Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Selulose murah & mudah didapat

Apel budhy susetyo memberikan tanggapan balasan tentang enzim bekicot. ia memperbaiki beberapa kekeliruan yang dikutip tempo. antara lain tentang bekicot tidak punya mulut dan kegunaan selulose.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya ingin menanggapi surat dari Saudari R. Tatik Sundari (TEMPO, 17 Desember 1988, Kontak Pembaca), tulisan Saudara Budiatman Satiawihardja (TEMPO, 24 Desember 1988, Komentar), dan Saudara Umar Santoso (TEMPO, 4 Februari 1989, Komentar). Semuanya menanggapi penelitian Apel Budhy Susetyo (TEMPO, 19 November 19E8, Ilmu & Teknologi). Sebelumnya, saya ingin memperbaiki kekeliruan yang dikutip dan dibuat TEMPO. Dalam tulisan itu TEMPO memakai selulose bekicot untuk melisis dinding sel jamur Penicillium chrysogenum dan bakteri Escherichia coli. Sebenarnya, selulose bekicot ini hanya saya pergunakan untuk melisis dinding sel P. chrysogenum untuk mengisolasi DNA-nya. Sedangkan dalam transfer DNA ke dalam sel E. coli, digunakan lisozim untuk pembentukan steroplast. Kemudian, ada kalimat berbunyi "Bekicot tak punya mulut". Ini di luar dari penjelasan dan info yang saya berikan. Selain itu, saya ingin menambahkan bagian tulisan yang berbunyi, "Dalam uji lanjutan, ... Coli asli betah tinggal dalam media berisi amino triptofan itu." Sebenarnya, di sini ada dua hasil pengujian. Pertama, dalam media Mc. Conkey. Hasil percobaan menunjukkan bahwa transforman mampu tumbuh pada media ini. Tetapi ia tak mampu menguraikan membentuk asam. Sedangkan sel inang (E. coli) mampu tumbuh dan mengurai media membentuk asam. Kedua, pengujian indol dengan menggunakan substrat kaldu tripton 1%. Hasilnya menunjukkan bahwa sel inang mampu mengurai triptofan membentuk suatu senyawa yang disebut indol. Sedangkan transforman tak mempunyai kemampuan lagi untuk membentuk indol. Selanjutnya, saya ingin menanggapi Saudari Tatik. Dia bertanya tentang mulut bekicot. Saudari benar. Bekicot tentu mempunyai mulut. Sedangkan selulose bekicot diambil dari hasil ekstraksi dan dialisa pada hepatopankreas bekicot. Mengenai tanggapan Saudara Budiatman, saya pada dasarnya setuju dan sependapat dengan dua butir pertama yang dia kemukakan tentang penggunaan vektor. Pembuktian harus secara fanotipe dan genotipe. Itu terutama bila DNA asing (foreign DNA) yang ingin ditransfer telah diketahui pola genetiknya, misalnya urutan basa-basa nukleotidanya. Sehingga, penggunaan vektor menjadi efisien. Pula, pembuktian secara genotipe melalui electrophoresis gen akan mudah dideteksi dan diamati secara pasti. Dan biasanya transfer DNA seperti ini dilakukan untuk menghasilkan rekombinan yang dapat menghasilkan produk tertentu. Lain hal bila DNA asing yang ingin ditransfer berasal dari organisme yang belum diketahui secara pasti pola genetiknya, terutama urutan basa-basa nukleotidanya. Ini termasuk yang saya lakukan. Ada banyak macam DNA yang terdapat dalam tiap sel pada miselia P. chrysogenum, yang masih belum diketahui pola genetiknya. Haruskah semua macam DNA dibuat fragmen kecil kemudian disisipkan ke dalam vektor? Dapatkah penggunaan vektor untuk hal ini menjadi lebih efisien, bila dibandingkan dengan mentransfer DNA tersebut secara keseluruhan (whole DNA) tanpa vektor? Dari segi ekonomis, selain memerlukan biaya lebih besar, penggunaan vektor belum tentu dapat menjamin terbentuknya rekombinan baru. Sebab, apa yang terjadi pada DNA asing yang berada dalam sel inang tak bisa dikendalikan. Masih ada faktor penting lain yang dapat menentukan keberhasilan proses transformasi. Salah satu adalah adanya sel inang untuk menerima kehadiran DNA asing tersebut (competent cell). Menurut teori, paling sedikit tiga kemungkinan yang terjadi secara in vivo: 1. DNA asing dilisis oleh nuklease (enzim restriksi) sel inang. Tetapi sampai sejauh mana DNA asing itu dapat dilebur? 2. DNA asing dapat berkombinasi dengan sel inang. 3. DNA asing dapat bertahan dan mampu hidup secara otonom dalam sel inang. Selain itu, ada kemungkinan RNA polimerase sel inang dapat mentranskripsi rentangan-rentangan DNA asing secara acak, walaupun tak mengenal promotor gen asing itu (baca Watson er.al. Recombinant DNA, Scientific American Books, 1983, halaman 153). Jika salah satu dari transkripsi ini meliputi gen struktural DNA asing tadi, maka RNA dapat ditranslasi ke dalam suatu enzim fungsional (dengan anggapan bahwa gen-gen itu tak mengandung intron). Ada satu hal yang saya ingin tanyakan kembali kepada Saudara Budiatman Satiawihardja. Atas dasar apa Saudara begitu yakin bahwa transformasi DNA telanjang (naked DNA) ke dalam sel inang tak mungkin terjadi, bila DNA donor tak homolog dengan DNA sel inang? Sebenarnya, kedua butir di komentar Saudara Budiatman merupakan prosedur umum dalam mentrasfer DNA asing yang telah diketahui pola genetiknya. Dalam hal ini, saya dan dosen pembimbing Muhamad Wirahadikusuma, Ph.D. ingin mencoba terobosan baru, kalau boleh dikatakan mengambil jalan pintas, untuk mendapatkan rekombinan baru melalaui rekombinasi DNA secara transformasi. Itu terutama untuk organisme yang belum diketahui pola genetiknya. Dengan demikian, teknik ini akan merupakan cara yang jauh lebih baik, murah, dan cepat. Sehingga, ini baik untuk diterapkan dalam industri di negara-negara berkembang. Penguraian sukrosa oleh E.coli yang dipertanyakan Saudara Budiatman saya dapatkan dari hasil percobaan dan bukan dari literatur. Tetapi dari literatur yang saya dapatkan pun justru menerangkan bahwa reaksi yang diberikan oleh E. coli terhadap sukrosa sangat tergantung strain-nya (baca Bachanan & Gibbons, Bergeys Manual of Determinative Bactenology, 8-th ed., 1974, halaman 294). Memang benar, tak semua hasil percobaan dimuat dalam TEMPO. Mengenai keampuhan selulose bekicot dibandingkan dengan lisozim? Di sini jelas sekali berbeda peranan atau kerja tiap enzim. Sekali lagi, selulose bekicot saya pergunakan melisis dinding sel jamur, yang berbeda komposisinya dengan dinding sel bakteri. Pada dinding sel jamur terdiri dari dua lapisan: lapisan luar dari kompleks protein-mannan dan lapisan dalam dari glikan (polisakarida yang berikatan secara B (Beta). Untuk lapisan luar dapat didegradasi dengan bantuan senyawa deterjen (misalnya sodium dodecyl sulphate) dan senyawa kimia lainnya. Sedangkan lapisan dalam (glikan) dapat dilisis oleh selulose bekicot. Lisozim hanya dapat melisis dinding sel bakteri gram positif. Bahkan untuk melisis dinding sel bakteri gram negatif secara keseluruhan, perlu penambahan senyawa lain seperti deterjen tadi. Jadi, seperti ditanggapi Saudara Umar Santoso bahwa enzim selulose bekicot mungkin saja bukan selulose, itu juga kurang tepat. Sebab, enzim ini tak digunakan untuk mengurai dinding sel bakteri. Selain itu, sebelumnya telah diuji aktivitasnya dengan substrat CMC (carboxymethyl cellulose), yang ternyata mampu mengurai substrat ini dengan baik. Tetapi dalam hal ini saya tak meneliti lebih jauh. Sebab, enzim selulose bisa terdiri dari beberapa jenis, seperti endoglukanase, cellobiohydrolase. Adapun pemilihan penggunaan selulose bekicot ini tak lain untuk mencari bahan yang murah, mudah didapat, dan ada di dalam negeri.APEL BUDHY SUSETYO Jalan Tubagus Ismail Bawah 17A Bandung 40132

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum