ADALAH seorang bernama Suharto Djoyosumpeno, doktorandus. Dia
sekjen untuk Indonesia dari satu organisasi internasional yang
menghimpun pemuda antar bangsa dalam hubungan dengan kegiatan
industri dan kebudayaan. Nama organisasi itu OISCA,
Organization for Industrial and Spirituil Cultural Advancement,
berpusat di Tokyo. Tahun lalu Suharto konsultasi dengan para
pengurus OISCA tingkat pusat.
Di antara berbagai masalah rutin organisasi yang dibicarakan,
tiba-tiba ada yang menanyakan nama Gesang. Tokoh-tokoh OISCA
Internasional, kata Suharto, sangat terkesan oleh lagu Bengawan
Solo.
Dan memang, menurut Suharto, banyak orang di luar negeri
mengenal lagu tersebut. Di Malaysia, Pilipina, Muangthai, Jepang
dan mungkin di berbagai tempat lagi. Di rumah-rumah, di
bandar-bandar udara sering terdengar. Hanya syairnya diganti
dengan bahasa masing-masing. Mendengar nama Gesang disebut oleh
sejumlah pengurus OISCA, Suharto mencoba mengusulkan agar
organisasi itu memberikan penghargaan kepada yang bersangkutan.
Diterima.
Penghargaan itu, Kamis 26 Oktober lalu, diterimakan langsung
oleh Ketua OISCA Internasional Dr Yoshiko Nakano kepada Gesang
dalam satu upacara di Pendopo Istana Mangkunegara Sala
Upacaranya lumayan meriah. Lebih seratus orang perwakilan OISCA
dari berbagai negara yang kebetulan punya acara pertemuan
tahunan di Jakarta Oktober kemarin, menyaksikan upacara itu.
Tidak kecuali Sri Paduka Mangkunegara ke-VIII sendiri beserta
isteri, Gusti Puteri. Gesang, berjas hitam, peci hitam, sedikit
malu-malu. Sesudah menerima piagam berikut uang sebesar Rp 100
rihu dari tangan Yoshiko Nakano, ia sempat menyanyikan sendiri
lagu Bengawan Solo dan dua buah lagu lain ciptaannya.
Gesang telah menciptakan puluhan lagu. Semua berirama kroncong
dan (atau) langgam Jawa. Bengawan Solo ciptaannya yang ke
berapa. Gesang lupa. Ia hanya ingat ciptaannya yang pertama Si
Piatu, 1938.
Cocok dengan warna kroncong, lagu-lagu Gesang rata-rata
romantis. Obyeknya alam atau warna-warna kehidupan yang
diamatinya cukup dalam. Bengawan Solo misalnya, yang
diciptakannya tahun 1940, lahir karena pengenalannya yang intim
akan sungai itu. Maklum ia lahir, dibesarkan, bahkan sampai
sekarang tinggal di tepi sungai itu, Sala.
Menurut Gesang, di musim kemarau kali itu betul-betul nyaris
kering. Sampai-sampai orang bisa menyeberang tanpa perahu.
Sebaliknya, di musim hujan sering meluap luar biasa. Dan itu
benar. Awal 1970-an misalnya, luapan air kali itu sempat
merusakkan ratusan hektar sawah di sekelilingnya. Bahkan hampir
seluruh kota Sala tenggelam.
Lagu ciptaan Gesang yang lain misalnya Roda Dunia (1939),
Saputangan (1941), Tirtonadi (1942), Jembatan Merab (1943).
Umumnya bukan lagu-lagu yang kemudian tak terkenal. Ambil saja
Tirtonadi. Jika diamati lagu itu cukup mengingatkan sementara
orang untuk mencintai lingkungan.
Tirtonadi adalah satu tempat di Sala. Letaknya memang dekat
sungai. Di zaman penjajahan Belanda dijadikan orang sebagai
tempat santai atau darmawisata. Maka kata Gesang lewat lagu ini:
Sepanjag lembab sungai terasa rapi
Sungguh cantik dan permai di Tirtonadi
Zaman Jepang, terus zaman merdeka keadaan Tirtonadi berubah
Nyaris menghutan dan kotor. Malam hari, bahkan jadi sarang
pelacur kelas rendah. Satu saat lagu Tirtonadi rupanya didengar
orang di luar negeri. Belakangan muncul banyak pelancong asing
menanyakan di mana itu tempat bernama demikian, yang menurut
nyanyian dilukiskan sebagai permai.
Serta merta pejabat Kota Sala pun sibuk. Tirtonadi didandani
kembali. Sekarang, selain terminal bis juga di sana telah
berdiri restoran 'Lembur Kuring' yang konon masih saudara
restoran 'Lembur Kuring.'
Penghargaan yang diterima Gesang dari OISCA bukan satu-satunya
yang pernah didapatnya sehubungan dengan profesinya sebagai
seniman. Tahun lalu pemerintah RI sendiri memberinya hadiah
seni. Atas dasar Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1976 dan
Keputusan Menteri P dan K No. 01/M/77. Untuk itu, Gesang, selain
menerima lencana dan piagam juga mendapat Tabanas Rp 25 ribu.
Martodiharjo
Sebelumnya, ketika Kowilhan II merayakan ulang tahun ke-6 di
tahun 1976, Pangkowilhan Letjen Widodo (waktu itu juga
memberinya piagam. Pemerintah Daerah Kotamadya Sala sendiri
tahun 1973 mengangkat Gesang sebagai Warga Kota Teladan kelas
II. Surat Keputusan Walikotamadya No 71/Kep/1/73 tanggal 16 Juni
1973 ditandatangani Walikotamadya Kusnandar waktu itu.
Lahir Pebruari 1917 (tanpa ingat tanggalnya), keluarga Gesang
bukan keluarga seniman. Martodiharjo ayahnya, pengusaha batik
bahkan selalu berusaha agar Gesang tidak melibatkan diri dalam
urusan yang dikatakannya 'urusan ngamen'. Malu, katanya. "Saya
terpaksa sembunyi-sembunyi kalau latihan. Tapi setelah kawin,
setelah saya dewasa, tidak lagi. Ayah tak lagi ambil
perduli."Gesang, selain pencipta lagu, sekaligus penyanyi. Tak
ada orkes tetap yang dimasukinya. Tahun-tahun pertama karirnya
sebagai biduan, tahun 1930-an, ia sering nyanyi untuk Orkes
Marco, Sinar Bulan dan Monte Carlo. Tahun-tahun terakhir
sekarang ini yang kerap menginnginya nyanyi antara lain Orkes
Bintang Surakarta pimpinan si penyanyi Walang Kekek Waljinah dan
Orkes Nada Prati Dina pimpinan Suyatman. Tapi di antara
macam-macam orkes yang pernah mengiringinya, yang paling sering
tentunya Radio Orkes Surakarta (ROS) dari RRI Surakarta.
Gesang sudah berkenalan dengan corong radio sejak zaman RSV
(Soloscle Radio Vereniging) dan SRI (Siaran Radio Indonesia),
stasiun-stasiun radio sebelum RRI Sala berdiri di tahun 1950.
Yang pertama milik Kraton Mangkunegaran, satunya punya Kraton
Kasunanan. Kedua stasiun radio itu sudah berdiri sejak Gesang
masih remaja.
Rp 300 Sekali Datang
Dengan usia 61 tahun sekarang ini, Gesang mengaku memang masih
mencipta lagu dan sanggup menyanyi. Dalam rekaman yang
dilakukannya di satu studio radio swasta di Klaten tahun 1976 ia
menampilkan lagu-lagu yang dikatakannya ciptaan-ciptaannya yang
baru: Kacu, Caping, Gunung dan Payungan. Hanya, "sudah lebih
dari setahun saya nganggur, tak ada rekaman, tak ada tanggapan,"
ucapnya kepada pembantu TEMPO Kastoyo Ramelan sesaat setelah ia
menerima penghargaan dari OISCA.
Sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi untuk kaset, Gesang
biasa menerima Rp 3.500 untuk lagu (hanya tanpa penyerahan hak
cipta tentu saja) dan Rp 1.500 untuk suaranya. Tapi tarip RRI
lain lagi. Rp 300 (tiga ratus rupiah). Sekali datang siaran.
Bawa lagu sendiri atau bukan. Sekali tarik suara atau lebih.
Tahun 1950-an ada lagu-lagu karangan Gesang yang jadi bahan
ilustrasi musik pada film. Ketika itu ia menerima Rp 2.500 satu
lagu. Kecuali untuk film Bengawan Solo yang antara lain
dibintangi Rima Melati dan Sofia Waldy. Diterimanya Rp 75
sekaligus. Soalnya, kecuali lagunya ditampilkan, ia sendiri
nongol di layar putih sebagai penunggu sebuah toko batik,
sebagai figuran. Bagaimanapun, "keadaan dulu memang lebih baik
dari sekarang," kata Gesang.
Tahun 1942, Gesang ikut teater keliling Bintang Surabaya
pimpinan Fred Young. Tugasnya menyanyi setiap terjadi pergantian
babak ketika pementasan berlangsung. Bayaran tetapnya tiap bulan
Rp 90. Harga beras waktu itu katanya cuma 10 sen per-liter.
Akan hal Gesang yang dalam usia lanjutnya sekarang dalam keadaan
nganggur, jelas soal nasib. Tapi jika akhir-akhir ini ia tidak
muncul lewat RRI Surakarta, menurut Kepala Bagian Kesenian
stasiun radio tersebut, Suwanjono, karena Gesang sering tidak
ada di rumah. Beberapa kali diundang, Gesang tidak datang, kata
Suwanjono.
Gesang mengakui ia memang kerap santai ke Bali diajak pelukis
Dullah. "Siapa tak mau, diajak senang-senang, disamping melihat
Dullah melukis, dengan ongkos sepenuhnya ditanggung Dullah?"
tutur Gesang.
Hadir di RRI Sala atau tidak, tampaknya tak banyak berbeda bagi
Gesang. Sebab selain sekali hadir ia hanya mengharapkan honor Rp
300, ia juga tidak tercatat sebagai anggota tetap dari orkes
yang ada di sana. Sebagaimana dikatakan Suwanjono pula, sesekali
Gesang diundang adalah sebagai penghormatan.
Tapi sepanjang ukuran RRI, Gesang tak memenuhi syarat. Menurut
Suwanjono, seorang biduan bisa diterima menjadi anggota ROS
manakala ia dapat nyanyi seriosa, hiburan dan kroncong
sekaligus. "Sedang Gesang hanya bisa kroncong saja," Suwanjono
menambahkan.
Artis Safari
Bintang Gesang yang muram sebenarnya bukan baru
sekarang-sekarang ini. Sewaktu Lekra masih ada, dikabarkan
Gesang pernah punya hubungan dengan anak organisasi PKI ini.
Maka, ketika kemudian timbul pemberontakan G-30-S bisa dimaklum
orang tak terlalu gampang mendekatinya. Ada yang beranggapan,
malah Gesang sendiri jadi rada-rada minder. Sekalipun banyak
yang memaklumi, bahwa kalau benar Gesang pernah berhubungan
dengan orang-orang komunis, bukanlah atas dasar ideologi. Malah
justru lantaran PKI lihai mendompleng ketenaran Gesang untuk
kepentingan politiknya. Maka, kehidupan Gesang pun waktu itu
sudah senin-kemis. Untunglah kemudian, tak kurang dari kelompok
Artis Safari yang bernaung di bawah panji Golkar di tahun 1971
turun kasih dengan membuat pertunjukan yang diberi nama Malam
Bing Slamet dan Gesang. Hasil bersih pertunjukan di Taman Ismail
Marzuki Jakarta itu Rp « juta diberikan kepada Gesang. Dari
uang sebanyak tadi, Rp 400 ribu diantaranya langsung dimasukkan
he BNI 1946 Surakarta, sementara sisanya setelah ada tambahan
lain dibelikan sepeda motor.
Waliyah
Dari bunga uang di bank itulah lebih satu tahun terakhir Gesang
menggantungkan hidupnya, per-bulan Rp 8.000. Tapi setelah satu
tahun terakhir ini, bunga deposito bank pemerintah diturunkan
jumlahnya tentu sudah berkurang. Akan halnya Tabanas yang Rp 250
ribu yang diterimanya sehubungan dengan pemberian hadiah seni di
tahun 1977, masih dalam tahun itu juga habis diambil. Kecuali
itu, bahkan rumahnya sendiri di Jalan Tagore 67 Surakarta, dua
tahun lalu dijual. Dan Gesang, tanpa isteri tanpa anak, kini
tinggal di satu kamar sewaan ukuran 2 x 7 meter Tak jauh dari
rumahnya semula. Untuk menerima tamu, juga surat menyurat, malah
masih digunakannya alamatnya yang lama atas izin dari
pemiliknya yang baru.
Tahun 1941, Gesang menikah dengan seorang bernama Waliyah.
Setelah 22 tahun berumahtangga, tahun 1963, mereka bercerai.
Waliyah tidak memberinya keturunan. Menurut Gesang kehidupan
mereka suami-isteri dulu cukup rukun. Waliyah, bahkan bijaksana.
Tak diungkapkannya sebab-sebab perceraian itu.
Gesang sekarang hidup sendiri. Satusatunya teman hidupnya yang
setia adalah suling bambu yang dibelinya 33 tahun lalu di
pinggir jalan di Yogyakarta ketika kebetulan mengunjungi salah
seorang saudaranya yang tinggal di sana. Gesang tak dapat
memainkan instrumen musik lain -- dan memang tak punya-kecuali
suling. Dengan suling pulalah ia mencipta lagu.
Gesang tertawa manakala ada orang yang kebetulan tahu cerita
suling itu. Dan ia memang bangga. "Saya heran, sudah sekian
puluh tahun suling bambu itu belum pecah," kata Gesang.
Suling itu memang belum pecah. Tapi bintang Gesang sendiri
sudah sedikit pudar. Juga fisiknya mulai melemah. Di rumah,
bahkan ke manapun ia pergi selalu membawa minyak angin.
Kesukaannya, Cap Kapak buatan Singapura.
Gesang perokok. Setiap kali merokok, sebelum dibakar, si rokok
diolesi minyak angin. Selain katanya supaya rokoknya enak, juga
agar ia tidak batuk. Dan yang lebih penting, kalau malam, dengan
minyak itu ia hangatkan dada dan lehernya. "Saya tak tahan
dingin.... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini