Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengapa Ambon Tak Tuntas

Kerusuhan 11 September menandai proses rekonsiliasi pascakonflik 1999 belum tuntas. Perlu evaluasi menyeluruh penanganan keamanan.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMBON tiba-tiba memancing perhatian lagi, Ahad dua pekan lalu. Kota di tepi teluk biru itu mendadak rungsing. Enam orang tewas, puluhan terluka, sejumlah bangunan dan kendaraan hangus dibakar. Penyebabnya adalah kabar yang meleset—atau sengaja dipelintir. Darfin, tukang ojek yang kebetulan dari keluarga muslim, dikabarkan meninggal setelah dipukuli massa dari kampung yang didominasi warga Kristen.

Pesan pendek menjalar, tentu dengan berbagai bumbu provokasi. Keesokannya, amuk berkobar. Iring-iringan jenazah Darfin diwarnai tawuran. Isi pesan pendek berantai itu ternyata tak benar. Hasil otopsi menunjukkan Darfin meninggal lantaran kecelakaan tunggal membentur tembok. Sayangnya, massa termakan hasutan dan korban telanjur berjatuhan. Syukurlah, hawa panas bisa diredam. Polisi, tentara, dan pemerintah setempat bekerja efektif mencegah kerusuhan menjalar lebih luas. Dalam tiga hari, denyut kota berpenduduk 350 ribu jiwa itu pulih.

Kini tiba saatnya menarik pelajaran, tidak hanya untuk Ambon, tapi juga wilayah lain di Indonesia. Harus diakui, kepolisian yang berada di garis depan, yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, gagal berfungsi optimal. Intelijen keamanan kepolisian terbukti tidak sensitif mencium dan mengolah informasi awal.

Menurut penuturan penduduk, sepanjang dua pekan sebelum kejadian, Kota Ambon dipenuhi rumor. Ada "kabar": warga muslim yang mengalami kecelakaan di area warga nonmuslim bakal digebuki tanpa ampun. Begitu pula sebaliknya. Lalu, braakkk, pada Sabtu siang itu Darfin si Tukang Ojek jatuh di jalanan Gunung Nona. Warga muslim di Waihaong, Nusaniwe, kampung asal Darfin, kontan geger. Kabar burung segera beredar: Darfin mati digebuki penduduk Gunung Nona.

Andaikata intelijen keamanan berfungsi, jatuhnya Darfin direspons dengan langkah konkret. Misalnya, polisi segera mengklarifikasi dan menjelaskan duduk perkara sebenarnya kepada masyarakat. Jika perlu, polisi merangkul radio lokal untuk menjernihkan rumor yang berseliweran sepanjang hari itu. Sayangnya, hal itu tak dilakukan. Rentetan rumor sebelum dan setelah Darfin jatuh dianggap soal biasa.

Ambon ternyata masih menyimpan luka dan trauma kolektif kerusuhan 1999-2000, yang menelan ratusan korban dan tak terhitung kerugian material. Rumor yang membenturkan dua kelompok, Islam dan Nasrani, berisiko membesar tak terkendali. Pil pahit berikutnya adalah prosedur penanganan keamanan pada hari libur. Kepolisian Ambon berkelit bahwa bentrok pada hari Minggu itu susah ditangani. Alasannya, sebagian polisi libur dan sebagian lainnya menjaga proses pemilihan kepala daerah di berbagai sudut Ambon.

Akibatnya, bentrokan awal di lokasi yang tak lebih dari 200 meter dari kantor Markas Kepolisian Resor Ambon itu tak bisa diredam saat itu juga. Jumlah polisi dan massa tak berimbang. Tentu saja ini tak boleh dimaklumi. Standar prosedur operasi wajib dibenahi. Polisi bisa meminta bantuan tentara dan satuan pengamanan lain di sekitar lokasi. Yang juga tak kalah penting adalah merajut kembali benang persaudaraan dengan sungguh-sungguh.

Jusuf Kalla, mantan wakil presiden yang ikut membidani kesepakatan damai "Pela Gandong", mengakui ada pekerjaan rumah yang belum beres sejak konflik 1999. Segregasi masyarakat, adanya kantong muslim dan nonmuslim, menandai bahwa proses rekonsiliasi belum seratus persen berlangsung. Kalau itu soalnya, mengapa tak dari dulu diungkai tuntas? Atau: adakah yang berkepentingan memelihara api di dalam sekam ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus