YANG tidak "teladan" bagaimana?. Hidup mereka kelihatan aman,
karena tak berbeda: berada di belakang meja, di bawah atap
sekolah, dengan jaminan uang pensiun sebagai pegawai negeri.
Tetapi sesungguhnya berat bila diingat tanggung jawabnya.
"Selama saya bertugas jadi guru, pernah dua kali saya terancam
bahaya maut," ujar Abdullah, seorang guru SD di Sungai Tabuk,
Kabupaten Banjar, Kalimantan.
Abdullah berusia 50 tahun. Menjadi guru sejak 1951. Ia tamatan
Vervolgschool (SD di zaman Belanda. Karena tahun 50-an
Pemerintah gentayangan mencari guru, Abdullah kena sabet sebagai
guru pembantu di desa. Kendati orangnya sendiri rada ketir-ketir
tak tahu bagaimana harus menjalankan prakteknya. Toh dia tancap
juga.
Dikepung Parang
Abdullah ikut kursus PSBG. Sempat lulus juga di KPG. Akhirnya
diserahi menjabat kepala SD. Dari pelosok Tandipah,
perlahan-lahan ia mendesak ke Sungai Tabuk, hanya beberapa
kilometer dari Banjarmasin. Daerah itu masih bertemperamen
tinggi -- di zaman Abdullah. Guru ini tidak bisa hanya berdiri
di depan kelas. Bersama tetuha masyarakat dan orangtua murid ia
melihat kampung-kampung yang tak punya sekolah, lantas membangun
gedung berswadaya.
Peralatan sekolah sering diusahakan sendiri -- kasihan murid
menulis di lantai. Untuk itu dari setiap murid baru biasanya
ditarik upeti untuk uang bangku. Tahun 1968 setiap murid
membayar Rp 100. Pembayaran lancar. Anehnya ada juga wali murid
berkelit -- bukan karena tak mampu, hanya karena pelit. Satu
kali Abdullah menegur wali murid yang pelit itu dalam lorong
kampung. Seingatnya ia hanya berkata: "Mengapa tak
membayar-bayar?" Tapi orang tersebut tak menyahut.
Nah. Beberapa hari kemudian, Abdullah lewat di depan rumah orang
itu. Ia dilambai supaya singgah. Abdullah sudah senang,
menyangka orang tersebut akan membayar. Tapi begitu turun dari
sepeda, sebuah parang berkelebat arah dadanya. Abdullah masih
sempat mengelak. Orang tersebut kalap dan membetot sepeda dengan
gila. Untunglah lewat seorang ulama yang keburu melerai sebelum
ada pertumpahan darah. "Biasanya turun dari rumah saya membaca
Ayat 7. Hari itu entah kenapa tidak," ujar Abdullah kepada
Rachmat Marlim dari TEMPO, Peristiwa berikut terjadi lagi --
sesudah ia melaporkan seorang guru bawahannya kepada penilik
sekolah karena Abdullah sudah bosan menegur sendiri bawahannya.
Akibatnya guru itu disemprot oleh penilik sekolah. Tapi apa
buntutnya? Ia mengasah parang hendak mencegat Abdullah. Orangtua
guru itu sendiri langsung datang ke Abdullah dan marah "Kalau
sama-sama Islam, mengapa melapor!" Untung Abdullah tenang. Ia
berdoa. Tak tersangka, hati orang itu mendadak lemas. Aneh
memang. Ia malah menasehati agar Abdullah jangan melewati
rumahnya, karena anaknya sudah siap tempur.
Sekarang mengenai tanggung jawab. Tersebutlah Ahmad Zain (48
tahun) Kepala Sekolah SD Banjarbaru 11. Satu kesempatan, ia
membawa murid-muridnya ke kolam mandi di Lok Tabat.
Mereka main air puas-puas. Pada waktu pulang, Zain sendiri
menghitung muridnya naik truk. Tapi malam han datang seorang
wali murid, melaporkan anaknya belum pulang. Selidik punya
selidik, ternyata anaknya ketinggalan di kolam. Rupanya ia
merasa belum puas waktu teman-temannya pulang. Tapi waktu
ditemukan, ia sudah berupa mayat ....
Zain dianggap bertanggung jawab atas kematian itu. Rumahnya
dikepung dengan parang terhunus. "Mana gurunya. Ayo keluar,
sikat saja," ujar khalayak. Zain tak berani keluar -- tapi ia
sudah bersiap mati bersama adiknya yang satu rumah. Berjam-jam
ia menunggu. Tapi orang-orang itu ternyata hanya mengancam.
Akhirnya orang-orang kampung muncul mendamaikan. Zain pun
mengirim utusan dan uang duka untuk membantu penguburan.
"Sebenarnya orangtua korban sendiri tak apa-apa, hanya orang
lain yang galak memanasi," kata Zain mengenangkan peristiwa yang
sangat disesalinya itu.
Berbeda dengan Abdullah, Zain kemudian tak betah jadi guru.
Begitu ada kesempatan jadi instruktur pendidikan jasmani, ia
melamar. Sekarang ia menjabat Kasi Masorda pada Kandep P dan K
Kabupaten Banjar di Martapura. Anehnya, sampai sekarang ia tetap
dipanggil Pak Guru -- bukan Pak Kasi Masorda. Masa lalunya
sebagai guru kadangkala membuat ia merasa bahagia -- kalau
melihat bekas anak didiknya jadi orang. "Biarlah kita
begini-begini saja. Anak dan murid jadi harapan, katanya pasrah.
Memang, tidak semua guru pasrah dan sabar. Almarhum Guru Djedar,
yang sudah menjelajahi Kal-Tim dan Kal-Sel, adalah guru tipe
tahun 20-an. Disiplinnya 24 karat. Rajin. Keras. Selama
menjalankan tugas ia sering menekan perasaan marah. Akibatnya ia
menderita tekanan darah tinggi. Jalannya pincang.
Sekali tempo, Djedar melintas di Bioskop Rex Banjarmasin
--sekarang bernama Ria. Tak tersangka seorang polisi militer
yang angker mencegatnya. Ia dinaikkan ke mobil dan diantarkan ke
Kantor Perbendaharaan Pusat -- di mana ia mengurus pensiunnya.
Ditinggal di situ, tapi diharuskan kembali ke depan bioskop
kalau urusan rampung. Djedar cemas dan takut, tapi ia bukan guru
yang galak lagi. Setelah urusan di KPP selesai, ia menurut
kembali ke hadapan orang yang angker itu. Djedar dinaikkan
kembali ke dalam jip. Bekas guru itu sudah bertambah cemas.
Jip berhenti di depan restoran. Djedar masih bingung. Di dalam
restoran, polisi militer yang angker itu baru berkata: "Maaf
bapak, saya murid bapak ketika di Berau dulu." Djedar sertamerta
seperti disiram air anyep. Ia memandangi orang itu sambil
mengingat-ingat. "Ingat murid bapak yang paling nakal, yang
bapak pukul dengan belebas sampai patah," kata CPM itu sambil
tersenyum sekarang. Tatkala Djedar menanyakan kenapa tidak dari
mula dijelaskan, polisi itu tertawa kecil: "Dulu bapak menghukum
saya, sekarang saya coba-coba membalas menghukum. Ini surprise,"
katanya sambil tertawa ngakak.
Maka Almarhum Djedar waktu itu sempat terharu. Apalagi ketika
bekas murid itu menyelipkan uang kertas ke sakunya. Ia
menasehati Djedar supaya tidak jalan kaki lagi. Dan yang lebih
mengharukan Djedar, setelah itu, bekas murid brandal itu
menjabat tangannya dengan sungguh-sungguh. Suaranya mengharukan:
"Berkat pukulan bapak, akhirnya saya jadi orang. Terima kasih
dan selamat jalan." Mungkin ini salah satu dari pengalaman
Djedar yang paling diingatnya, sebelum pada akhirnya ia
menghadap Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini