Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Dari Redaksi

Fenomena baru dalam seni

Laput rendra ke-4. rendra membawa fenomena baru dalam seni. dengan dukungan impresariat, pembacaan sajak bernilai rp jutaan rupiah. juga karya seni guruh. laput ditulis salim said dan putu setia.(sdr)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini kami menurunkan Laporan Utama tentang Rendra lagi. Dan, ini adalah kali keempat wajah Rendra menghias sampul TEMPO. Mengapa Rendra? Ia kami tulis bukan karena tampangnya yang ganteng atau lantaran ulahnya yang eksentrik (ia pernah mengumpulkan dua istri di bawah satu atap), tapi karena ada fenomena baru dalam dunia kesenian kita. Dulu, hampir tak terbayangkan bahwa pembacaan sajak bisa dijadikan lahan uang. Meski setiap pembacaan sajak di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, misalnya, sering sesak penonton, terutama bila Rendra yang beraksi, toh ia harus puas dengan sekadar keplok dan sedikit uang transpor. Kini, di tangan Direktur PT Artha Saphala, Kurnia Kartamuhari, pembacaan sajak oleh Rendra bisa bernilai jutaan rupiah. Adalah Kurnia yang mengurus penampilan Rendra di tiga kota - Bandung, Yogyakarta, dan Semarang - belum lama berselang. Dan, untuk sekali pembacaan puisi, di tiap kota itu, Rendra dibayar Rp 3 juta. Pekan lalu, Rendra manggung di Istora Senayan, di depan sekitar 3.000 penonton yang membeli tiket masuk seharga Rp 3.000 dan Rp 5.000 dan dibayar Rp 12 juta. Tak cuma Rendra yang sukses di tangan impresario. Juga Guruh Sukarno Putra, yang mementaskan pertunjukan kolosal Gilang Indonesia Gemilang dengan biaya Rp 450 juta di Balai Sidang Jakarta, pekan ini. Untuk pertama kali sebuah pertunjukan lokal dengan harga tiket termahal Rp 35.000 habis terjual. Impresariat yang berdiri di belakang pementasan Guruh adalah Nyonya Amnah Sardono W. Kusumo, istri Penari Sardono W. Kusumo. Menulis tentang Rendra, Guruh, juga soal impresario di pentas seni, adalah menulis hal yang sebagian besar di antara kami mengenalnya. Salim Said, yang merencanakan Laporan Utama ini, dan menuliskan bagian pertama, bukanlah orang asing dengan dunia seniman itu. Ia pernah bergabung dengan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta, di awal 1960-an. Bagian kedua Laporan Utama ini ditulis oleh Putu Setia, yang ketika menjabat Kepala Biro TEMPO di Yogyakarta, akhir 1970-an, sering ke rumah Rendra. Putu Setia, penanggungjawab rubrik Seni terakhir "berkumpul" bersama Rendra dalam Koperasi Seniman Indonesia. Kemudian ada pula Syu'bah Asa, pernah tinggal lama dengan Rendra dan karya-karyanya, gawang terakhir Laporan Utama ini. Laporan Utama ini juga melibatkan A. Luqman, Mohamad Cholid - dua tampang yang sudah akrab di Bengkel Teater, baik di Yogya maupun di Depok sekarang - Moebanu Moera, Gatot Triyanto, Biro Bandung, Biro Yogya, dan Biro Sumatera Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus