Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang terjadi dengan model desain pesawat turboprop R80 mengingatkan pada kisah si jabang bayi Tetuko sekitar 28 tahun lalu. Saat itu, sesudah menjalani uji terbang 500 jam dan memperoleh sertifikat, induknya, yakni Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang membuat pesawat CN-235, langsung mengantongi pesanan.
Ada 15 unit yang sudah pasti harus segera dibuat saat itu. Pembelinya: Merpati Nusantara Airlines (MNA). Transaksi jual-beli Rp 150 miliar langsung ditandatangani kedua pihak.
Menurut Soeratman, Presiden Direktur MNA masa itu, harga setiap pesawat Rp 10 miliar sudah termasuk pelayanan pascajual, penyediaan suku cadang, dan jaminan selama enam bulan (1.000 jam terbang). Harga pesawat sekitar Rp 6 miliar. "Kalau dari 35-40 kursinya terisi antara 70 persen dan 80 persen, investasi itu akan kembali dalam 12 tahun," katanya.
Pilihan jatuh ke CN-235 karena pesawat serbaguna yang mempunyai ramp door seperti Hercules itu gampang diubah untuk pelbagai keperluan. Misalnya dari pesawat penumpang jadi pesawat angkut barang. Bagi penerbangan di Irian Jaya dan pedalaman lain, kondisi itu sangat menguntungkan. CN-235 juga dianggap unggul karena hanya membutuhkan landasan antara 900 meter dan 1.000 meter. "Sedangkan pesawat MNA yang lain, seperti Fokker F-27 dan Hawker Siddeley HS 748, butuh landasan 1.300-1.500 meter," ujar Soeratman.
Jadi bukan kebetulan kalau ABRI, yang diwakili Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani, juga membeli enam CN-235 untuk patroli maritim. Tidak jelas berapa besar transaksinya. Yang sudah pasti gembira dengan mengalirnya kontrak itu, selain IPTN, adalah pemasok mesin turboprop: General Electric (GE) dari Amerika Serikat.
Harga sebuah mesin GE tipe CT7-7 pada Januari 1986 sekitar US$ 380 ribu. Saat yang sama, Harsono D. Pusponegoro, Direktur Teknologi IPTN, mengatakan harga sepasang mesin meliputi 30 persen dari harga CN-235. Dibandingkan dengan mesin serupa bikinan Pratt Whitney dan Garret, GE CT7-7 dianggap punya kemampuan lebih baik. "Hingga memungkinkan dipasang di CN-235, yang direncanakan akan diperbesar," ucap Harsono.
GE dipilih karena juga sanggup membantu membangun Pusat Pemeliharaan dan Perawatan Mesin (UMC) IPTN sekaligus melatih tenaga muda dari Bandung di Arkansas. Kelak fasilitas jasa pelayanan yang dibangun dengan biaya US$ 40 juta itu juga diharapkan menghasilkan sejumlah suku cadang. Kata pihak GE, sementara itu, mesin tadi bentuknya sederhana dan terdiri atas empat modul. "Hingga, kalau terjadi sesuatu dengan mesin, tidak usah seluruh modul diturunkan," ujar Jim Morrison dari GE.
Cara jualan GE itu, belakangan, dicontoh oleh Rolls-Royce (RR) dari Inggris, yang pekan lalu menandatangani perjanjian bantuan teknik pemeliharaan dan perbaikan mesin turboprop jenis Dart bikinannya. Memang perjanjian itu belum sampai menyebabkan IPTN kelak memilih mesin RR untuk jenis pesawat lain yang bakal dikembangkan. Tapi, dengan memberi bantuan itu, yang memungkinkan UMC kelak bisa memperbaiki dan memelihara 200 mesin Dart yang digunakan pelbagai pesawat di sini, RR jelas berharap IPTN akan teringat budi baik yang diberikannya itu.
Begitu juga kira-kira jalan pikiran Pratt & Whitney dan Avco Lycoming Textron, dua pembuat mesin pesawat terbang dari Amerika, yang menaruh kepercayaan serupa kepada UMC. Mengalirnya bantuan dan kepercayaan dari pembuat mesin pesawat itu, agaknya, merupakan petunjuk akan pasar masa depan bagi produk IPTN yang dianggap cukup lumayan. Bahkan Boeing, sesudah melihat fasilitas teknologi dan kapasitas IPTN, dikabarkan mengundang badan usaha milik negara ini turut membuat sejumlah komponen bagi pesawat komersialnya.
Orang boleh saja tidak setuju pada terobosan yang bakal dilakukan IPTN yang menguras cukup banyak uang minyak-sementara proyek yang ditangani pemerintah tidak kecil. Tapi, sebagai bos IPTN, Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie punya jawaban: kalau satu pesawat CN-235 bisa dijual ke luar negeri, hitung saja devisa yang bisa diperoleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo