Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Gelar Doktor yang Berbuntut Panjang

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setujukah Anda atas pemberian gelar doctor honoris causa dari UI kepada Raja Abdullah dari Arab Saudi?
(Periode 7-14 September 2011)
Ya
20,83% 162
Tidak
75,06% 584
Tidak Tahu
4,11% 32
Total (100%) 778

Sebagian besar pembaca Tempo Interaktif mengecam pemberian gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Azis. Tak kurang dari tiga perempat pembaca situs berita ini menilai keputusan UI tidak tepat. Alasannya beragam. Salah satunya, anugerah itu dinilai mengabaikan penderitaan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, yang kerap menjadi korban penganiayaan di sana.

Sikap mayoritas responden jajak pendapat di situs berita ini sejalan dengan pendapat sejumlah tokoh masyarakat. Dosen Fakultas Sosiologi Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tamagola, termasuk yang paling keras mengutuk pemberian gelar doctor honoris causa ini. Dia bahkan sudah menggalang dukungan menggulingkan Rektor UI Gumi­lar Rusliwa Somantri. "He must go out," ujarnya berapi-api.

Anggota Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat, ­Rieke Diah Pitaloka, mengaku bisa memahami kemarahan publik. Penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, kata Rieke, bisa digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pemberian gelar untuk Raja Saudi bisa dilihat sebagai upaya mengecilkan arti pelanggaran itu.

Tapi bukan berarti yang setuju tidak ada. Sebanyak 20,34 persen responden pada jajak pendapat Tempo Interaktif beranggapan pemberian gelar kehormatan itu tidak ada hubungannya dengan masalah tenaga kerja Indonesia di tanah Arab. "Tak ada relevansinya," kata satu pembaca yang menggunakan nama Pakdheer. "Kalau tak suka kebijakan Rektor UI, tolong cari alasan lain yang lebih pas, misalnya korupsi atau penyelewengan wewenang," dia menambahkan.

Indikator Pekan Ini

MIMPI tim nasional Indonesia melaju ke putaran final Piala Dunia 2014 di Rio De Janeiro, Brasil, tampaknya sulit terwujud. Dua kekalahan beruntun—dari Irak dan Bahrain, September lalu—memupus harapan jutaan pendukung Bambang Pamungkas dan kawan-kawan. Takluknya kesebelasan Indonesia di tangan Bahrain 0-2 di kandang sendiri dua pekan lalu terasa paling menohok. Di hadapan jutaan pendukungnya, tim Garuda tak mampu menggetarkan jala lawan.

Buntut kekalahan itu langsung terasa. Pernyataan keras pelatih timnas Wim Rijsbergen, yang menilai pemain Indonesia belum siap bermain di laga internasional, membuat para pemain tersinggung. Tujuh pemain mengancam mogok.

Ancaman itu membuat tim terbelah. Kapten tim nasional Bambang Pamungkas mengecam langkah kawan satu timnya. "Itu memang menjadi hak pemain. Tapi, menurut hemat saya, tidak seharusnya mereka berlaku demikian," kata Bambang. Ketua Umum PSSI Djohar Arifin sampai turun tangan mendamaikan konflik ini. "Semua pihak harus menurunkan tensinya, lalu mencari penyelesaian yang baik," kata Djohar.

Nah, menurut Anda, apakah perpecahan di antara pelatih dan pemain timnas ini bakal selesai sebelum laga Indonesia melawan Qatar di Stadion Bung Karno, 11 Oktober mendatang? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus