Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Suling tua di tepi bengawan

Pencipta lagu bengawan solo, gesang, yang sekarang dalam keadaan menganggur, mendapat penghargaan dari oisca. penghargaan langsung diserahkan oleh ketua oisca international dr. yoshiko nakano.

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH seorang bernama Suharto Djoyosumpeno, doktorandus. Dia sekjen untuk Indonesia dari satu organisasi internasional yang menghimpun pemuda antar bangsa dalam hubungan dengan kegiatan industri dan kebudayaan. Nama organisasi itu OISCA, Organization for Industrial and Spirituil Cultural Advancement, berpusat di Tokyo. Tahun lalu Suharto konsultasi dengan para pengurus OISCA tingkat pusat. Di antara berbagai masalah rutin organisasi yang dibicarakan, tiba-tiba ada yang menanyakan nama Gesang. Tokoh-tokoh OISCA Internasional, kata Suharto, sangat terkesan oleh lagu Bengawan Solo. Dan memang, menurut Suharto, banyak orang di luar negeri mengenal lagu tersebut. Di Malaysia, Pilipina, Muangthai, Jepang dan mungkin di berbagai tempat lagi. Di rumah-rumah, di bandar-bandar udara sering terdengar. Hanya syairnya diganti dengan bahasa masing-masing. Mendengar nama Gesang disebut oleh sejumlah pengurus OISCA, Suharto mencoba mengusulkan agar organisasi itu memberikan penghargaan kepada yang bersangkutan. Diterima. Penghargaan itu, Kamis 26 Oktober lalu, diterimakan langsung oleh Ketua OISCA Internasional Dr Yoshiko Nakano kepada Gesang dalam satu upacara di Pendopo Istana Mangkunegara Sala Upacaranya lumayan meriah. Lebih seratus orang perwakilan OISCA dari berbagai negara yang kebetulan punya acara pertemuan tahunan di Jakarta Oktober kemarin, menyaksikan upacara itu. Tidak kecuali Sri Paduka Mangkunegara ke-VIII sendiri beserta isteri, Gusti Puteri. Gesang, berjas hitam, peci hitam, sedikit malu-malu. Sesudah menerima piagam berikut uang sebesar Rp 100 rihu dari tangan Yoshiko Nakano, ia sempat menyanyikan sendiri lagu Bengawan Solo dan dua buah lagu lain ciptaannya. Gesang telah menciptakan puluhan lagu. Semua berirama kroncong dan (atau) langgam Jawa. Bengawan Solo ciptaannya yang ke berapa. Gesang lupa. Ia hanya ingat ciptaannya yang pertama Si Piatu, 1938. Cocok dengan warna kroncong, lagu-lagu Gesang rata-rata romantis. Obyeknya alam atau warna-warna kehidupan yang diamatinya cukup dalam. Bengawan Solo misalnya, yang diciptakannya tahun 1940, lahir karena pengenalannya yang intim akan sungai itu. Maklum ia lahir, dibesarkan, bahkan sampai sekarang tinggal di tepi sungai itu, Sala. Menurut Gesang, di musim kemarau kali itu betul-betul nyaris kering. Sampai-sampai orang bisa menyeberang tanpa perahu. Sebaliknya, di musim hujan sering meluap luar biasa. Dan itu benar. Awal 1970-an misalnya, luapan air kali itu sempat merusakkan ratusan hektar sawah di sekelilingnya. Bahkan hampir seluruh kota Sala tenggelam. Lagu ciptaan Gesang yang lain misalnya Roda Dunia (1939), Saputangan (1941), Tirtonadi (1942), Jembatan Merab (1943). Umumnya bukan lagu-lagu yang kemudian tak terkenal. Ambil saja Tirtonadi. Jika diamati lagu itu cukup mengingatkan sementara orang untuk mencintai lingkungan. Tirtonadi adalah satu tempat di Sala. Letaknya memang dekat sungai. Di zaman penjajahan Belanda dijadikan orang sebagai tempat santai atau darmawisata. Maka kata Gesang lewat lagu ini: Sepanjag lembab sungai terasa rapi Sungguh cantik dan permai di Tirtonadi Zaman Jepang, terus zaman merdeka keadaan Tirtonadi berubah Nyaris menghutan dan kotor. Malam hari, bahkan jadi sarang pelacur kelas rendah. Satu saat lagu Tirtonadi rupanya didengar orang di luar negeri. Belakangan muncul banyak pelancong asing menanyakan di mana itu tempat bernama demikian, yang menurut nyanyian dilukiskan sebagai permai. Serta merta pejabat Kota Sala pun sibuk. Tirtonadi didandani kembali. Sekarang, selain terminal bis juga di sana telah berdiri restoran 'Lembur Kuring' yang konon masih saudara restoran 'Lembur Kuring.' Penghargaan yang diterima Gesang dari OISCA bukan satu-satunya yang pernah didapatnya sehubungan dengan profesinya sebagai seniman. Tahun lalu pemerintah RI sendiri memberinya hadiah seni. Atas dasar Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1976 dan Keputusan Menteri P dan K No. 01/M/77. Untuk itu, Gesang, selain menerima lencana dan piagam juga mendapat Tabanas Rp 25 ribu. Martodiharjo Sebelumnya, ketika Kowilhan II merayakan ulang tahun ke-6 di tahun 1976, Pangkowilhan Letjen Widodo (waktu itu juga memberinya piagam. Pemerintah Daerah Kotamadya Sala sendiri tahun 1973 mengangkat Gesang sebagai Warga Kota Teladan kelas II. Surat Keputusan Walikotamadya No 71/Kep/1/73 tanggal 16 Juni 1973 ditandatangani Walikotamadya Kusnandar waktu itu. Lahir Pebruari 1917 (tanpa ingat tanggalnya), keluarga Gesang bukan keluarga seniman. Martodiharjo ayahnya, pengusaha batik bahkan selalu berusaha agar Gesang tidak melibatkan diri dalam urusan yang dikatakannya 'urusan ngamen'. Malu, katanya. "Saya terpaksa sembunyi-sembunyi kalau latihan. Tapi setelah kawin, setelah saya dewasa, tidak lagi. Ayah tak lagi ambil perduli."Gesang, selain pencipta lagu, sekaligus penyanyi. Tak ada orkes tetap yang dimasukinya. Tahun-tahun pertama karirnya sebagai biduan, tahun 1930-an, ia sering nyanyi untuk Orkes Marco, Sinar Bulan dan Monte Carlo. Tahun-tahun terakhir sekarang ini yang kerap menginnginya nyanyi antara lain Orkes Bintang Surakarta pimpinan si penyanyi Walang Kekek Waljinah dan Orkes Nada Prati Dina pimpinan Suyatman. Tapi di antara macam-macam orkes yang pernah mengiringinya, yang paling sering tentunya Radio Orkes Surakarta (ROS) dari RRI Surakarta. Gesang sudah berkenalan dengan corong radio sejak zaman RSV (Soloscle Radio Vereniging) dan SRI (Siaran Radio Indonesia), stasiun-stasiun radio sebelum RRI Sala berdiri di tahun 1950. Yang pertama milik Kraton Mangkunegaran, satunya punya Kraton Kasunanan. Kedua stasiun radio itu sudah berdiri sejak Gesang masih remaja. Rp 300 Sekali Datang Dengan usia 61 tahun sekarang ini, Gesang mengaku memang masih mencipta lagu dan sanggup menyanyi. Dalam rekaman yang dilakukannya di satu studio radio swasta di Klaten tahun 1976 ia menampilkan lagu-lagu yang dikatakannya ciptaan-ciptaannya yang baru: Kacu, Caping, Gunung dan Payungan. Hanya, "sudah lebih dari setahun saya nganggur, tak ada rekaman, tak ada tanggapan," ucapnya kepada pembantu TEMPO Kastoyo Ramelan sesaat setelah ia menerima penghargaan dari OISCA. Sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi untuk kaset, Gesang biasa menerima Rp 3.500 untuk lagu (hanya tanpa penyerahan hak cipta tentu saja) dan Rp 1.500 untuk suaranya. Tapi tarip RRI lain lagi. Rp 300 (tiga ratus rupiah). Sekali datang siaran. Bawa lagu sendiri atau bukan. Sekali tarik suara atau lebih. Tahun 1950-an ada lagu-lagu karangan Gesang yang jadi bahan ilustrasi musik pada film. Ketika itu ia menerima Rp 2.500 satu lagu. Kecuali untuk film Bengawan Solo yang antara lain dibintangi Rima Melati dan Sofia Waldy. Diterimanya Rp 75 sekaligus. Soalnya, kecuali lagunya ditampilkan, ia sendiri nongol di layar putih sebagai penunggu sebuah toko batik, sebagai figuran. Bagaimanapun, "keadaan dulu memang lebih baik dari sekarang," kata Gesang. Tahun 1942, Gesang ikut teater keliling Bintang Surabaya pimpinan Fred Young. Tugasnya menyanyi setiap terjadi pergantian babak ketika pementasan berlangsung. Bayaran tetapnya tiap bulan Rp 90. Harga beras waktu itu katanya cuma 10 sen per-liter. Akan hal Gesang yang dalam usia lanjutnya sekarang dalam keadaan nganggur, jelas soal nasib. Tapi jika akhir-akhir ini ia tidak muncul lewat RRI Surakarta, menurut Kepala Bagian Kesenian stasiun radio tersebut, Suwanjono, karena Gesang sering tidak ada di rumah. Beberapa kali diundang, Gesang tidak datang, kata Suwanjono. Gesang mengakui ia memang kerap santai ke Bali diajak pelukis Dullah. "Siapa tak mau, diajak senang-senang, disamping melihat Dullah melukis, dengan ongkos sepenuhnya ditanggung Dullah?" tutur Gesang. Hadir di RRI Sala atau tidak, tampaknya tak banyak berbeda bagi Gesang. Sebab selain sekali hadir ia hanya mengharapkan honor Rp 300, ia juga tidak tercatat sebagai anggota tetap dari orkes yang ada di sana. Sebagaimana dikatakan Suwanjono pula, sesekali Gesang diundang adalah sebagai penghormatan. Tapi sepanjang ukuran RRI, Gesang tak memenuhi syarat. Menurut Suwanjono, seorang biduan bisa diterima menjadi anggota ROS manakala ia dapat nyanyi seriosa, hiburan dan kroncong sekaligus. "Sedang Gesang hanya bisa kroncong saja," Suwanjono menambahkan. Artis Safari Bintang Gesang yang muram sebenarnya bukan baru sekarang-sekarang ini. Sewaktu Lekra masih ada, dikabarkan Gesang pernah punya hubungan dengan anak organisasi PKI ini. Maka, ketika kemudian timbul pemberontakan G-30-S bisa dimaklum orang tak terlalu gampang mendekatinya. Ada yang beranggapan, malah Gesang sendiri jadi rada-rada minder. Sekalipun banyak yang memaklumi, bahwa kalau benar Gesang pernah berhubungan dengan orang-orang komunis, bukanlah atas dasar ideologi. Malah justru lantaran PKI lihai mendompleng ketenaran Gesang untuk kepentingan politiknya. Maka, kehidupan Gesang pun waktu itu sudah senin-kemis. Untunglah kemudian, tak kurang dari kelompok Artis Safari yang bernaung di bawah panji Golkar di tahun 1971 turun kasih dengan membuat pertunjukan yang diberi nama Malam Bing Slamet dan Gesang. Hasil bersih pertunjukan di Taman Ismail Marzuki Jakarta itu Rp « juta diberikan kepada Gesang. Dari uang sebanyak tadi, Rp 400 ribu diantaranya langsung dimasukkan he BNI 1946 Surakarta, sementara sisanya setelah ada tambahan lain dibelikan sepeda motor. Waliyah Dari bunga uang di bank itulah lebih satu tahun terakhir Gesang menggantungkan hidupnya, per-bulan Rp 8.000. Tapi setelah satu tahun terakhir ini, bunga deposito bank pemerintah diturunkan jumlahnya tentu sudah berkurang. Akan halnya Tabanas yang Rp 250 ribu yang diterimanya sehubungan dengan pemberian hadiah seni di tahun 1977, masih dalam tahun itu juga habis diambil. Kecuali itu, bahkan rumahnya sendiri di Jalan Tagore 67 Surakarta, dua tahun lalu dijual. Dan Gesang, tanpa isteri tanpa anak, kini tinggal di satu kamar sewaan ukuran 2 x 7 meter Tak jauh dari rumahnya semula. Untuk menerima tamu, juga surat menyurat, malah masih digunakannya alamatnya yang lama atas izin dari pemiliknya yang baru. Tahun 1941, Gesang menikah dengan seorang bernama Waliyah. Setelah 22 tahun berumahtangga, tahun 1963, mereka bercerai. Waliyah tidak memberinya keturunan. Menurut Gesang kehidupan mereka suami-isteri dulu cukup rukun. Waliyah, bahkan bijaksana. Tak diungkapkannya sebab-sebab perceraian itu. Gesang sekarang hidup sendiri. Satusatunya teman hidupnya yang setia adalah suling bambu yang dibelinya 33 tahun lalu di pinggir jalan di Yogyakarta ketika kebetulan mengunjungi salah seorang saudaranya yang tinggal di sana. Gesang tak dapat memainkan instrumen musik lain -- dan memang tak punya-kecuali suling. Dengan suling pulalah ia mencipta lagu. Gesang tertawa manakala ada orang yang kebetulan tahu cerita suling itu. Dan ia memang bangga. "Saya heran, sudah sekian puluh tahun suling bambu itu belum pecah," kata Gesang. Suling itu memang belum pecah. Tapi bintang Gesang sendiri sudah sedikit pudar. Juga fisiknya mulai melemah. Di rumah, bahkan ke manapun ia pergi selalu membawa minyak angin. Kesukaannya, Cap Kapak buatan Singapura. Gesang perokok. Setiap kali merokok, sebelum dibakar, si rokok diolesi minyak angin. Selain katanya supaya rokoknya enak, juga agar ia tidak batuk. Dan yang lebih penting, kalau malam, dengan minyak itu ia hangatkan dada dan lehernya. "Saya tak tahan dingin.... "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus