Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Di bali itu ada di muntilan

Paulus hieny, 68, seniman pahat dari bali yang lama menetap di muntilan ja-teng membuka usahanya sebagai pelukis dan pembuat patung, dimana hasil karyanya dijajakan dipinggir jalan raya.(ils)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGALA macam bentuk arca bagai berserakan di sepanjang jalan besar tak jauh dari kota Muntilan. Setiap kendaraan dari arah Sala dan Yogya menuju Semarang (atau sebaliknya), tidak bisa menghindari pemandangan ini. Patung dan arca tanpa diatur dalam tataan menarik pengunjung, begitu saja tergolek di bawah rumpun bambu, di tepi pagar bambu, di samping rumah-rumah penduduk yang juga kebanyakan terbuat dari bambu. Bisu dan dingin. Tapi pemiliknya akan bernafas harap begitu melihat sebuah mobil berhenti dan seorang tamu -- apalagi yang parlente - masuk ke pekarangan rumahnya. Salah satu dari sekian banyak rumah-rumah milik para "seniman pahat" Muntilan, ada sebuah papan reklame berbunyi "Sanggar Linang Sayang". Pemiliknya adalah satu-satunya -- mungkin -- orang Muntilan (karena dia sudah menetap di situ selama 20 tahun) yang berasal dari Bali. Lahir 68 tahun yang lalu, tadinya ia bekerja sebagai pelukis. Mula-mula dia jadi pelukis karena ditahun 1947 dia jadi tawanan Belanda. Selepas dari penjara Belanda, Paulus Hieny mengembara ke Pulau Jawa. "Dan saya beragama Katolik sejak saya ditawan Belanda dulu," ujar Paulus dari Bali ini. Biarpun diakuinya ini masalah pribadi dan "semua agama pada dasarnya toh sama," Paulus menambahkan: "yang jelas, keluarga kami di Bali adalah keluarga miskin, sehingga untuk dapat hidup secara "orang Bali", kami mengalami kesulitan." Kehidupan Paulus Hieny memang cukup sulit dan panjang untuk mencapai taraf hidupnya seperti sekarang: sebuah rumah, seorang isteri yang telah meninggal dan 7 orang anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Karena sebelum menetap di Muntilan di tahun 1958, Paulus sudah mengembara ke berbagai tempat mencoba mengadu nasib dengan kebolehannya sebagai pelukis. Tempat terakhir sebelum Muntilan ia pernah menetap di salah sebuah goa di Desa Karangasem, Kelurahan Mulo, Kecamatan Tepus Kabupaten Gunung Kidul, di pinggir jalan yang menuju pantai Baron. Goa seluas 11 mÿFD itu dibelinya untuk kemudian dijadika~nnya semacam studio. Paulus bahkan mendapat tawaran dari Bupati Gunung Kidul untuk menetap saja di situ. Ia menolak untuk "memilih jadi tukang pahat di Muntilan." Untunglah seperti juga kebanyakan orang Bali ketika Paulus masih kecil mempunyai kegemaran memahat. "Karena itu, hasil kerja saya tidak begitu saya komersilkan," ujarnya. Artinya, kalau lagi asyik memahat ia tak merasa dikejar-kejar waktu. Kalau selesai tidak langsung dijualnya, karena dia merasa puas bisa menonton hasil pahatannya. Lama setelah itu, barulah dia ikhlaskan hasil pahatannya dibeli orang. Kalau kebetulan datang pembeli dan peminat. Patung Ganesya Paulus memahat apa saja, menuruti kesukaan hatinya atau sesekali memenuhi pesanan. Yaitu mulai dari patung kodok yang bisa dibeli hanya dengan harga Rp 500, sampai ke patung-patung Maria dan Yesus Kristus yang bisa mencapai satu juta rupiah. Beberapa patung macam ini dipesan gereja Katolik sekitar situ, tapi sisanya, "untuk koleksi saya," ujar Paulus. Biasanya, segala itu dikerjakannya sendiri. "Tapi beberapa patung besar saya perlu bantuan," kata Paulus, sambil menunjuk ke beberapa patung yang tergolek di pekarangan. Misalnya, patung Ganesya yang berukuran 1« meter dengan lebar dan tebal 80 x 70 cm terbuat dari batu yang beratnya 1« ton. Patung Ganesya ini adalah pesanan Walikora Salatiga dalam rangka membenahi kota. Harga batu masih dalam prongkolan besar tidak mahal cuma Rp 40.000. Mungkin karena hasil yang sesekali melimpahkan uang, Paulus jadi kerasan tinggal di Muntilan. Karena dia bisa mengerjakan apa saja dari batu atau kayu. Paulus juga menju-al ubin-ubin yang diukir dengan harga jual Rp 75 sebuah. Jenis pekerjaannya yang terakhir dan termurah ini ternyata merupakan dagangannya yang cepat laku. Modal penting Paulus Hieny adalah selalu ramah menerima tamu yang mampir dan melihat-lihat hasil pahatannya. Paling tidak, dia akan mempersilakan tamunya ini masuk ke rumahnya yang tak bersekat-sekat untuk kamar. Rumah Paulus memang sederhana. Isinya hanya seperangkat kursi terletak di tengah-tengah dan beberapa lemari kaca berisi alat-alat besi untuk memahat. Melepas tamunya, tak lupa Paulus selalu mengantarkannya sampai ke mulut pintu mobil dan berucap "Silakan mampir lagi. " Berkata begini, biasanya dia kemudian menyodorkan kartu namanya. Yang bertuliskan alamat, nama dan di bawah namanya ada tulisan yang berbunyi keren: painter & sculptor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus