi
asyik memahat ia tak merasa dikejar-kejar waktu. Kalau selesai
tidak langsung dijualnya, karena dia merasa puas bisa menonton
hasil pahatannya. Lama setelah itu, barulah dia ikhlaskan hasil
pahatannya dibeli orang. Kalau kebetulan datang pembeli dan
peminat.
Patung Ganesya
Paulus memahat apa saja, menuruti kesukaan hatinya atau sesekali
memenuhi pesanan. Yaitu mulai dari patung kodok yang bisa dibeli
hanya dengan harga Rp 500, sampai ke patung-patung Maria dan
Yesus Kristus yang bisa mencapai satu juta rupiah. Beberapa
patung macam ini dipesan gereja Katolik sekitar situ, tapi
sisanya, "untuk koleksi saya," ujar Paulus.
Biasanya, segala itu dikerjakannya sendiri. "Tapi beberapa
patung besar saya perlu bantuan," kata Paulus, sambil menunjuk
ke beberapa patung yang tergolek di pekarangan. Misalnya, patung
Ganesya yang berukuran 1« meter dengan lebar dan tebal 80 x 70 cm
terbuat dari batu yang beratnya 1« ton. Patung Ganesya ini adalah
pesanan Walikora Salatiga dalam rangka membenahi kota.
Harga batu masih dalam prongkolan besar tidak mahal cuma Rp
40.000.
Mungkin karena hasil yang sesekali melimpahkan uang, Paulus jadi
kerasan tinggal di Muntilan. Karena dia bisa mengerjakan apa
saja dari batu atau kayu. Paulus juga menju-al ubin-ubin yang
diukir dengan harga jual Rp 75 sebuah. Jenis pekerjaannya yang
terakhir dan termurah ini ternyata merupakan dagangannya yang
cepat laku.
Modal penting Paulus Hieny adalah selalu ramah menerima tamu
yang mampir dan melihat-lihat hasil pahatannya. Paling tidak,
dia akan mempersilakan tamunya ini masuk ke rumahnya yang tak
bersekat-sekat untuk kamar. Rumah Paulus memang sederhana.
Isinya hanya seperangkat kursi terletak di tengah-tengah dan
beberapa lemari kaca berisi alat-alat besi untuk memahat.
Melepas tamunya, tak lupa Paulus selalu mengantarkannya sampai
ke mulut pintu mobil dan berucap "Silakan mampir lagi. " Berkata
begini, biasanya dia kemudian menyodorkan kartu namanya. Yang
bertuliskan alamat, nama dan di bawah namanya ada tulisan yang
berbunyi keren: painter & sculptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini