Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketua Setelah Kongres Ketiga

Kongres pdi ke-3 berjalan mulus. banyak tokoh yang berambisi menjadi ketua umum. kursi ketua umum bisa menjadi batu loncatan menjadi anggota dpa/dpr. (nas)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PDI, partai paling kecil itu, ternyata dalam pekan ini membuat "prestasi" yang sama dengan Golkar: keduanya, di masa Orde Baru ini, sama-sama telah menyelenggarakan kongres yang ketiga. Sedangkan PPP, partai nomor dua terbesar, dan dikenal sebagai partai Islam, setelah sebelas tahun fusi baru berhasil menyelenggarakan muktamar sekali. Kongres III PDI itu berlangsung 15-17 April. Dihadiri 1.200 peserta, dan dibuka oleh Presiden Soeharto di Taman Mini Indonesia Indah. Dibanding dua kongres sebelumnya, diwarnai kericuhan utusan daerah, kongres kali ini tergolong mulus. Padahal, akhir tahun silam masih ramai dibicarakan apakah pertemuan yang diperlukan itu musyawarah nasional (munas) atau kongres. Adalah Prof. Dr. Soenawar Soekawati (alm.), Ketua Umum DPP PDI, kala itu berpendapat cukup munas saja yang diadakan. Tapi Hardjantho Sumodisastro, Wakil Ketua DPR dari unsur PDI, menolaknya. Menjelang pemilihan umum mendatang, katanya, kongreslah yang diperlukan. Pertikaian pendapat itu, juga menjalar ke anggota lainnya, yang lantas membentuk dua kubu. Meninggalnya Soenawar memberi jalan licin bagi gagasan Hardjantho. Tapi apakah Hardjantho, 59, yang akan terpilih sebagai ketua umum? Lelaki kekar dengan tinggi badan 178 cm ini memang masih disebut-sebut sebagai calon. Inilah tokoh yang "lahir" karena menengahi sengketa, dan akhirnya mengesankan sebagai tokoh yang "gemar" sengketa. Ia mulai muncul di panggung politik, ketika ia sebagai tokoh muda berupaya menengahi konflik antara Ali Sastroamidjojo dan Osa-Usep di Kongres Nasional PNI (1966). Dalam konflik PDI tahun 1977 ia memihak Isnaeni, tapi pada 1978 berdiri di belakang Sanusi. Terakhir, ia juga bersengketa dengan Soenawar, menyebabkan sebagian pihak enggan memilihnya. Yang unik, di masa regenerasi sedang mendapat "angin" seperti di kalangan pemimpin militer, misalnya, adalah munculnya Mohamad Isnaeni sebagai calon pimpinan PDI. Tokoh lama, 67, bekas Wakil Ketua DPR/MPR, yang baru bulan Desember lalu kembali dari tugasnya sebagai duta besar di Rumania, sebenarnya sudah lama "minggir" dari panggung politik. Toh empat hari menjelang kongres, ia mendapat surat dukungan dari 60 pengurus cabang PDI. Mengapa ada yang berpaling ke Isnaeni? Boleh jadi, krisis kepemimpinan di partai yang tergolong sering "main pecat" di tingkat puncak - itu memang serius. Terlebih, masalah fusi ternyata belum tuntas benar. Kenyataan ini, agaknya, mendorong sementara kalangan membuka-buka kembali "album lama". Isnaeni sendiri masihkah berminat? "Terserah pada kongres," jawabnya. Ia, katanya, dalam posisi "diminta pertanggungjawaban sebagai penanda tangan deklarasi fusi." Nama lain, yang juga terbilang tak lagi dipanggung politik tapi muncul sebagai calon adalah I.G.N. Gde Djaksa. Berumur 56, ia terakhir duduk selaku Ketua DPP PDI di masa kepemimpinan Sanusi Hardjadinata. Bekas anggota Komisi III DPR, dan pada 1982 ia diangkat menjadi hakim agung. Ia, agaknya, satu-satunya orang bertoga di Mahkamah Agung dari kalangan sipil yang tak pernah melewati kariernya di bidang peradilan. Sarjana hukum lulusan UI ini optimistis akan tampil menjadi Ketua Umum DPP PDI yang baru. Ancang-ancang telah disiapkannya. Karena hakim agung tak boleh merangkap menjadi pimpinan partai, ia telah pula mendapat SK nonaktif. SK itu dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung Ali Said pada 11 April lalu, hanya beberapa hari menjelang kongres. "Keputusan ini saja sudah menjelaskan secara implisit dukungan pemerintah kepada saya," kata Djaksa. Satu-satunya tokoh muda yang disebut dalam bursa ketua adalah Suryadi (47). Ketua Umum GMNI (1966-1969) ini, beberapa tahun menjadi Sekretaris Fraksi PDI di DPR, sampai kemudian ia diangkat menjadi anggota DPA pada 1982. Akan tetapi, menantu tokoh tersohor PNI Hadisoebeno ini tak pernah duduk di kepengurusan PDI. Bahkan, hanya beberapa hari menjelang kongres, menurut sebuah sumber, Suryadi baru mengurus kartu anggota PDI. Suryadi adalah orang yang di kala terjadi perpecahan antara M. Isnaeni dkk. dan Sanusi Hardjadinata dkk. pada 1978 tak memihak siapa pun. Sejak masa itu ia sebenarnya telah mendengungkan pentingnya PDI dipimpin kalangan muda. Meski menanti hingga hampir 8 tahun, tampilnya ia kini sebagai calon toh tak mendapat simpati kalangan tua. "Saya tidak ngomong Suryadi tidak memenuhi persyaratan," kata Hardjantho. Persoalannya ialah Suryadi tidak pernah secara organik duduk di kepengurusan PDI. Kalau ia terpilih, ini nggak lucu, sebab hasil dorongan dari luar," ujar Ipik Asmasubrata, Ketua Umum DPD PDI Jakarta. Suryadi sendiri memang menyebut telah mendapat dukungan dari berbagai pihak. "Teman-teman yang mendorong saya," katanya. Banyak tokoh memang yang berambisi duduk di kursi Ketua Umum PDI. Ipik, misalnya, tidak menolak kalau dipilih. Hardjantho, "Masih ada keinginan mengabdikan diri." Mengapa begitu kuat keinginan untuk duduk dalam kepengurusan partai? Banyak orang menduga, ambisi duduk dalam partai hanyalah untuk batu loncatan ke lembaga pemerintahan seperti anggota DPA atau DPR. Sebagian lain karena kuatnya pengaruh birokratisasi politik mengakibatkan pimpinan partai lebih nyantol ke "atas". Selain itu, partai memang tak tampak menampilkan program-program atau tempat latihan buat lahirnya politisi profesional yang kelak bisa jadi pemimpin. Saur Hutabarat, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus