Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Saling Jewer

Suara yang menginginkan sidang istimewa menghilang. Kenapa Jenderal Tyasno sampai perlu menegaskan dukungannya kepada Presiden Wahid?

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Abdurrahman Wahid kehilangan selera humornya. Kamis pagi kemarin, di sebuah rumah di Jalan Irian, Menteng, Jakarta, ia bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais. Dalam pertemuan itu, kata Amien heran, Abdurrahman tak melontarkan satu pun perbendaharaan leluconnya. Padahal, biasanya, setiap kali mereka bertemu, mesti ada imbuhan tiga-empat lelucon. ”Gus Dur sudah berjanji akan mulai mengurus negara ini lebih serius,” kata Amien kepada pers. Amien lalu memastikan bahwa Agustus depan tidak akan ada sidang istimewa seperti diramaikan sebelumnya.

Berkat pertemuan itu, tensi politik kembali normal, setelah sempat melonjak dua pekan lalu. Ketika itu, Amien dan Poros Tengah menggertak akan menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Wahid atas lontarannya tentang pencabutan ketetapan MPRS soal komunisme. Dengan sinis, Amien sempat menyatakan akan ”menjewer” Abdurrahman, yang dinilainya nyaris kehilangan kepercayaan rakyat. Yang digertak balik bereaksi. ”Salah-salah dia (Amien) nanti yang terjewer sendiri,” kata Abdurrahman.

Kini berbagai suara yang sebelumnya nyaring juga kembali sayup. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan telah tegas menyatakan akan menolak sidang istimewa. Pernyataan Amien juga tak semenggelegar sebelumnya. Di Yogyakarta, Selasa pekan lalu, ia menyatakan sidang tahunan Agustus mendatang cuma sebatas akan menilai rapor pemerintahan Abdurrahman. Dan kalaupun rapor itu penuh dengan angka merah, Majelis masih akan memberikan kesempatan memperbaikinya satu tahun lagi. Amien seperti meralat pernyataan sebelumnya: jika laporan kerja pemerintah ditolak, Gus Dur harus mengucapkan ”wassalam”.

Sekeras-keras suara Amien, kini arahnya sebatas mengkritik kinerja pemerintahan Abdurrahman. Dalam dialog tentang ”Analisis Kritis Agenda Reformasi” yang diadakan Persaudaraan Muslim Indonesia di Jakarta, Jumat kemarin, misalnya, Amien menyatakan Gus Dur telah gagal menjalankan agenda reformasi. Dari enam agenda yang dibebankan ke pundaknya, dua yang terpenting—supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih—belum bisa diwujudkan.

Agenda lain—amendemen Undang-Undang Dasar 1945, penghapusan dwifungsi TNI-Polri, demokratisasi, dan otonomi daerah—cuma meneruskan proses yang telah dirintis semasa Presiden B.J. Habibie. Amien juga telak-telak menyatakan Abdurrahman telah menciptakan berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) gaya baru. ”Sementara Soeharto harus membutuhkan waktu 10 tahun untuk menciptakan KKN, sekarang KKN bisa berkembang lebih cepat,” katanya. Sebatas itu. Ia tak lagi menyinggung soal kemungkinan digelarnya sidang istimewa.

Begitu pula dengan Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan. Suara keras dan manuver mereka pekan lalu saat meminta sidang istimewa dan menyatakan minat bekerja sama dengan PDI-P—seperti kata sebuah iklan—kini nyaris tak terdengar. Nada Ketua DPR Akbar Tandjung pun menunjukkan gejala itu. Ia menegaskan Dewan tak punya pikiran yang berniat mengganti kepemimpinan nasional dan tak melihat adanya alternatif lain di luar komposisi sekarang ini.

Masalah lain muncul. Di tengah-tengah urusan jewer-menjewer ini, tiba-tiba keluar pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, Senin pekan lalu, saat menghadiri acara rembuk nasional tentang hubungan ulama dan militer Indonesia, di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, asuhan Ketua Pengurus Besar NU K.H. Hasyim Muzadi, di Malang, Jawa Timur. Di hadapan para pengurus dan kiai sepuh Nahdlatul Ulama, Jenderal Tyasno, yang dikenal loyal terhadap Presiden Wahid, menegaskan komitmennya. ”Tentara Nasional Indonesia akan mengamankan pemerintahan yang sah,” katanya. Ia juga menyatakan akan melawan siapa pun yang mendalangi upaya inkonstitusional untuk menggulingkan pemerintah.

Memang, Tyasno tak menjelaskan siapa yang sedang dia tuju dan apa yang dimaksudkannya sebagai upaya inkonstitusional itu. Lontaran menggelar sidang istimewa jelas sebuah upaya konstitusional. Cuma, pernyataannya itu mau tak mau dikaitkan banyak pihak sebagai dukungan politik Tyasno terhadap Abdurrahman Wahid.

Kalangan NU sendiri kontan lega. ”Saya menangkap kesan para kiai senang. Mungkin karena disampaikan saat Gus Dur digoyang,” kata Ketua NU Jawa Timur, Ali Maschan Moesa, tersenyum. Seperti diakui Farhan S.A.A., mantan Ketua Ansor Ja-Tim yang dikenal dekat dengan Hasyim Muzadi, perhelatan ini punya arti penting untuk memperlihatkan kepada publik bahwa NU dan TNI berjalan seiring, juga untuk makin mempertautkan keduanya. Para petinggi militer paham akan pendirian NU yang tak rela tentara terus dicaci-maki saat tengah berbenah. Sebaliknya, kalangan nahdliyin yakin akan komitmen TNI terhadap reformasi dan kesetiaan militer terhadap pemerintah saat ini.

Sehari sesudah pernyataan Tyasno, Selasa pekan lalu, Partai Kebangkitan Bangsa mengeluarkan pernyataan keras. Partai yang didirikan Gus Dur itu meminta klarifikasi dan balik mengancam akan mendongkel Amien dari kursi Ketua MPR. Tapi, bagi kalangan lain, tetap saja statemen Tyasno dinilai tak pas. Akbar Tandjung, misalnya, menyayangkan pernyataan itu, yang dinilainya telah jauh merambah ke wilayah politik—satu hal yang keluar dari komitmen TNI sendiri untuk memfokuskan diri pada aspek profesional kemiliteran.

Amien juga bereaksi keras. Jumat kemarin, ia mengaku telah didatangi seorang jenderal Angkatan Darat utusan Tyasno. Kurir itu menyampaikan permohonan maaf Tyasno dan mencoba menjelaskan bahwa Tyasno sebenarnya tak pernah membuat pernyataan tersebut. Kesalahan—seperti biasanya—lalu ditimpakan ke pers, yang dituding salah kutip. Amien mengaku marah dan meminta Tyasno tidak mengulangi kesalahannya. ”TNI masih dicoba ditarik-tarik ke dalam kancah politik untuk dijadikan alat pelindung kekuasaan,” katanya kepada TEMPO.

Pendapat itu diamini Mayjen Sudrajat. ”Itu kan artinya kita dipolitisasi lagi,” kata mantan Kepala Pusat Penerangan TNI itu. Peran militer dalam mengamankan kepemimpinan nasional, kata Sudrajat, adalah sebatas terhadap ancaman fisik, misalnya teror atau kudeta. Tapi, jika sebuah pemerintahan yang ada lalu dijatuhkan melalui proses demokratis di Majelis, karena dinilai tak mampu, misalnya, ”Ya, biarkan saja. Itu kan kemauan rakyat,” katanya sambil mencontohkan proses tergulingnya Soeharto.

Lagi pula, kata Kepala Staf Teritorial Letjen Agus Widjojo, saat ini kalangan baju hijau tak lagi menjadi faktor penentu di kancah politik. Tentara sudah bertekad tak lagi berpolitik praktis. ”Seberapa besar sih dukungan itu dibutuhkan dari TNI?” tanyanya.

Seperti dilaporkan Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Kamis kemarin, hasil Rapat Pimpinan (Rapim) TNI Tahun 2000 di Markas Besar TNI Cilangkap memang telah menegaskan bahwa pihak militer tak akan memasuki wacana di wilayah politik. Kini, menurut formulasi sementara Rapim, militer hanya mengemban fungsi pertahanan, tak lagi mengemban fungsi sosial politik dan tak lagi bertanggung jawab di bidang keamanan—yang sepenuhnya berada di pundak Kepolisian Republik Indonesia.

Ketika dikonfirmasi, Hasyim Muzadi menyangkal bahwa acara rembuk nasional yang telah dijadwalkan sebelum ramai-ramai sidang istimewa itu bertujuan merangkul TNI untuk melindungi Abdurrahman. Laksamana Widodo A.S. juga menilai pernyataan Tyasno masih menyangkut hal-hal normatif dan tidak menerabas ke dalam wilayah politik. Tyasno juga membantah telah melakukan manuver politik. Menurut dia, pernyataannya di Malang itu sama sekali tak dimaksudkan untuk menyeret kembali TNI ke kancah politik. Tujuannya semata-mata mengimbau semua pihak agar mendukung konsensus soal pemimpin nasional. ”Jangan pilihan sudah diputuskan, tapi kemudian dongkel-mendongkel. Kapan rampungnya?” kata Tyasno.

Mengawal kekuasaan dengan mengembalikan peran tentara ke panggung politik memang bukan jawaban yang pas. Apalagi nama Presiden Abdurrahman Wahid telah dicatat atas keberhasilannya memancangkan kembali supremasi sipil.

Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Biro Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus