Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"virus kecil" dari lampung tengah

Peristiwa lampung tak ada hubungannya dengan islam. anggota jamaah mujahidin fisabilillah yang tertangkap tutup mulut. belum dipastikan gpk warsidi berkaitan dengan peristiwa sebelumnya.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TALI plastik itu membelit leher, tangan, dan tubuhnya. Dalam lilitan itu, anak muda berkulit putih itu harus berjalan cepat mengikuti langkah 20-an penduduk desa bersenjata golok dan bambu runcing yang menyeret dan menggiringnya, menuju rumah Kepala Desa Rajabasa Lama. Maling ayam ? Ternyata bukan. Anak muda ini bernama Sumarno. Ia dicurigai penduduk, sebagai salah seorang pengikut dari yang disebut Pemerintah sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) Warsidi, yang sebelumnya menamakan diri mereka "Jamaah Mujahidin Fisabillah". Ketika Selasa subuh, dua pekan yang lalu, satuan ABRI menggerebek sarang GPK di Cihideung, Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Sumarno melarikan diri ke Sukadana, puluhan kilometer di sebelah barat desa. Tapi Selasa pekan lalu, Sumarno, kelahiran Banyuwangi 17 tahun yang silam, keluar dari tempat persembunyian dan mendatangi rumah orangtuanya, Tenu, di Desa Rajabasa Lama. Ketika itulah ia disergap penduduk. Begitulah, sejak meletusnya peristiwa Lampung, hampir dua pekan yang lalu, penduduk Desa Rajabasa Lama dan desa-desa di sekitarnya selalu berjaga-jaga, melakukan ronda dengan senjata golok atau bambu runcing. Mereka membantu aparat keamanan yang tetap bersiaga di kawasan itu. Kesiagaan itu tampaknya melanda seluruh daerah Lampung. Meski suasana sudah mulai pulih dan ketegangan sudah mengendur -- masyarakat Metro, misalnya, kini sudah mulai berani berjalan-jalan di malam hari -- kewaspadaan agaknya masih terus diserukan. Pemeriksaan terhadap anggota gerombolan yang tertangkap juga terus dilakukan di kantor Korem 043 Garuda Hitam di Tanjungkarang. Belum jelas, berapa jumlah yang telah ditahan, karena penangkapan-penangkapan baru masih terus terjadi. Dalam pemeriksaan ini tampaknya pihak petugas direpotkan oleh sikap para tahanan itu. "Dalam pemeriksaan itu kami mengalami kesulitan karena mereka semuanya tutup mulut. Tapi saya yakin, semuanya akan terbongkar," ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung R. Soemarto, S.H. Dari hasil pemeriksaan, hingga kini baru empat orang yang telah dipastikan anggota GPK Warsidi. Menurut Soemarto, walau Warsidi dkk. termasuk golongan ekstrem kanan, sejumlah anak buahnya dulu terlibat G30S-PKI, atau setidak-tidaknya mereka anak orang yang terlibat G30S-PKI. Ini disimpulkan setelah diketahui bahwa puluhan anggota GPK Warsidi ternyata berasal dari Desa Labuhan Ratu VI, atau yang biasa disebut Desa Pancasila, yang pada awalnya dulu dijadikan desa permukiman bekas tahanan G30S-PKI golongan C. Namun, seperti pernah diungkapkan sebuah sumber TEMPO, anak-anak muda dari Desa Pancasila itu boleh jadi terpikat menjadi anggota GPK Warsidi karena frustrasi, menganggur, tak bisa menjadi pegawai negeri, dan merasa diperlakukan tak adil (TEMPO, 18 Februari 1989). Gerakan tutup mulut anggota gerombolan yang tertangkap itu tampaknya dilakukan dengan terus-menerus bertahlil menyebutkan "Allah". Dua tahanan yang dijumpai TEMPO akhir pekan lalu di markas Korem 043 juga duduk bersimpuh menghadap tembok, menggerak-gerakkan kepalanya seraya terus-menerus mengucapkan "Allah, Allah". Peristiwa Lampung memang masih terus menarik perhatian. Latar belakang peristiwa serta seluk beluk GPK Warsidi ini memang belum terungkap jelas. Bisa dimengerti bila masih masih banyak orang yang bertanya-tanya. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, misalnya, pekan lalu mengimbau agar dibentuk suatu Komisi Pencari Fakta yang independen, "guna memenuhi hak-hak masyarakat atas informasi yang obyektif, serta guna menentukan langkah penyelesaian yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab." Soal jumlah korban yang tewas juga dipersoalkan. Beberapa media asing membuat taksiran tentang jumlah korban yang lebih besar dari apa yang telah diumumkan secara resmi. Majalah Asia Week edisi 24 Februari dan Far Eastern Economic Review 23 Februari 1989, misalnya, menaksir jumlah korban jiwa yang jatuh di atas 100 orang. Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno membantah jumlah itu. Jadi, berapa? "Ya, korban yang diutarakan Pangdam II itu berapa? Jadi, jangan sampai kita terhasut oleh pers asing. Kita harus meningkatkan ketahanan pers kita," katanya mengingatkan. Senin pekan lalu, Pangab memberi nama kelompok pelawan ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi. Nama itu seakan mempertegas bahwa gerakan tersebut bukan gerakan yang berkaitan dengan Islam. Di hadapan para peserta Majelis Tarjih XXII Muhammadiyah di Malang, Kamis pekan lalu, Jenderal Try meminta agar umat Islam jangan sampai terseret ajakan maupun hasutan yang menjerumuskan dan menyesatkan. Untuk itu, ia mengharapkan ulama dan para tokoh masyarakat Islam di Indonesia menghindarkan ummatnya dari pengaruh hasutan itu. Ia juga menyebut bahwa peristiwa itu cuma ibarat virus kecil yang berusaha mengguncangkan tubuh yang sehat. Karena itu, diharapkan masyarakat tidak nmembesar-besarkan kejadian yang katanya cuma mau mencemarkan citra Islam itu. "Tak usah dipermasalahkan lagi. Jangan sampai peristiwa itu berkepanjangan dan mengundang polemik. Itu soal kecil. Yang bikin huru-hara itu cuma 200 orang, sementara umat Islam yang baik 100 juta lebih," katanya. Menhankam Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani juga menegaskan bahwa pengacauan di Way Jepara itu bukanlah gerakan agama atau gerakan yang bersumber dari ajaran Islam. Pernyataan itu disampaikan Moerdani dalam sambutan tertulis pada upacara bendera bulanan di Departemen Hankam, 17 Februari yang lalu. "Kita harus waspada dan tak mudah terpancing oleh isu-isu yang berkedok agama. Masyarakat harus dapat membedakan secara tepat mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang berkedok agama, agar tak terpengaruh oleh para pengacau yang dapat merusakkan kesatuan dan persatuan bangsa," katanya. Dalam acara dan hari yang sama di Mabes ABRI, Jenderal Try Sutrisno menyebutkan bahwa GPK Warsidi itu cuma bersifat lokal dan sudah diatasi ABRI dengan tegas dan bijaksana. Namun, pimpinan ABRI ini mengingatkan agar ABRI beserta keluarganya di mana saja tak terpengaruh pada isu-isu yang bermaksud memper keruh keadaan. Isu seperti dimaksudkan Pangab itu agaknya terjadi di Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung. Pekan lalu sebagian anggota masyarakat kota itu sempat terpengaruh bahwa anggota GPK Warsidi sudah menyelusup ke Bandar Lampung. Isu menyebar setelah Rabu pekan lalu Dachlan Bin Mohamad Ali, seorang petani dari Sukaramai, di kota itu, ditemukan terbunuh di kebun sayur tak jauh dari rumahnya. Di tubuh korban ditemukan bekas-bekas luka bacok yang parah, lehernya saja hampir putus. Lalu berembuslah kabar bahwa Dachlan adalah korban serangan GPK Warsidi. Karena itu, Komandan Korem Garuda Hitam Kolonel Hendro Priyono menghimbau agar masyarakat tetap tenang dan waspada. Tewasnya Dachlan Bin Mohamad Ali, menurut Kolonel Hendro, seperti disiarkan harian Lampung Post, 16 Februari 1989, adalah sebuah peristiwa kriminal biasa dengan motif balas dendam. Peristiwa itu kini sedang diusut Polwil Lampung. Tapi pembunuhan itu, kata Hendro, menjadi isu dan hampir berhasil mencekam masyarakat Way Halim (sebuah kawasan perumahan di Bandar Lamphng, di situ ada perumahan pegawai negeri). Hendro mengimbau masyarakat agar tanggap dan tak gentar, serta bersama-sama dengan aparat keamanan melakukan siskamling, seperti apa yang sekarang dilaksanakan masyarakat Lampung Tengah. "Sehingga, GPK sendiri sebaliknya akan gentar melihat kesiagaan masyarakat sendiri," katanya. Memang ada saja anggota masyarakat yang merasa khawatir, tapi seperti dikatakan Bupati Lampung Tengah Suwardi Ramli, hal itu wajar. "Membaca berita-berita di koran, melihat ada pasukan ABRI di daerahnya, wajar saja mereka merasa sedikit waswas." Oleh karena itu, Muspida setempat terus memberikan penjelasan apa sebenarnya yang terjadi di daerah itu kepada ulama, guru agama, dan tokoh masyarakat. Kepada TEMPO, bupati ini merasa perlu pula menjelaskan mengapa apel paripurna yang menggabungkan ABRI dengan pegawai sipil seperti yang biasa dilakukan setiap tanggal 17, di lapangan Samber, Metro, untuk kali ini ditiadakan. Itu bukan karena adanya kekhawatiran bahwa pada tanggal 17 Februari anggota GPK akan melakukan penyerangan ke Kota Metro. Kalaupun pada 17 Februari yang lalu, apel dimaksud cuma dilakukan di kantor masing-masing instansi yang ada di Metro, "Karena sekarang ABRI kan lagi sibuk, jadi kita melakukan apel sendiri-sendiri saja," kata Suwardi. Kerja sama ABRI dengan masyarakat untuk menghadapi GPK Warsidi memang kentara sekali. Misalnya, Jumat pekan lalu, di lokasi peristiwa itu, Cihideung, kelihatan sedikitnya lO0 penduduk'desa bergotong royong. Semak-semak dan belukar di sekitarnya ditebangi. Begitu pula pepohonan bambu yang sudah terlampau menyemak dipangkas rapi. Gubuk-gubuk yang sempat terbakar dalam peristiwa 7 Februari itu kini tak terlihat lagi karena sudah dibersihkan. Tak ada lagi kesan bahwa di tempat itu pernah terjadi suatu peristiwa berdarah. Di situ bangunan yang masih terlihat utuh ialah sebuah musala berukuran 6 x 9 meter terbuat dari gedek, yang oleh GPK diberi nama Musala Muhajirin. Sementara itu, aparat keamanan terus mengeiar para anggota yang melarikan diri. Seperti ditulis harian Lampung Post Rabu pekan lalu, sehari sebelumnya di Rajabasa Lama, petugas menangkap Mat Yasir, salah seorang tokoh gerakan. Operasi pengejaran juga dilakukan di luar Lampung. Di Jawa Tengah, misalnya, sampai Senin pekan ini, sudah tiga orang tertangkap, yang diduga anggota kelompok ini. Salah seorang yang tertangkap itu diduga sebagai Sugiman alias Yulianto, yang dulu dikenal sebagai tokoh gcrakan Usroh dari Pesantren Ngruki. Karena terlibat gerakan itu pada 1986, ia ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Karanganyar. Semua ini agaknya menunjukkan bukti kewaspadaan aparat keamanan. Pokoknya, seperti ditegaskan Kapolri Jenderal (Pol.) M. Sanoesi kepada Komisi I DPR, Kamis pekan lalu, "Peristiwa ini sekarang sedang diperiksa dengan intensif." Dari pemeriksaan terhadap sejumlah tokoh dan anggota GPK Warsidi diketahui ada yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tapi menjawab pertanyaan salah anggota Komisi I, Sanoesi belum memastikan bahwa GPK Warsidi punya kaitan dengan berbagai gerakan ekstrem sebelumnya, seperti peristiwa Tanjungpriok. "Dari fakta-fakta hasil pemeriksaan para tersangka, panah-panah Itu ada yang dibuat di Cimahi dan Tanjungpriok," kata Sanoesi. Lebih jauh tentang gerakan itu, menurut Kapblri, akan dijelaskan Pangab Jenderal Try Sutrisno di DPR, Selasa pekan ini.Amran Nasution, Syafiq Basri Assegaf, Muchsin Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum