Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Di sebuah jalan 1/2 kilometer

Pasar dug-der pasar malam yang menjual hasil kerajinan rakyat di semarang di bulan puasa. pasar malam tradisional yang pindah dari alun-alun, ke tempat yang panjangnya 1/2 kilometer. (ils)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH-RUMAH dibersihkan lebih menyeluruh lagi. Perempuan-perempuan petang itu telah berdandan rapi dengan rambut tergerai basah karena baru dikeramas. Sayup-sayup, suara bedug dari masjid memenuhi udara dengan suara bertalu-talu. Itu adalah pemandangan di Kampung Bali di Jakarta atau di desa anu, di mana saja di Indonesia. Malam menjelang sahur pertama, selalu diikuti dengan seremoni kecil yang sederhana tapi khusuk. Di kota Semarang lain lagi. Bedug di masjid besar di Simpang Lima memang ditabuh orang. Tapi karena Semarang kian membengkak, sementara masjid yang dulu gagah berdiri sendiri kini telah berbaur dengan gedung yang lebih besar dan moderen, jadinya suara bedug dianggap kurang nyaring. Maka ditembakkanlah sebuah bom ke udara, dan kalau ada suara "bleeng" tepat di atas masjid itu, pertanda kalau besok puasa resmi dimulai. Pasar Dug-Der Biasanya, Semarang kemudian mengadakan pasar malam selama tiga hari Bukan semacam Pekan Raya Jakarta yang resmi, tapi pasar malam yang diadakan begitu saja, yang menjual hasil kerajinan rakyat dan yang beli pun rakyat. Dulu, pasar malam tradisionil ini letaknya di alun-alun di mana masjid besar juga terletak di situ. Tapi karena alun-alun telah habis ditelan kompleks pertokoan, hotel baru dan besar, sementara rumah bupati yang tadinya terletak di seberang masjid juga musnah hanya karena untuk pusat pertokoan modern, pasar malam di bulan puasa ini pun tidak mendapat tempat di alun-alun lagi. Biarpun namanya masih pasar malam dug-der (dengan menirukan suara bedug yang bertalu-talu dari masjid besar), keramaian sudah dipindahkan ke sebuah jalan besar yang membelah kompleks pasar Yaik dan pasar Johar. Siang dan malam dengan resmi mereka boleh berdagang di situ, tanpa takut diusir polisi yang tangannya selalu sibuk memutar-mutar pentungan karet. Panjang jalan cuma setengah kilomeer. Wiraswasta cilik dari kota luar Semarang banyak berdatangan. Sumadi dari desa Ngrendeng, kecamatan Malo kabupaten Bojonegoro, datang dari pelosok kampungnya ke Semarang. Hanya tiga hari untuk menjual hasil industri desanya. Yaitu barang pecah belah dari tanah liat, yang dibawanya dalam jumlah yang tidak tanggung-tanggung. Bagaikan konvoi, 22 buah truk banyaknya mendesak kota Semarang untuk meramaikan pasar malam dug-der ini. Jadi bisa dibayangkan berapa besar partisipasi desa lainnya untuk pasar malam ini, kalau desa Ngrendeng saja sudah sedemikian banyak. "Ini sudah pekerjaan kami dan setiap tahun mesti ke Semarang," kata Sumadi, yang rupanya jadi pimpinan konvoi gerabah tanah tersebut. Juga ke tempat lain di mana saja ada pasar malam atau keramaian lainnya. Setiap truk yang membawa 3.000 buah gerabah tanah tersebut, ongkos sekali rit telah menelan duit Rp 20.000. Ini belum terhitung pungli di sepanjang jalan (kalau masih ada). Spesialisasi Ngrendeng adalah membuat celengan dalam segala macam bentuk binatang dari tanah liat. Harganya, mulai dari Rp 50 sampai Rp 500. Kalau di Ngrendeng Rp 25, di Semarang naik sampai Rp 100. Mendekati usainya pasar malam, harga bisa terhempas jadi Rp 25 lagi. Maklum, ketimbang barangbarang yang mudah pecah itu dibawa mudik lagi, jual obralpun dirasa lebih praktis. Pungli Dug-Der Di samping itu, mereka tidak datang sendirian. Bersama celengan dan barang dagangan lainnya, turut pula isteri dan anak mereka. Kebanyakan, mereka lantas membuka semacam dapur umum di sepanjang jalan tersebut sambil menunggu barang dagangannya. Yang tidak mau bersusah payah, jajan untuk sekedar mengganjal perut. Tidur? Jangan harapkan mereka akan tinggal di hotel atau losmen. Di situ juga. Pokoknya: mandi atau tidak mandi, asal kumpul. Yang dirasa berat oleh mereka ialah uang retribusi. Mereka, diharuskan membayar pajak tiga kali setiap hari. Pagi diminta Rp 100, siang separuh harga dan malam hari, naik lagi jadi Rp 100. "Jadi sehari, kami harus bayar sejumlah Rp 250," tambah Sumadi, "dan kalau kami ke lain daerah, cukup cuma sekali." Setiap kali menyerahkan sobekan karcis, petugas dengan seragam abu-abu itu menyerahkan 4 buah karcis masingmasing seharga Rp 25, untuk tarikan pungli sebanyak Rp 100 dari karcis retribusi harian pasar. Mengapa tidak menolak atau protes? Jawaban Sumadi sama seperti jawaban orang kecil lainnya: "Akan kami tanyakan takut. Tapi biarlah, kami ini bukan warga Semarang to. Sumadi dan teman-temannya tidak bisa mengatakan apakah dagang model musiman ini bisa membetot keuntungan atau paling tidak pas saja dengan ongkos makan tidur sekalian rekreasi di kota sebesar Semarang. Salah seorang cuma menjawab: "Kalau terjual habis jelas kami untung." Dengan perhitungan harga barang di desanya cuma seperempat dari harga yang dia jual. Tapi dengan semakin banjirnya barang mainan yang terbuat dari plastik, ini berarti saingan akan semakin keras. Mungkin e ullla satulah harapan mereka bisa dirantungkan: semoga akan masih ada orangtua atau anak kecil yang terpukau melihat celengan gajah atau warak ngendog untuk kemudian membelinya. Warak ngendog adalah mainan yang terbuat dari kertas tebal menyerupai badak. Di bawah tubuh si badak ada sebutir telur asin mendekam di situ. Ini juga, kalau anak-anak kecil masih kepengin makan telur asin dan tidak tergila-gila oleh es . . . krim!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus