Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sardono W. Kusumo:"Opera ini Menjadi Sebuah Kebutuhan"

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah dusun bernama Kemlayan, ia menjauhkan diri dari hiruk-pikuk Kota Solo. Di atas tanah seluas 2.000 meter itu, koreografer dan penari Sardono W. Kusumo, 57 tahun, membangun sebuah bangunan utama berupa pendopo dengan panggung berukuran sedang berdiri kukuh di bagian tengah. Satu set gamelan tersedia di bagian belakang pendopo. Di sanggar inilah Sardono menyiapkan pementasan kembali Opera Diponegoro yang melibatkan seniman Solo, antara lain tokoh wayang suket Slamet Gundono, penari Fajar Satriadi, dan sutradara Teater Gidak Gidik Hanindawan. "Mereka semua kini sudah menjadi tokoh," katanya. Sebelum pementasan hari pertama Jumat pekan lalu, Sardono menjelaskan kepada Raihul Fadjri dari TEMPO tentang pementasan ini. Petikannya: Mengapa Anda mementaskan Opera Diponegoro hingga enam kali?

Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta yang meminta saya (mementaskan). Pertimbangan mereka, ekspresi dalam opera ini berkesan Islam dalam pluralitas. Saya sendiri malah tidak tahu hal itu. Mereka mendapat kesan begitu karena membicarakan Diponegoro yang memiliki simbol Islam. Dalam pementasan itu ada musik Mozart, gamelan Jawa, musik Islam, dan toh juga berbicara tentang Nyi Roro Kidul, yang memang ada dalam realitas sosial orang Jawa.

Apa perbedaannya dengan pementasan opera ini sebelumnya pada 1995 dan 1997?

Opera ini bisa memiliki kerangka besar dengan sumber utama dari naskah yang ditulis oleh Diponegoro sendiri, atau naskah disertasi Peter Gerey yang bertolak dari sebuah peristiwa sejarah yang memiliki aspek politik, sosial, kultural, religi. Selalu bisa ditafsirkan mana unsur yang relevan saat ini. Pada waktu pertama kali opera ini saya ciptakan pada 1995, kami menampilkan adegan Surobrojo, tentang moral seorang prajurit: apakah prajurit berhak bertanya tentang kesalahan Diponegoro? Ketika itu militerisme kuat sekali, ada banyak mahasiswa dan orang yang hilang. Kini aksennya agak lain, konteksnya dengan peristiwa terorisme, terutama tentang kekerasan di Kota Solo. Sedikit-sedikit orang membakar, maling ayam dibakar, maling sepeda motor dibunuh. Yang menjadi ukuran adalah keenakan perasaan, meluapkan kemarahan. Soal terorisme, Solo diproyeksikan sebagai kota teroris internasional.

Jadi selalu ada kesadaran memberi konteks yang baru?

Ya. Karena dasarnya dari babad. Pujangga menulis karena adanya Perang Diponegoro. Yang menarik adalah penafsirannya.

Dalam pementasan kali ini kelihatan Anda tak banyak menggarap idiom gerak yang abstrak?

Memang saya lebih banyak menggunakan idiom drama kerakyatan. Ketika saya pentas di Festival Art Summit Surabaya, idiom estetik yang abstrak sudah terkondisikan dalam festival. Tapi saya sadar, ini pertama kali saya mementaskan tontonan yang kompleks di tengah Kota Solo. Maka kami membuat adegan dengan idiom yang lebih cair, yang tidak terlalu abstrak. Dalam pementasan kali ini saya masukkan Hanindawan (pemeran wartawan) sebagai penghubung antara dunia penonton dan dunia realitas teater. Sering dia bicara langsung dengan penonton.

Apa perlunya porsi dialog yang begitu besar?

Masyarakatnya sudah dalam keadaan absurd. Absurditas sudah menjadi realitas. Tidak perlu lagi bicara yang abstrak. Solo dikatakan sebagai sarang teroris internasional, itu kan sangat absurd, dan lebih absurd lagi kita secara mendadak bisa percaya. Penyebabnya karena tidak ada komunikasi antara satu dan yang lain. Semua sudah tertutup. Maka, berkomunikasi lewat opera ini menjadi suatu kebutuhan.

Padahal kekuatan Anda kan pada idiom gerak?

Sebenarnya tidak. Saya juga berangkat dari wayang wong. Pada wayang wong itu gerak hanya salah satu bagian dari sebuah gagasan. Saya banyak sekali berangkat dari berbagai gagasan sosial dan budaya.

Apa yang ingin Anda sampaikan dengan menempatkan Diponegoro dalam konteks Islam saat ini?

Diponegoro itu sebuah ikon, sebuah mitos, sesuatu yang diyakini berharga. Kita lihat, apa yang berharga. Apakah dengan berjubah dan membawa keris? Ini yang harus dilihat kembali. Ternyata bukan itu. Yang berharga pada Diponegoro adalah humanismenya. Dalam babad dia tidak bicara tentang perang, tapi tentang renungannya. Ketika dia menang perang, kemenangan itu tidak dirayakan dengan gegap-gempita, tapi dia gemetar menangis: Apa ini tujuan perang? Adegan perang hampir tidak ada.

Ini kan menarik, ketika Muhammadiyah, yang selama ini berjarak dengan kesenian...?

Ya, betul. Ini kelihatannya Muhammadiyah mau mendefinisikan kembali…. Saya senang aja ditanggap. Mereka mengundang saya untuk mementaskan karya saya, bahkan belum tahu karyanya seperti apa. Jadi, tidak ada pesanan. Saya sendiri sudah bilang, setiap pementasan saya berubah. Jangan berharap setiap pementasan itu sama. Ini yang paling penting, bahwa Muhammadiyah bisa mengerti proses kerja seorang seniman. Itu sangat saya hargai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus