MUNCULNYA kelompok Hizbut Tahrir di tengah Sidang Tahunan MPR, yang menawarkan konsep syariah untuk mengatasi krisis multi-dimensi sekaligus mendesak diterapkannya “Piagam Jakarta” dalam Pasal 29 UUD 1945, tentu mengagetkan banyak kalangan, meski kelompok ini menempuh cara-cara simpatik dalam memperjuangkan aspirasinya.
Mengagetkan, karena ternyata di Indonesia ada kelompok Islam Hizbut Tahrir, yang mempunyai massa cukup signifikan. Padahal di Timur Tengah—khususnya di Mesir—Hizbut Tahrir menjadi organisasi terlarang karena ekstremitas dan radikalitasnya.
Fenomena Hizbut Tahrir di Indonesia tentu tak terlepas dari setting politik nasional. Di era reformasi, apa yang tak mungkin di zaman Orde Baru menjadi mungkin. Di masa pemerintahan Orde Baru, tak pernah terdengar ada organisasi Hizbut Tahrir. Sejumlah negara OKI, termasuk Indonesia, sepertinya sepakat untuk tidak memberikan ruang hidup bagi kelompok Islam radikal seperti Hizbut Tahrir. Kini, keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia sudah menjadi keniscayaan.
Umat Islam di Tanah Air pada umumnya tentu merasa waswas dengan kehadiran Hizbut Tahrir. Meski Hizbut Tahrir sudah menunjukkan perilaku simpatik dalam aksi unjuk rasanya baru-baru ini, hal itu tidak cukup menepis kekhawatiran masyarakat. Pasalnya, radikalisme seolah-olah sudah menjadi karakter Hizbut Tahrir di dunia Islam. Persepsi umat terhadap stereotype kelompok tersebut sudah sedemikian rupa terbangun. Image Hizbut Tahrir sebagai kelompok Islam radikal sulit dihapuskan.
Umat Islam Indonesia hampir meyakini bahwa Hizbut Tahrir yang berkembang di Indonesia terkoneksi dengan Hizbut Tahrir di Timur Tengah, khususnya Hizbut Tahrir yang terlarang di Mesir. Meskipun demikian, melihat aksi unjuk rasanya yang simpatik, muncul secercah harapan bahwa Hizbut Tahrir di Indonesia berbeda dengan Hizbut Tahrir di Timur Tengah.
BAJRA
Jalan Pasar Minggu 25
Jakarta Selatan
E-mail :
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini