KAWASAN Segi Tiga Senen, Jakarta, tak lama lagi akan memasuki sejarah baru. Gedung-gedung tua itu, satu dua sudah mulai dibongkar. Lima tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, di sana niscaya akan hadir hiruk-pikuk sebuah metropolitan. Toko-toko mewah dengan udara dingin. Lampu-lampu reklame warna-warni. Dan siapakah yang masih bisa mengenang kawasan yang tadinya sumpek, ruwet dan sedikit kumuh itu? Sebagian dari kami akan mengenangnya. Karena di situ, di sebuah bangunan tua bertingkat dua -- yang sering membuat kaget karena tiba-tiba bergoyang seperti ada gempa -- kami mengukir "sejarah". Majalah ini boleh dikatakan lahir di sana -- walau resminya selama dua bulan sebelumnya kami pernah berkantor di kawasan Jakarta Kota. Gedung tua bekas apotik itu, dengan nomor 83, menghadap ke Jalan Senen Raya. Tak besar. Panjangnya kurang dari 30 meter dan lebar hanya 10 meter. Selama lebih dari 6 tahun (1971-1977) kami berada di sana, dengan segala kesederhanaannya. Maka, ketika bangunan itu akan dibongkar sebagian dari kami, berniat menundanya dulu. Bukan, kami bukan menuntut ganti rugi lebih banyak, seperti yang dituntut sebagian bekas tetangga kami. Bahkan kami justru berbesar hati ketika kami tahu besarnya ganti rugi itu, Rp 83 juta lebih sedikit. Secara bergurau seorang wartawan kami yang pernah jatuh bangun di gedung tua itu (jatuh beneran karena terpeleset di tangga dan bangun betulan karena ia sering tidur di situ) mengikhlaskan ganti rugi yang sisanya, sehingga kami terima genap Rp 83 juta. Jadi, sama dengan angka nomor gedung ini. Dan kami semakin mudah mengingatnya. Kami menunda sejenak pembongkaran karena ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Lalu, kami berbondong-bondong ke sana mengabadikan gedung yang semakin kusam itu dengan wajah-wajah kami yang juga semakin tua. Ikut berpotret Pemimpin Perusahaan, Harjoko Trisnadi, yang dulu menempati petak kecil di lantai bawah. Juga Pak Wondo, penjual minuman di seberang gedung itu. Pak Wondo masih akrab dengan kami. Belasan tahun yang lalu, dengan keplok tangan dan sedikit kode-kode dari seberang, Pak Wondo dengan setia mengantarkan minuman. Ketika kami pindah dari Senen Raya 83 ke Pusat Perdagangan Senen, gedung tua ini tetap kami rawat. Selain dijadikan gudang dan pusat pendistribusian majalah untuk Jakarta, lantai atas dipakai Perwakilan Harian Jawa Pos. Ketika TEMPO pindah ke Jalan Rasuna Said dan Perwaki]an Jawa Pos ikut meninggalkan kawasan Senen, gedung di Segi Tiga Senen tetap kami jadikan gudang. Hingga pembongkaran dimulai pekan lalu. Pembongkaran ini kami lakukan sendiri (bagaimanapun juga kami ingin memberi contoh kepada bekas tetangga) dikordinasikan oleh Bagian Umum. Kabarnya, masih banyak terdapat dokumen di sudut-sudut tumpukan karton. Ada laporan reporter di daerah, ada naskah cerpen, ada pula surat cinta. Maklum sebagian dari kami masih berstatus bujangan ketika memulai karier di sana. Dan ketika ini semangat bersastra-sastra masih kuat dibandingkan saat ini, ketika kami menerbitkan majalah dari gedung "pencakar langit" di kawasan Kuningan. Semuanya termasuk yang ikut kami kenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini