Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dibuka dengan kejutan

Sutradara: wahyu sihombing skenario: tatik malyati cerita: mujimanto pemain: kusno sudjarwadi, rahayu effendi, dll resensi oleh: eddy herwanto. (fl)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERSANG TAPI DAMAI Sutradara: Wahyu Sihombing Skenario: Tatik Malyati Cerita: Mujimanto TEMA film yang diangkat dari salah seorang pemenang sayembara cerita film Dep. Penerangan ini tidak baru lagi: Orang tua kaya yang tak menaruh perhatian cukup terhadap anak-anaknya. Pengarang cerita, Mujimanto, memang tidak membuat naskah lebih istimewa dari ini morphinis yang lahir dari keluarga berantakan. Menjelang akhir cerita, sang morphinis bisa sembuh, menjadi orang baik-baik dengan pengalaman yang tidak luar biasa, dan mempunyai harapan akan masa depannya. Ini tentu selaras dengan kebijaksanaan pemerintah menanggulangi penyalahgunaan narkotik. Film dibuka dengan sebuah kejutan, kecelakaan mobil. Rudy putera kedua dari tiga bersaudara keluarga jutawan Sudibyo (Kusno Sudjarwadi) tewas seketika. Dari sini tampaknya Wahyu berusaha menyajikan cerita lumrah, ke dalam sebuah kemauan yang besar. Ternyata Santo (Cok Simbara), setelah melihat sendiri latar belakang kematian adiknya, sangat kecewa terhadap sikap ayah dan ibunya yang tidak banyak berubah. Keduanya pulang balik ke luar negeri dengan enak. Konflik antara anak dan orang tua ini tidak cermat tersaji dalam bentuk rangkaian gambar. Rupanya skenario telah memaksakan sebuah konsep yang sebenarnya tidak perlu hadir ke dalam film ini -- dan Wahyu begitu tenang memakannya. Emosi yang meledak bentakan-bentakan, semuanya itu diselenggarakan dengan verbal -- suatu hal yang mudah dikerjakan Wahyu Sihombing apabila menghadapi panggung. Dengan Sepeda Si bungsu Merry (Wilda), dengan mudahnya mengandung. Rupanya remaja satu ini masih kurang terampil menggunakan pil anti hamil. Sementara pacarnya tidak bertanggungjawab, Merry diungsikan ke rumah neneknya sampai melahirkan. Dan pada ketika itu pula Santo mengalami babakan baru. Lewat perkenalannya dengan tante Lastri (Rahayu Effendy) -- siapakah orang ini sebenarnya? -- Santo berkenalan dengan narkotik. Untung pater Donggo (Maruli Sitompul), cepat menolong Santo yang telah jadi morphinis berat. Di tempat perawatan para morphinis inilah Santo bertemu dengan perawat -- yang karena salah paham dicintainya. Suster Ester (Paula Rumokoy) yang kikuk itu, kayaknya sih menaruh hati juga. Tapi karena ikatan agama, feeling tadi harus distop. Pater Donggo yang bermain manis, tampak sangat enak mengolok-olokkan rekannya, suster Ester. Di sini lewat beberapa gambar menarik, Wahyu bekerja cermat. Setidaknya cengkerama pater Donggo dengan sepeda bersama Ester memulihkan otot setelah kejang melihat Santo berkelojotan dengan kendornya di ranjang menjelang ketagihan. Sebenarnya anda pun bisa melanjutkan cerita ini dengan sederhana, seperti yang dilakukan pengarangnya. Santo yang merasa mendapat angin dari perawatnya ini, dalam situasi konflik yang sederhana, putus dengan pacarnya. Setelah satu tokoh rontok, maka menyusul tokoh berikut. Siapa yang paling labil, dan dekat dengan tokoh utama? Tante Lastri atau Ester? Cerita ini tetap setia pada iktikad baik yang mendasari awal cerita. Yaitu meletakkan tokoh Santo, sebagai remaja Indonesia yang memiliki harapan baik. Dia harus putus secara sepihak dengan perawatnya -- bukan oleh Lastri -- seperti yang mungkin anda kira. Gambar-gambar yang sebenarnya memuat banyak letupan-letupan emosi ini, mengalir dengan encer. Pukulan yang dahsyat bagi remaja seperti Santo itu, lewat tak berbekas. Barangkali kekurangan pada film ini: tidak memberikan sosok yang dikenal dengan baik. Tokoh Lastri, Ester, atau pacar Santo, toh orang yang mudah dijumpai. Lagi pula sosok-sosok yang tampil masih terlalu banyak disuruh bicara. Apa yang sudah bisa disampaikan lewat gambar, masih diperjelas lewat dialog. Kalau naskah ceritanya encer, sesungguhnya sutradara bisa lebih menaruh perhatian terhadap proses kelahiran skenario itu. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus