Ketua MPR Amien Rais dalam penutupan Sidang Tahunan 2002 menyatakan bahwa Perubahan I, II, III, dan IV UUD ’45 merupakan karya luhur anak bangsa serta anggota MPR. Karena itu, pantas untuk dikatakan sebagai “lompatan besar”. Pernyataan ini bukan saja menggelikan, tapi juga manipulatif.
Dengan proses dan hasil minimalis dari Sidang Tahunan MPR berupa Perubahan IV UUD ’45, melabelkan sebagai “lompatan besar” merupakan pujian berlebihan dan narsistik. Hasil Perubahan IV hanya dapat dikatakan “lompatan besar” bila pembandingnya adalah suara konservatif anti-perubahan dari beberapa anggota MPR yang melakukan gerilya politik di Sidang Tahunan MPR.
Dalam terminologi negara demokrasi modern, proses dan hasil Perubahan IV UUD ’45 tidaklah membanggakan. Secara sederhana, bila dibandingkan dengan Afrika Selatan dan Thailand dari segi proses dan hasilnya, Perubahan IV UUD ’45 tidaklah sebanding. Dari segi proses, Afrika Selatan dan Thailand konsisten dengan paradigma negara demokrasi. Pembuatan konstitusi di kedua negara itu diproduk dengan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat. Alhasil, konstitusi yang dihasilkan tidak hanya dimengerti oleh rakyat, tapi juga mendapatkan legitimasi kuat dari rakyat.
Dari segi materi konstitusi, Afrika Selatan dan Thailand memiliki konstitusi paling komprehensif di dunia. Lengkapnya konstitusi kedua negara itu mencakup problem kenegaraan yang sedang mereka hadapi dalam masa transisi. Misalnya, persoalan besar yang sedang dihadapi rakyat Thailand seperti pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi. Untuk menjamin penyelesaiannya, Komisi Nasional HAM dan Komisi Anti-Korupsi mereka cantumkan dalam konstitusi. Semua itu menjadi mungkin dilakukan karena ada kombinasi partisipasi publik dan kepekaan elite politik di Thailand.
Sementara itu, proses Perubahan I sampai IV UUD ’45 sangat miskin partisipasi publik. Dialog intensif antara rakyat dan anggota MPR tak pernah terjadi. Bahkan ada gubernur yang tak pernah mengerti adanya amandemen UUD ’45. Dengan proses yang kurang demokratis begitu, apakah mungkin hasil Perubahan IV UUD ’45 akan menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis di masa depan?
Dari segi hasil perubahan materi UUD ’45 juga banyak pasal yang berpotensi menciptakan instabilitas politik. Misalnya, pasal yang mengatur kewenangan DPR untuk melakukan interpelasi dan angket, yang kemudian dicangkokkan dengan pemberhentian anggota DPR dan DPD. Masih banyak lagi kelemahannya. Karenanya, mengatakan Perubahan IV sebagai “lompatan besar” lebih merupakan upaya memuji-muji diri sendiri (narsistik). Dibandingkan dengan Afrika Selatan dan Thailand, Perubahan IV UUD ’45 hanya merupakan “lompatan besar” seekor katak.
HENDARDI
Ketua PBHI
Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini