Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN 1830 itu muncul melalui kuas Raden Saleh. Ia tampil melalui sebuah reproduksi lukisan raksasa yang menutupi panggung dengan sorotan lampu. Lukisan itu menggambarkan episode penangkapan Pangeran Diponegoro pada 1830. Kepala sang pangeran dililit sorban, jubah putih menjuntai, dan tasbih terselip di pinggang dengan kepala mendongak di hadapan perwira Belanda, sementara di kakinya seorang perempuan bersimpuh meratap. Konon, lukisan ini diciptakan untuk menandingi lukisan dengan tema serupa karya Nicolas Fieneman, yang menggambarkan sang pangeran begitu lesu ketika ditangkap Belanda.
Ketika lampu di depan panggung meredup, adegan pada lukisan itu seolah melompat ke tengah panggung, ketika sosok pria bersorban menerobos dan berdiri kaku dengan seorang perempuan bersimpuh di kakinya. Inilah efek kejut pertama pada pementasan Opera Diponegoro, karya Sardono W. Kusumo, di auditorium RRI Sukakarta, Jawa Tengah, Jumat pekan lalu.
Layar transparan yang kini hanya menyisakan bayang-bayang citra lukisan Raden Saleh kemudian menjadi seting sepenggal epik Diponegoro dalam persepsi Sardono selama hampir dua jam pertunjukan. Alunan komposisi Mozart bertajuk Requim (lagu kematian) yang ditingkahi bunyi lecutan cambuk seorang serdadu Belanda melecut kulit telanjang seorang pria yang kemudian bergolak dalam lingkaran orang-orang berjubah putih di atas panggung.
Semua itu disaksikan sang pangeran yang masih mematung seolah tak berdaya menghadapi kekejaman aparatus kolonial. Sang pangeran yang diperankan penari Fajar Satriadi pun tak berdaya ketika sorban dan jubahnya dilucuti dua serdadu Belanda, tapi dari sinilah Sardono mulai berkisah tentang sikap kemanusiaan sang pangeran. Dari pergolakan batin ketika berdialog dengan penguasa Laut Selatan Nyi Roro Kidul yang dibangun dengan bahasa simbol yang menarik, berupa sehamparan kain yang digerakkan naik-turun sehingga mencitrakan gelombang.
Sebuah suasana di alam kayangan terbangun saat seorang perempuan bertubuh sintal dengan gerakan sensual menggoda sang pangeran duduk bersimpuh dalam posisi bersemadi.
Pertunjukan ini menjadi menarik karena pertunjukan ini atas permintaan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang didukung sepenuhnya oleh Lembaga Seni dan Budaya PP Muhammadiyah. Menurut Yayah Khisbiyah, ketua pusat studi tersebut, lembaga yang dipimpinnya itu menekuni dialektika agama dengan pluralisme budaya lokal lewat kajian teologis, filosofis, pendidikan apresiasi seni, dan pergelaran seni dan budaya. Tentu saja sikap Muhammadiyah ini membuat Sardono bersukacita. "Yang paling penting, mereka (Muhammadiyah) mengundang saya untuk mementaskan karya saya, meski belum tahu karyanya seperti apa," ujar Sardono.
Sardono mengaku bahwa citra sang pangeran bersorban dengan label Islam yang melekat pada diri Diponegoro menjadi daya tarik. Sardono memang mengeksplorasi kebudayaan Islam, dari musik hingga pakaian. Tapi Sardono juga meramunya dengan unsur kebudayaan lokal (Jawa), dari gaya teater sampakan hingga dagelan mataram. Ada improvisasi dialog berhamburan yang mengisi sebagian besar durasi pertunjukan, tapi itu justru mengubur kepiawaian Sardono menggarap idiom gerak. Hasrat Sardono untuk berkisah secara verbal tampak terlalu nyata. Gerak kemudian sekadar menjadi penguat narasi. Akibatnya, pertunjukan ini nyaris menjadi arena dakwah tentang kemanusiaan.
Berbeda ketika pertama kali koreografi ini digelar pada Indonesia Art Summit di Jakarta pada 1995, Festival Kesenian Surabaya pada 1996, dan di Kampus STSI Surakarta pada 1998, Sardono menyuguhkan rentetan narasi lewat idiom gerak yang lebih abstrak.
Pada bagian akhir pertunjukan Sardono mengeksplorasi idiom gerak dengan iringan suara nyanyian panjang tanpa kata. Sebagaimana yang diakui Sardono, pesan religius yang dibungkus dengan kesenian rakyat memang akan lebih mudah dicerna penonton. Dan ini adalah pilihan Sardono untuk pertunjukannya kali ini.
Raihul Fadjri (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo