DEWASA ini, ada dua generasi warga negara RI keturunan Tionghoa. Pertama, orang-orang etnis Tionghoa yang mengenal secara mendalam budaya etnis Tionghoa sebelum ditutup pemerintah (1965). Perspektif mereka tentang hari ini dan masa depan sangat diwarnai oleh sudut pandang etnisitas. Kedua, mereka yang lahir dan besar pada 1965, yang cenderung punya sudut pandang berperspektif nasionalitas (ke-Indonesia-an). Sebab, latar pendidikan mereka bukan lagi pendidikan Tionghoa, melainkan "pendidikan Indonesia" yang diberikan melalui sistem pendidikan nasional yang seragam.
Dari sudut pandang identitas etnis, perayaan Imlek misalnya dirasakan sebagai peluang baru bagi ekspresi dan budaya etnis yang selama Orde Baru telah dipasung. Tapi, dari sudut pandang identitas nasional, ada kekhawatiran satu dan lain mendorong proses reuinifikasi atau pen-Tionghoa-an kembali warga keturunan Tionghoa di tanah air kita.
Sewaktu Imlek hanya libur fakultatif, ada yang masih merayakan Imlek, ada yang sudah tidak merayakannya sama sekali. Sedangkan perlu dimaklumi bahwa yang bersangkutan (kurang-lebih 6 juta) sehari-hari dalam keluarga berbicara dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah Nusantara. Hanya sekitar 100 ribu orang yang masih paham Mandarin, menurut seorang pakar!
Sinyaleman mengenai dua generasi etnis Tionghoa itu dimuat pula dalam sebuah media setelah Imlek dijadikan hari libur nasional. Entah bagaimana, redaksinya memberikan judul merangsang: "Generasi Imlek". Dengan demikian, secara eksplisit golongan "WNI" dianggap bulat dan homogen. Sedangkan kenyataannya sejak 1940-an sudah "pecah" di dalamnya. Ada totok yang baru 1-2 generasi di sini dan sehari-hari berbicara dalam bahasa Hokkian, Hakka, kemudian Mandarin setelah 1911. Tapi ada pula (kebanyakan) yang telah berabad-abad turun-temurun di bumi Nusantara dan karenanya bertutur kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat.
Kelompok yang umumnya disebut "peranakan" ini termasuk generasi etnis Tionghoa yang makin berperspektif ke-Indonesia-an. Kebudayaan tanah leluhurnya sudah luntur dan cenderung acuh tak acuh terhadap Tahun Baru Cina. Ini disebabkan pula oleh beralihnya ke agama Kristen Protestan dan Katolik secara cukup massal di kalangan mereka sejak 1940-an. Tapi kini dengan Imlekisasi secara nasional mereka disatukan dan digabungkan dengan kelompok dan agama tertentu yang masih tradisional dan umumnya condong berperspektif ke-Tionghoa-an.
Di pertengahan 1960-an, mengenai nasib dan hari depan minoritas keturunan Tionghoa di Indonesia, ada 3 pendirian. Pertama, pendirian Siauw Giok Tjhan (Baperki), yang ingin mempertahankan golongannya sebagai suku atau kelompok yang khas. Umumnya disebut integrasi ala komunis. Di kalangan Baperki itu pula ada pendirian ke-2 dari Mr. Yap Thiam Hien, yang juga menganggap minoritas sebagai kelompok/suku Tionghoa yang khas, tapi "terapinya" tidak didasarkan atas paham komunisme, hingga disebut integrasi nonkomunis. Pendirian ke-3 ialah pendirian 10 tokoh keturunan Tionghoa di bawah pimpinan P.K. Ojong (Auwjong Peng Koen), yang menyatakan bahwa "masalah Tionghoa di Indonesia hanya dapat diselesaikan melalui asimilasi (pembauran) secara aktif dan bebas."
Ada persamaan antara pendirian ke-1 dan ke-2. Dua-duanya menghendaki "integrasi". Artinya, mempertahankan golongan minoritas sebagai golongan Tionghoa (kelompok). Di sinilah letak perbedaan yang esensial antara pendirian ke-1 dan ke-2 itu di satu pihak dan pendirian ke-3 di lain pihak. Sebab, pendirian ke-3 ini justru menghendaki agar secara berangsur-angsur minoritas itu tidak merupakan kelompok khas Tionghoa tersendiri lagi. Pendirian ke-1 sudah tentu erat hubungannya dengan Tiongkok-komunis. Pendirian ke-3 dengan tegas menolak orientasi pada Tiongkok, baik politis maupun kultural: orientasinya hanya pada Indonesia.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa baik pendirian ke-1 maupun pendirian ke-2 menganggap golongan minoritasnya sebagai suku yang sederajat dengan pelbagai suku di Indonesia. Pendirian ke-3 atau pembauran tidak menganggap minoritas sebagai suatu suku tersendiri. Mereka mengharapkan agar orang-orang peranakan sebagai individu dengan suku setempat saling mendekati di segala bidang. Dengan satu kata singkat: asimilasi.
Eksklusivisme dari minoritas sudah ada sejak zaman dulu, zaman kolonial. Pendirian ke-1 dan ke-2 dengan secara sengaja atau tidak sengaja meneruskan eksklusivisme itu. Pendirian ke-3 hendak menghapuskan eksklusivisme itu secara berangsur-angsur.
DRS. H. JUNUS JAHJA
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini