Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Di Bawah Trauma Kedungombo

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Semen Indonesia sedang membangun pabrik di pegunungan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah. Kawasan penyuplai air di wilayah utara Jawa Tengah itu akan dikeruk selama lebih dari 100 tahun. Ditargetkan selesai akhir tahun depan, pabrik itu akan mengolah kapur dan tanah liat untuk dijadikan semen. "Deposit batu kapurnya luar biasa banyak," kata Direktur Utama Semen Indonesia Suparni.

Menurut dia, pembuatan pabrik sudah mencapai 62 persen. Namun keberadaan pabrik semen tersebut ditolak sebagian penduduk setempat. "Pembangunan pabrik ataupun penambangan bakal merusak lingkungan di sini," kata Joko Prianto, warga Tegaldowo.

Penolakan terhadap proyek raksasa juga pernah ditulis majalah Tempo edisi 27 April 1991, yakni proyek Orde Baru paling terkenal: Waduk Kedungombo, di Sragen, Boyolali, dan Grobogan, Jawa Tengah.

Saat air menggenangi waduk seluas 70 ribu hektare tersebut, sekitar 5.000 keluarga tetap memprotes dengan cara bertahan di daerah genangan air. Beberapa orang hanya mampu menggeser-geserkan rumahnya mengikuti genangan air, sampai lima kali. Ada yang memprotes, dan gemanya sampai ke telinga pejabat di kantor Bank Dunia yang bermarkas besar di Washington dan anggota parlemen di Jepang.

Mengapa mereka memprotes dan tak mau pindah dari waduk untuk pertanian dan pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt? Ini merupakan fenomena menarik. Tergusurnya ribuan keluargaitu membawa dampak sosiologis, ekonomis, antropologis, dan tentu politis.

Misalnya penduduk Desa Soka di Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Mereka yang ditaksir berjumlah sekitar 1.500 orang itu mengungsi ke sebelah timur Waduk Kedungombo. Persisnya di pinggir jalan besar antara Solo dan Purwodadi, sekitar 35 kilometer sebelah utara Solo.

Tanah dan rumah mereka hanya diberi ganti rugi Rp 3,2 juta. Sedangkan di tempat yang baru, mereka harus mengeluarkan uang Rp 4,5 juta untuk lahan yang luasnya hanya sekitar 550 meter persegi atau sepersembilan dari luas tanah yang dimiliki sebelumnya.

Tentu saja uang ganti rugi itu tak memadai untuk membeli sepetak tanah di tempat permukiman yang baru tersebut. "Saya terpaksa menjual dua ekor sapi," kata Sawi, yang mengandalkan hidupnya dengan menjual jamu gendong. Sedangkan suaminya berjualan rumput.

Madiyono membuat perkiraan bahwa penghasilan warga desanya sekitar Rp 2.000 per hari. Padahal dulu mereka dalam sehari setidaknya bisa memperoleh Rp 3.000. Bagi warga Soka yang pernah dikenal suka berkebun itu, hidup mereka mendadak sontak berubah menjadi buruh dan penjual rumput.

Nasi memang sudah jadi bubur. Uang ganti rugi sudah mereka kantongi dan persetujuan pindah sudah mereka sepakati. Namun warga Desa Soka tetap memperjuangkan nasib mereka. Setahun sebelumnya, sekitar 300 orang yang berasal dari daerah tersebut mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Lantas bulan itu mereka "menyerbu" kantor perwakilan Bank Dunia di Jakarta.

Di tempat inilah mereka mengadukan nasibnya yang apes itu. Tuntutan mereka adalah tambahan ganti rugi atas tanah yang sudah mereka korbankan untuk membangun waduk. Nasib pahit warga Desa Soka juga dialami warga lain yang mendiami bagian lain bibir waduk. Seperti di Kedungpring, Sarimulyo, Termes, dan Mlangi.

Pemerintah sendiri sebenarnya tak tinggal diam. Buat mereka sudah disiapkan lahan di atas tanah Perhutani yang berada di luar batas sabuk hijau. Di sana sudah disediakan rumah 6 x 7 meter dan lahan garapan 500 meter persegi. "Tanah 500 meter itu untuk apa? Kami ini petani, tanah kami yang tergenang itu beribu-ribu meter, lha kok mau ditukar 500 meter," ujar Sukiran, mengeluh. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus