Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu Tragedi, Seribu Saksi

Tersangka baru Kasus 27 Juli: Yorrys Raweyai. Siapa jenderal pemberi perintah tokoh Pemuda Pancasila itu?

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETERLIBATAN tentara dalam Tragedi 27 Juli kian sulit dibantah. Yorrys Raweyai, yang ditahan polisi pekan lalu, mengaku mengerahkan massa "untuk mengamankan lingkungan" kantor PDI ketika tempat itu diambil alih melalui kekerasan oleh para pendukung Soerjadi. Pengerahan itu, kata dia, dilakukannya atas perintah Asisten Intelijen Kodam Jaya, Kolonel Haryanto. Yorrys, Ketua Harian Pemuda Pancasila, menjadi orang sipil keempat yang ditahan dalam kasus menggemparkan 1996 itu, menyusul para pemimpin Partai Demokrasi Indonesia yang berseberangan dengan Megawati Sukarnoputri: Soerjadi, Buttu Hutapea, dan Alex Widya Siregar. Pemuda Pancasila, yang reputasinya di masyarakat sudah dikenal, adalah organisasi pemuda yang dikenal dekat dengan kalangan militer. Organisasi itu mengerahkan 18 pengacara untuk membela Yorrys—salah satunya adalah Ruhut Sitompul, yang juga tokoh Pemuda Pancasila. Pengakuan Yorrys itu mengisyaratkan keterlibatan militer secara lebih luas. "Mustahil Kolonel Haryanto meminta Yorrys tanpa ada perintah atasan," kata seorang pengacara Yorrys. Meski tidak menyebut nama, tudingan itu mengarah kepada Sutiyoso, yang kala itu menjabat Pangdam Jaya. Selain itu, ada juga saksi korban yang melihat purnawirawan jenderal bintang tiga berada di tempat kejadian saat penyerbuan. Namun, semua tudingan itu dibantah Sutiyoso. "Klien kami tidak tahu-menahu soal penyerbuan itu, apalagi memerintahkan," tutur Indra Sahnum Lubis, pengacara Gubernur DKI itu. Indra Sahnum tidak membantah kehadiran Sutiyoso di lokasi kejadian, tapi itu sebatas "mengawasi dan mendukung polisi dalam rangka pengamanan". Posma Siahaan, pengacara Yorrys yang lain, bersikeras Sutiyoso terlibat. "Boleh saja dia bicara seperti itu, tapi hasil penyidikan yang akan membuktikan," katanya. Bagaimana dengan hasil penyelidikan polisi sendiri? Polisi memang meyakini Yorrys hanya sekadar operator lapangan. Tidak tertutup kemungkinan ada petinggi TNI berada di belakang aksi tersebut." Kami memang meyakini hal itu dari dulu," ujar Kadispen Polri Brigjen Dadang Garnida. Meski polisi yakin soal itu, hingga kini tidak satu pun mantan jenderal yang diberi status tersangka. Semua tentara ataupun polisi, yang diduga ikut terlibat dalam tragedi yang menewaskan sedikitnya lima orang itu, dipanggil hanya sebatas sebagai saksi. Salah satunya Letjen (purn.) Syarwan Hamid, mantan Kasospol ABRI ketika itu, yang rencananya akan dipanggil pekan ini. Di sisi lain, panggilan yang sudah dikeluarkan polisi acap kali juga kurang dihargai anggota TNI. Di samping Kolonel Haryanto, dua perwira dan satu bintara TNI—semuanya staf Kodam—juga pernah dipanggil polisi, tapi semuanya tidak hadir. "Kalau dipanggil sebanyak tiga kali mereka belum juga datang, polisi dapat memaksa mereka sesuai dengan KUHP," ujar Dadang Garnida. Mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA), Mayjen Syamsir Siregar, akhirnya datang ke Mabes Polri, pekan silam, setelah sebelumnya tidak hadir dengan alasan tak menerima surat panggilan. Syamsir diperiksa selama 10 jam dalam kaitan dengan kesaksian Alex Widya, salah satu tersangka, yang menyebutnya sebagai pengatur pertemuan Soerjadi cs dengan pimpinan ABRI di markas BIA. Syamsir membantah tudingan. "Semua itu bohong. Tidak ada pertemuan antara petinggi ABRI dan Soerjadi di BIA," ia menegaskan. Meski begitu, Syamsir tidak membantah pernah ikut dalam sebuah pertemuan di Hotel Regent, Jakarta, yang mempertemukannya dengan Soerjadi, Buttu Hutapea, dan Fatimah Ahmad. "Saya diundang Syarwan Hamid untuk diperkenalkan dengan pengurus PDI hasil kongres Medan," ujarnya. Syamsir justru menyebut dirinya sebagai korban Kasus 27 Juli. "Saya dicopot dari BIA seminggu setelah terjadinya penyerbuan," ujarnya. "Saya dituduh melindungi Partai Rakyat Demokratik. Tapi itu fitnah belaka." PRD adalah partainya anak-anak muda yang sempat dituding "berhaluan kiri" dan belakangan dituduh berada di balik kerusuhan menyusul penyerbuan kantor PDI itu. Siapa yang memfitnah? "Pokoknya jenderal yang dekat dengan Pak Harto dan berurusan dengan politik," katanya. Tragedi 27 Juli, di samping mewakili tradisi lama Orde Baru untuk senantiasa mengebiri partai-partai politik, juga memperlihatkan konflik internal di tubuh militer, seperti diisyaratkan oleh Syamsir. Keterlibatan militer dalam urusan politik bukanlah hal aneh di masa lalu. Dan dalam konteks itu, Soerjadi atau Yorrys merupakan bidak kecil—yang siap dikorbankan—dalam papan catur besar politik Orde Baru. Namun, Yorrys tak rela begitu saja dikorbankan. Para pengacaranya siap menggugat balik polisi melalui praperadilan karena mereka menilai proses penahanan kliennya tidak sah. Yorrys, kata mereka, dipanggil tidak dalam status tersangka. Johan Budi S.P., Setiyardi, Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus