GERSANG TAPI DAMAI
Sutradara: Wahyu Sihombing
Skenario: Tatik Malyati
Cerita: Mujimanto
TEMA film yang diangkat dari salah seorang pemenang sayembara
cerita film Dep. Penerangan ini tidak baru lagi: Orang tua kaya
yang tak menaruh perhatian cukup terhadap anak-anaknya.
Pengarang cerita, Mujimanto, memang tidak membuat naskah lebih
istimewa dari ini morphinis yang lahir dari keluarga berantakan.
Menjelang akhir cerita, sang morphinis bisa sembuh, menjadi
orang baik-baik dengan pengalaman yang tidak luar biasa, dan
mempunyai harapan akan masa depannya. Ini tentu selaras dengan
kebijaksanaan pemerintah menanggulangi penyalahgunaan narkotik.
Film dibuka dengan sebuah kejutan, kecelakaan mobil. Rudy putera
kedua dari tiga bersaudara keluarga jutawan Sudibyo (Kusno
Sudjarwadi) tewas seketika. Dari sini tampaknya Wahyu berusaha
menyajikan cerita lumrah, ke dalam sebuah kemauan yang besar.
Ternyata Santo (Cok Simbara), setelah melihat sendiri latar
belakang kematian adiknya, sangat kecewa terhadap sikap ayah dan
ibunya yang tidak banyak berubah. Keduanya pulang balik ke luar
negeri dengan enak. Konflik antara anak dan orang tua ini tidak
cermat tersaji dalam bentuk rangkaian gambar. Rupanya skenario
telah memaksakan sebuah konsep yang sebenarnya tidak perlu hadir
ke dalam film ini -- dan Wahyu begitu tenang memakannya. Emosi
yang meledak bentakan-bentakan, semuanya itu diselenggarakan
dengan verbal -- suatu hal yang mudah dikerjakan Wahyu Sihombing
apabila menghadapi panggung.
Dengan Sepeda
Si bungsu Merry (Wilda), dengan mudahnya mengandung. Rupanya
remaja satu ini masih kurang terampil menggunakan pil anti
hamil. Sementara pacarnya tidak bertanggungjawab, Merry
diungsikan ke rumah neneknya sampai melahirkan. Dan pada ketika
itu pula Santo mengalami babakan baru. Lewat perkenalannya
dengan tante Lastri (Rahayu Effendy) -- siapakah orang ini
sebenarnya? -- Santo berkenalan dengan narkotik.
Untung pater Donggo (Maruli Sitompul), cepat menolong Santo yang
telah jadi morphinis berat. Di tempat perawatan para morphinis
inilah Santo bertemu dengan perawat -- yang karena salah paham
dicintainya. Suster Ester (Paula Rumokoy) yang kikuk itu,
kayaknya sih menaruh hati juga. Tapi karena ikatan agama,
feeling tadi harus distop. Pater Donggo yang bermain manis,
tampak sangat enak mengolok-olokkan rekannya, suster Ester. Di
sini lewat beberapa gambar menarik, Wahyu bekerja cermat.
Setidaknya cengkerama pater Donggo dengan sepeda bersama Ester
memulihkan otot setelah kejang melihat Santo berkelojotan dengan
kendornya di ranjang menjelang ketagihan.
Sebenarnya anda pun bisa melanjutkan cerita ini dengan
sederhana, seperti yang dilakukan pengarangnya. Santo yang
merasa mendapat angin dari perawatnya ini, dalam situasi konflik
yang sederhana, putus dengan pacarnya. Setelah satu tokoh
rontok, maka menyusul tokoh berikut. Siapa yang paling labil,
dan dekat dengan tokoh utama? Tante Lastri atau Ester? Cerita
ini tetap setia pada iktikad baik yang mendasari awal cerita.
Yaitu meletakkan tokoh Santo, sebagai remaja Indonesia yang
memiliki harapan baik. Dia harus putus secara sepihak dengan
perawatnya -- bukan oleh Lastri -- seperti yang mungkin anda
kira.
Gambar-gambar yang sebenarnya memuat banyak letupan-letupan
emosi ini, mengalir dengan encer. Pukulan yang dahsyat bagi
remaja seperti Santo itu, lewat tak berbekas. Barangkali
kekurangan pada film ini: tidak memberikan sosok yang dikenal
dengan baik. Tokoh Lastri, Ester, atau pacar Santo, toh orang
yang mudah dijumpai. Lagi pula sosok-sosok yang tampil masih
terlalu banyak disuruh bicara. Apa yang sudah bisa disampaikan
lewat gambar, masih diperjelas lewat dialog. Kalau naskah
ceritanya encer, sesungguhnya sutradara bisa lebih menaruh
perhatian terhadap proses kelahiran skenario itu.
Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini