GURU, di zaman ini, selalu dibaangi hidup yang macet dan
melarat. Banyak orang takut jadi guru -- padahal negeri ini
tidak pernah berhenti kekurangan guru. Lalu siapa yang akan
mengisi sektor yang terkenal tidak basah itu? Pertanyaan ini
djjawab oleh 107 orang guru teladan yang berkumpul di Hotel
Sahid Jaya, Jakarta, dengan tegas "Kami."
"Kita juga manusia biasa. Saya jengkel kalau hasil ulangan
jelek," ujar I.J. Istigno, pemenang I Guru Teladan Nasional 1978
tingkat SLTP. "Tapi lebih jenkel lagi, kalau ternyata
kesalahan itu berasal dari saya. Misalnya saya sudah berusaha
menerangkan pelajaran tapi tidak dimengerti murid saya," kata
lelaki usia 45 tahun itu.
Istigno berangkat dari pendapat bahwa: "Tak ada anak bodoh. Yang
ada adalah anak yang malas." Ia menerangkan misalnya: ada
sementara orang menganggap murid-murid di Irian Jaya kurang bisa
menyerap pelajaran. Ini tak benar. Ia memberi bukti banyak
putera Irian yang mendapat prestasi baik di Jawa. Bahkan di
antaranya sudah banyak yang sekarang pulang jadi dosen di
Universitas Cenderawasih. Sebaliknya tak perlu ditutupi adanya
anak pejabat dari Jawa yang pindah ke Irian, dan ternyata tak
bisa mengikuti pelajaran di sana.
Istigno, mengajar di SMP YPPK (Yayasan Pendidikan Persekolahan
Katolik) Manokwari, adalah salah satu dari 107 guru teladan yang
berkumpul di Jakarta selama 11 hari (11 s/d 21 Agustus 1978).
Inilah ke-7 kalinya guru-guru teladan yang terpilih di seluruh
propinsi -- untuk tingkat SK, SD, SLP dan SLA -- berkumpul di
puncak HUT Kemerdekaan. Usaha itu mengandung maksud meningkatkan
martabat guru sehingga diharapkan prestasi mereka melonjak di
masa depan.
"Sekarang tanggungjawab lebih berat. Coba. Kalau ada yang bilang
guru teladan kok begitu, kita kan malu," kata Istigno, setelah
menerima kemenangannya. Guru kelahiran Temanggung (Ja-Teng) ini
dulu menikah dengan teman sebangkunya di SGB, tahun 1954. Lalu
merantau ke Bengkulu tahun itu juga. Mengajar di SD St. Carolus
sampai 1958. Kemudian pindah ke Jakarta, mengajar di SD Rajawali
sehingga 1965. Sebagian besar muridnya di Bengkulu dan Jakarta
berdarah Cina.
Tangan Besi Tidak Baik
Lewat 1965, ada edaran Guru Trikora ke Irian Jaya. Tanpa ngeri
oleh berita-berita gerombolan OPL (Organisasi Pengacau Liar), ia
memasuki Irian. "Entah mengapa saya tak takut. Seluruh hidup
saya, soal mati dan hidup, saya serahkan kepada Tuhan." Ia
menuju Senopi, sebuah desa sebelah barat Manokwari.
Senopi dapat dicapai pesawat Cessna selama 40 menit -- sampai ke
Kebar. Kemudian diteruskan jalan kaki selama 6 jam. Senopi
berpenduduk 120 jiwa -- dan banyak di antaranya sudah berbahasa
Indonesia. "Tapi soal kebersihan harus diperhatikan. Mereka
jarang mandi. Habis kerja di kebun langsung tidur dengan daki
dan keringat," tutur guru teladan itu.
Hari pertama di Senopi, Istigno tertegun di depan asrama yang
sekaligus menjadi SD. Ada 74 orang murid dan 2 guru lainnya.
Anak didiknya ada yang berusia 19 tahun. Mereka datang berjalan
kaki sudah tentu. "Pagi sekolah sore berkebun. Dari hasil itulah
kami makan." Ada beras jatah 4 kg untuk sebulan. Guru-guru hanya
mempergunakannya untuk makan siang, lalu selebihnya singkong dan
keladi. Untuk perangsang, seminggu sekali murid-murid makan nasi
juga.
Istigno menganggap perlakuan terhadap guru di Senopi, di
masyarakat yang sederhana itu, baik sekali -- dibanding dengan
di Jawa atau kota besar lainnya. Kalau ada kesulitan, murid
datang kepada guru. Guru dan masyarakat mengadakan kontak lewat
jual beli garam dan tembakau, misalnya. Murid hormat kepada
guru. Sekali waktu, Istigno hampir diculik oleh OPL.
Murid-muridnya langsung melindungi -- dengan cara
menyembunyikannya selama 2 minggu dalam hutan.
Setelah 1 tahun di Senopi, Istigno pindah mengajar di SMP
Manokwari. Hingga kini. Tapi anak isterinya (sekarang 4 anak)
baru menyusul setelah ia 3 tahun di Irian Jaya. Sebab keadaan
waktu itu masih gawat perang. "Kami para guru mempunyai tugas
sebagai intel juga. Tapi syukur, dari murid-murid tak ada yang
melakukan aksi," kisah Istigno selanjutnya. Ia pun kena giliran
Jaga malam --walaupun tugas guru harus ditancap terus.
Menghadapi anak SMP yang kadangkala besar brewok, ia sering
tegang dan takut. "Tapi karena kita guru, kita tidak akan
dipukul murid. Di Irian belum ada guru yang dipukul murid,"
katanya mengurut dada, seperti menyadari nasib guru pada umumnya
dewasa ini.
Istigno mengakui penghasilan guru selalu kurang. Sekarang
gajinya Rp 78 ribu. Hidupnya sederhana. Beberapa tahun lalu ia
pernah berusaha lebih produktip -- dengan mendirikan kios. Cuma
2 bulan. Usaha itu sengaja ditutupnya, karena: "pikiran kami
jadi mendua. Pelajaran sekolah jadi kacau."
Dalam keluarga Istigno, bukan saja kehidupan guru. Juga
kehidupan anak guru menjadi penting. Salah seorang anaknya waktu
di SD tidak dinaikkan oleh ibu guru. Alasannya bukan kepintaran.
Justru sebaliknya. Karena anak itu sehari-harinya selalu bisa
mengerjakan apa yang diajarkan bapak-ibunya di rumah, di sekolah
ia tidak memperhatikan pelajaran ibu guru. Nah sebagai hukuman
ia tidak dinaikkan. Dan yang lebih penting lagi, gurunya adalah
ibunya sendiri. Ini hebat.
Sementara itu di tingkat SMP, salah seorang anak Istigno sering
menjadi sasaran kedongkolan teman-temannya. "Wah kalau bapak
kamu kasih nilai, mahal-mahal. Ulangan sulit-sulit," kata
mereka. Istigno, yang kemudian mendengar itu dari anaknya, tidak
selalu menangapi. "Kecuali yang negatif, untuk dirundingkan
dengan para guru," katanya menjelaskan. Dalam pekerjaannya ia
menganggap tangan besi tidak baik. "Tapi kalau terpaksa sekali,
ya kita lakukan, meski itu bukan dasar pendidikan. "
Salim Syah (36 tahun) guru teladan dari Mataram, Lombok, mencoba
menerangkan apa kejelekan guru. "Jelek saya, saya itu pingin
anak saya menjadi duplikat saya," katanya kepada Widi Yarmanto
dari TEMPO. "Sekali pelajaran diterimakan, maunya sudah masuk
otak," katanya lebih lanjut. "Tapi anak saya tidak. Sampai
berkali-kali. Kalau sudah begitu kesal, tangan ini maunya mukul
saja, sedang mulut sudah mengatakan yang bukan-bukan, otak
udanglah, kambinglah."
Meski ia guru yang rajin, pintar, banyak menolong murid yang
kesulitan membayar SPP, ia tak ingin salah satu dari 6 orang
anak kandungnya jadi guru. Sebab: ia merasa penghargaan
masyarakat kurang. Ia sering bertanya kepada muridnya sendiri,
mengapa mereka masuk Sekolah Pendidikan Guru. Jawabnya
"Terpaksa". Lalu iapun berkata: "Cukup saya sajalah yang jadi
guru. Kalau anak saya lulus SMA, tak usah masuk IKIP."
Ia anak ke-8 dari 13 bersaudara. Orangtuanya sendiri buta huruf.
Waktu sekolah ia hanya bermodal sepatu jebol. Pada suatu kali
orang tuanya bertanya: nomor berapa ia di sekolah. Dengan bangga
Salim Syah mengulurkan rapornya yang bagus, sambil menerangkan:
nomor dua. Langsung ludah orang tuanya menempel di mukanya.
Kenapa "Orang tua saya pengin anaknya nomor satu," katanya.
Sejak itu Salim bertekad jadi juara. Prestasinya bagus sekali
dari SD sampai ke SGA. Ia seorang yang sopan, patuh, pendeknya
baik. Tapi enrah kenapa sebagai anak muda ia pernah frustrasi
dan bikin onar di dalam kelas. Sekali peristiwa, guru asyik
menerangkan sesuatu. Salah seorang murid wanita di depannya juga
duduk tenang. Salim menoleh kanan kiri. Tiba-tiba ia bertindak.
Tali BH murid wanita itu ditariknya. Kelas jadi ramai. Salim
dihukum berdiri depan kelas selama guru mengajar. Tapi Salim
sendiri protes juga terhadap hukuman itu -- dengan cara langsung
duduk.
Salim memulai karier sebagai guru tahun 1962 -- di Sekolah
Menengah Islam di Taliwang, Sumbawa. Kemudian meloncat ke SMP
Negeri. Tahun 1970 pindah ke SMP Negeri 11 Mataram, sampai
sekarang. Pada awal riwayatnya sebagai guru, ia mengaku sering
pakai tangan untuk memecahkan kesulitan. Tapi tahun-tahun di
belakang ini ia lebih mengaktifkan mulutnya sambil membelenggu
tangannya sendiri.
"Tahun awal sebagai guru di Sumbawa, gaji tak cukup untuk 30
hari. Kita harus berusaha mencari tambahan," tutur Salim yang
kini menanggung 6 orang anak. Cara menambah penghasilan agak
luar biasa. Ada keinginan memberikan les, tapi itu tidak
mendatangkan uang. Karena itu Salim menyewa tanah untuk ditanami
kedelai. Pagi ia mengajar, sore jadi petani. Kadang ia
menawarkan kepada muridnya kalau-kalau ada yang mau membantunya
bekerja di sawah. Tampaknya wali murid senang, karena gurunya
dapat memanfaatkan tenaga murid. Tapi ini juga tak cukup. Untung
isterinya juga mengusahakan kredit barang.
Di Mataram, Salim sering ketemu wajah murid yang murung, karena
tak mampu bayar SPP. Menurut peraturan, murid itu seharusnya
disuruh pulang. Tapi kalau Salim yakin muridnya tak mampu, ia
merogoh kantongnya sendiri. Ia selalu mengandaikan murid itu
dirinya. Ia masih percaya: belum bayar SPP bukan kesalahan anak.
Ini beda dengan di Jakarta: murid kadangkala tidak bayar uang
SPP yang sudah diterimakan oleh orangtuanya. Betul nggak?
Menyadari tingkah-laku murid yang menjadi tanggungjawabnya,
Salim sering terpaksa tak memakai sepeda motornya -- supaya
dapat mematai murid-murid secara intensif. Ia pasang kuping di
sana sini, kalau ada murid yang tak beres. Satu ketika ia heran
melihat muridnya selalu pakai sweter. Ternyata, di balik sweter
itu ada yang disembunyikan. Nah. Kandungan. Setelah ketahuan,
kontan esoknya si baju sweter tidak muncul. Ini hanya sebagian
dari begitu banyak yang harus dihadapinya sebagai guru. Apalagi
soal mode. "Kadang kita repot. Soalnya murid membawa nama baik
sekolah," katanya.
Meski tak berhasil menjadi Guru Teladan nomor satu, Salim sudah
sempat melihat Jakarta tahun ini. Ia merasa juga bahwa predikat
teladan hanya menambah beratnya tugas sebagai guru. Lalu apa
yang dibawanya ke Mataram sebagai oleh-oleh? "Saya harus
mengikuti dengan aktif dan positif petunjuk dari Pemerintah.
Saya harus menyampaikan apa itu kepada masyarakat. Saya juga
harus menyampaikan apa itu KB. Kasarnya saya adalah suara
Pemerintah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini