RUMAH-RUMAH dibersihkan lebih menyeluruh lagi.
Perempuan-perempuan petang itu telah berdandan rapi dengan
rambut tergerai basah karena baru dikeramas. Sayup-sayup, suara
bedug dari masjid memenuhi udara dengan suara bertalu-talu.
Itu adalah pemandangan di Kampung Bali di Jakarta atau di desa
anu, di mana saja di Indonesia. Malam menjelang sahur pertama,
selalu diikuti dengan seremoni kecil yang sederhana tapi khusuk.
Di kota Semarang lain lagi. Bedug di masjid besar di Simpang
Lima memang ditabuh orang. Tapi karena Semarang kian membengkak,
sementara masjid yang dulu gagah berdiri sendiri kini telah
berbaur dengan gedung yang lebih besar dan moderen, jadinya
suara bedug dianggap kurang nyaring. Maka ditembakkanlah sebuah
bom ke udara, dan kalau ada suara "bleeng" tepat di atas masjid
itu, pertanda kalau besok puasa resmi dimulai.
Pasar Dug-Der
Biasanya, Semarang kemudian mengadakan pasar malam selama tiga
hari Bukan semacam Pekan Raya Jakarta yang resmi, tapi pasar
malam yang diadakan begitu saja, yang menjual hasil kerajinan
rakyat dan yang beli pun rakyat. Dulu, pasar malam tradisionil
ini letaknya di alun-alun di mana masjid besar juga terletak di
situ. Tapi karena alun-alun telah habis ditelan kompleks
pertokoan, hotel baru dan besar, sementara rumah bupati yang
tadinya terletak di seberang masjid juga musnah hanya karena
untuk pusat pertokoan modern, pasar malam di bulan puasa ini pun
tidak mendapat tempat di alun-alun lagi.
Biarpun namanya masih pasar malam dug-der (dengan menirukan
suara bedug yang bertalu-talu dari masjid besar), keramaian
sudah dipindahkan ke sebuah jalan besar yang membelah kompleks
pasar Yaik dan pasar Johar. Siang dan malam dengan resmi mereka
boleh berdagang di situ, tanpa takut diusir polisi yang
tangannya selalu sibuk memutar-mutar pentungan karet. Panjang
jalan cuma setengah kilomeer.
Wiraswasta cilik dari kota luar Semarang banyak berdatangan.
Sumadi dari desa Ngrendeng, kecamatan Malo kabupaten Bojonegoro,
datang dari pelosok kampungnya ke Semarang. Hanya tiga hari
untuk menjual hasil industri desanya. Yaitu barang pecah belah
dari tanah liat, yang dibawanya dalam jumlah yang tidak
tanggung-tanggung. Bagaikan konvoi, 22 buah truk banyaknya
mendesak kota Semarang untuk meramaikan pasar malam dug-der ini.
Jadi bisa dibayangkan berapa besar partisipasi desa lainnya
untuk pasar malam ini, kalau desa Ngrendeng saja sudah
sedemikian banyak.
"Ini sudah pekerjaan kami dan setiap tahun mesti ke Semarang,"
kata Sumadi, yang rupanya jadi pimpinan konvoi gerabah tanah
tersebut. Juga ke tempat lain di mana saja ada pasar malam atau
keramaian lainnya. Setiap truk yang membawa 3.000 buah gerabah
tanah tersebut, ongkos sekali rit telah menelan duit Rp 20.000.
Ini belum terhitung pungli di sepanjang jalan (kalau masih ada).
Spesialisasi Ngrendeng adalah membuat celengan dalam segala
macam bentuk binatang dari tanah liat. Harganya, mulai dari Rp
50 sampai Rp 500. Kalau di Ngrendeng Rp 25, di Semarang naik
sampai Rp 100. Mendekati usainya pasar malam, harga bisa
terhempas jadi Rp 25 lagi. Maklum, ketimbang barangbarang yang
mudah pecah itu dibawa mudik lagi, jual obralpun dirasa lebih
praktis.
Pungli Dug-Der
Di samping itu, mereka tidak datang sendirian. Bersama celengan
dan barang dagangan lainnya, turut pula isteri dan anak mereka.
Kebanyakan, mereka lantas membuka semacam dapur umum di
sepanjang jalan tersebut sambil menunggu barang dagangannya.
Yang tidak mau bersusah payah, jajan untuk sekedar mengganjal
perut. Tidur? Jangan harapkan mereka akan tinggal di hotel atau
losmen. Di situ juga. Pokoknya: mandi atau tidak mandi, asal
kumpul.
Yang dirasa berat oleh mereka ialah uang retribusi. Mereka,
diharuskan membayar pajak tiga kali setiap hari. Pagi diminta Rp
100, siang separuh harga dan malam hari, naik lagi jadi Rp 100.
"Jadi sehari, kami harus bayar sejumlah Rp 250," tambah Sumadi,
"dan kalau kami ke lain daerah, cukup cuma sekali."
Setiap kali menyerahkan sobekan karcis, petugas dengan seragam
abu-abu itu menyerahkan 4 buah karcis masingmasing seharga Rp
25, untuk tarikan pungli sebanyak Rp 100 dari karcis retribusi
harian pasar. Mengapa tidak menolak atau protes? Jawaban Sumadi
sama seperti jawaban orang kecil lainnya: "Akan kami tanyakan
takut. Tapi biarlah, kami ini bukan warga Semarang to.
Sumadi dan teman-temannya tidak bisa mengatakan apakah dagang
model musiman ini bisa membetot keuntungan atau paling tidak pas
saja dengan ongkos makan tidur sekalian rekreasi di kota sebesar
Semarang. Salah seorang cuma menjawab: "Kalau terjual habis
jelas kami untung." Dengan perhitungan harga barang di desanya
cuma seperempat dari harga yang dia jual. Tapi dengan semakin
banjirnya barang mainan yang terbuat dari plastik, ini berarti
saingan akan semakin keras. Mungkin e ullla satulah harapan
mereka bisa dirantungkan: semoga akan masih ada orangtua atau
anak kecil yang terpukau melihat celengan gajah atau warak
ngendog untuk kemudian membelinya. Warak ngendog adalah mainan
yang terbuat dari kertas tebal menyerupai badak. Di bawah tubuh
si badak ada sebutir telur asin mendekam di situ. Ini juga,
kalau anak-anak kecil masih kepengin makan telur asin dan tidak
tergila-gila oleh es . . . krim!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini