Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Fatwa Natal

Arsip, 30 Mei 1981

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
30 Mei 1981

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL boleh atau tidak umat Islam memberikan ucapan Natal kepada penganut Nasrani selalu muncul dan menjadi perdebatan setiap menjelang 25 Desember. Sebagian ulama tidak mempersoalkan, sebagian yang lain mengharamkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan lembaganya tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum memberikan ucapan selamat Natal. “MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,” ujar Zainut pada Senin, 23 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah Tempo mengulas polemik fatwa Natal yang dikeluarkan MUI di masa kepemimpinan H Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka pada 30 Mei 1981. Berita bertajuk “Buya, Fatwa, dan Kerukunan Beragama” itu mengulas polemik yang timbul akibat fatwa Natal yang dikeluarkan MUI hingga berujung pada mundurnya Hamka sebagai Ketua Umum MUI.

“Maksud Buya mundur dari jabatan Ketua Umum MUI bukan untuk merusak MUI, apalagi merusak kesatuan dan persatuan. Sebab dalam pernyataan beliau, masih tetap bersedia membantu pemerintah,” ujar Menteri Agama Letnan Jenderal H Alamsyah Ratuperwiranegara ketika itu.

Buat banyak orang, pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Hamka mengungkapkan bahwa pengundurannya disebabkan oleh fatwa MUI tentang Natal pada 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam tidak mengikuti upacara Natal.

Fatwa Natal yang dikeluarkan MUI itu dilatarbelakangi adanya perayaan Natal bersama di beberapa sekolah yang mewajibkan siswa yang beragama Islam hadir, bahkan juga dipungut iuran. Departemen Agama lantas meminta fatwa dari MUI yang selanjutnya akan dibicarakan dengan umat agama lain. Masalah timbul ketika fatwa itu bocor sebelum didiskusikan.

Sehari setelah tersiarnya fatwa itu, MUI membuat surat pencabutannya. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani Hamka dan H Burhani Tjokrohandoko, selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar-agama adalah wajar, kecuali yang bersifat peribadatan, antara lain misa, kebaktian, dan sejenisnya. Umat Islam tidak dilarang hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

Lantas kenapa Hamka sampai mundur? Tampaknya, kebocoran fatwa MUI 7 Maret itu membuat Menteri Agama Alamsyah tersudut. Dalam sebuah pertemuan dengan para petinggi MUI, Alamsyah menyatakan bersedia berhenti sebagai menteri karena merasa bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut. Menanggapi sikap Alamsyah itu, Hamka menyatakan bahwa ia yang semestinya mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut…. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka.

Kepada Tempo, Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. Ia menjelaskan bahwa surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh”. Menurut Hamka, fatwa tentang Natal itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam. Fatwa dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah islamiyah, tanpa mengabaikan kerukunan hidup beragama.

Alamsyah menegaskan bahwa di Indonesia terdapat banyak agama. “Karenanya menghadiri perayaan agama lain dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain adalah layak dan wajar,” ujarnya. Akan tetapi, ia menambahkan, dalam perayaan yang bersifat ibadat, tidak perlu pemeluk agama lain hadir. Masalahnya, “Batasan mana yang ibadat dan mana yang cuma perayaan hingga bisa dihadiri umat agama lain memang belum ada.”


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  30 Mei 1981. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1756/1981-05-30

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus