Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Gustamar, dulu pemuda tampan

Gustamar, 27,penduduk jorong, tanah datar, sumatera barat, pemuda tampan yang patah hati & sakit jiwa, dipasung dalam sebuah gubug reot selama 10 tahun. belum ada perhatian dari badan-badan sosial. (ils)

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK jorong Calogandang selalu tenang-tenang saja adanya. Waktu mereka sehari-hari selalu disita kesibukan bertani atau bergelut dengan tanah liat untuk bahan tembikar yang biasa mereka jual sebagai penambah penghasilan. Penduduk jorong (kelurahan) di kawasan Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar (Sumatera Barat) itu barangkali juga sudah melupakan nama Gustamar. Anak manusia yang satu ini lahir sekitar 27 tahun yang lalu, di desa yang terletak lebih kurang 10 Km sebelah barat kota Batusangkar itu. Ia tumbuh sebagai pemuda tampan dan banyak disenangi handai tolan. Suatu ketika pemuda Gustamar terpikat pada sandiwara klasik Minang Randai. Melalui latihan-latihan dari Sutan Berbangso--yang kini menjadi Wali Jorong Galogandang--bersama kawan-kawannya ia diterima menjadi anggota klub Randai Tiga Dara yang ada di desanya. Bahkan si pemuda yang tampan dan selalu memikat hati teman-temannya itu dalam tiap kesempatan selalu memegang peran utama dalam cerita lama tadi. Randai Tiga Dara sempat pula melakukan pertunjukan di beberapa kota, bahkan sampai ke kota Padang. Dalam sebuah pertunjukan di beberapa tempat itulah, Gustamar sempat berkenalan dengan seorang gadis. Teman-temannya yang kemudian menuturkan hal ini, lebih lanjut mengungkapkan bahwa antara si gadis dengan aktor utama Randai Tiga Dara itu saling jatuh hati. Lalu tak lama kemudian cepat tertiup bahwa hubungan keduanya akan segera dilanjutkan dengan perkawinan. Tapi entah bagaimana kisah cinta itu tiba-tiba terputus. Kata sementara temannya pemuda Gustamar terlalu berani mendekati pacarnya sehingga fihak orang tua si gadis tak menyetujuinya. Sebagai laiknya kisah lama, maka patah hatilah Gustamar. Waita Daramah Sejak peristiwa itu perangai Gustamar berubah. Banyak orang desanya menyaksikan ia sering marah secara tiba-tiba, berteriak-teriak sepanjang jalan dian melempar ke sana-sini. Tak jarang orang menyaksikan berhari-hari dan bermalam-malam Gustamar menyusuri sungai sambil berbincang-bincang dengan dirinya sendiri. Tapi lebih dari itu, ulahnya telah menyebabkan kerugian warga desa. Entah karena kaca rumah mereka ia pecahi atau tumbuh-tumbuhan yang ia pangkas seenaknya. Tak ayal lagi kemarahan penduduk desa kerap dialamatkan kepada sanak keluarga terdekat pemuda itu. Akhirnya suatu ketika seorang pamannya mengambil keputusan: Gustamar diikat pada tiang rumah agar dia tidak berkeliaran ke mana-mana. Sementara itu, Daramah, ibu Gustamar, perempuan tua yang miskin dan telah ditinggal mati oleh kedua suaminya, tak tinggal diam. Di mana ada terdengar dukun ke sanalah ia menyampaikan hajat akan kesembuhan putera tunggalnya itu. Hidup Daramah yang miskin makin bertambah tiada karena harus membayar ongkos dan segala syarat dari si dukun. Tapi tak satupun membawa hasil. Malahan menurut penglihatan sementara penduduk desa penyakit syaraf Gustamar semakin parah. Suatu ketika rumah Daramah yang memang sudah usang itu roboh. Babak baru dalam kehidupan Gustamar dimulai: sebuah gubuk dibangun beberapa meter di belakang rumah ibunya. Dan di dalam gubuk inilah dia dipasung. Sebelah dari kakinya diapitkan di antara dua buah balok kayu yang sengaja diberi lubang seukuran dengan besar pergelangan kakinya. Kedua balok itupun dipaku rapat. Tindakan ini dimaksudkan agar sipemuda Gustamar tak dapat pergi ke mana-mana. Wanita Daramah dengan sabar mengantarkan sepiring nasi untuk anaknya di gubuk yang sepi itu. Semua ini bermula pada tahun 1965. Dan selama waktu itu pula penduduk desa Calogandang seakan telah melupakan Gustamar, pemuda yang dulu tampan, pemuda yang pernah membawa harum nama desa lewat pertunjukan randai ke berbagai tempat. Suara pemuda itu yang sering melolong-lolong minta dikasihani terlewat begitu saja dari telinga penduduk kampung. Ada juga beberapa orang yang merasa belas kasihan melihatnya, namun hanya sampai pada saran agar membunuhnya saja supaya tidak terlalu lama menderita. "Tapi tak sampai hati kami membunuhnya, biar ajal sajalah yang akan menentukan nasib Gustamar", tutur wanita Daramah. Cabik-Cabik Tapi entah mengapa awal Nopember baru lalu, ada orang yang sempat memotret Gustamar dalam pasungannya. Lebih sepuluh tahun keadaannya sudah amat berubah. Badannya benar-benar tanpa daging, suaranya hampir tak terdengar lagi. Selembar kain sarung penutup tubuhnya agaknya adalah juga pakaian yang melekat pada tubuhnya pada saat permulaan ia dipasung. Dan sekarang telah cabik-cabik, tanpa warna yang nyata lagi. Cubuk itu juga sudah tiris, hampir tiada berdinding lagi dan siap roboh. Bau tubuhnya pun sudah tak sepadan lagi dengan yang seharusnya menguap dari tubuh anak manusia. Lebih dari semuanya tubuh itu sudah sulit dikenali sebagai pemuda Gustamar yang dulu. Pemasungan agaknya masih merupakan cara yang lazim terhadap para penderita gangguan syaraf di kawasan Sumatera Barat - setidak-tidaknya hingga 10 tahun lewat ketika pusat-pusat kesehatan masyarakat belum banyak dikenal di daerah ini. Meskipun pemasungan ini sifatnya hanya untuk pengamanan sementara, namun biasanya keadaan si penderita bertambah parah. Dan umumnya meninggal dunia. Sejak Gustamar berada dalam pasungan lebih 10 tahun lalu saja, di wilayah itu telah tercatat 2 orang juga yang mengalami nasib serupa. Tapi keduanya meninggal dalam pasungan. Adapun halnya Gustamar, tampaknya belum ada usaha-usaha untuk menolongnya, baik dari fihak badan sosial maupun instansi-instansi pemerintah setempat. Wanita Daramah sendiri agaknya merasa berat hati menyerabkan anaknya ke rumah sakit terdekat, tentu dengan alasan kemampuan biaya yang tiada padanya. Lebih-lebih lagi setelah usahanya untuk meminta pertolongan lewat badan-badan sosial setempat agar sudi membantu pengobatan puteranya secara medis ditolak secara tegas belum lama ini. "Tidak ada yang akan mengurus", begitu jawaban yang diterima Daramah nan miskin. Nah, apakah artinya ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus