PENDUDUK jorong Calogandang selalu tenang-tenang saja adanya.
Waktu mereka sehari-hari selalu disita kesibukan bertani atau
bergelut dengan tanah liat untuk bahan tembikar yang biasa
mereka jual sebagai penambah penghasilan. Penduduk jorong
(kelurahan) di kawasan Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar
(Sumatera Barat) itu barangkali juga sudah melupakan nama
Gustamar. Anak manusia yang satu ini lahir sekitar 27 tahun yang
lalu, di desa yang terletak lebih kurang 10 Km sebelah barat
kota Batusangkar itu. Ia tumbuh sebagai pemuda tampan dan banyak
disenangi handai tolan.
Suatu ketika pemuda Gustamar terpikat pada sandiwara klasik
Minang Randai. Melalui latihan-latihan dari Sutan
Berbangso--yang kini menjadi Wali Jorong Galogandang--bersama
kawan-kawannya ia diterima menjadi anggota klub Randai Tiga Dara
yang ada di desanya. Bahkan si pemuda yang tampan dan selalu
memikat hati teman-temannya itu dalam tiap kesempatan selalu
memegang peran utama dalam cerita lama tadi. Randai Tiga Dara
sempat pula melakukan pertunjukan di beberapa kota, bahkan
sampai ke kota Padang.
Dalam sebuah pertunjukan di beberapa tempat itulah, Gustamar
sempat berkenalan dengan seorang gadis. Teman-temannya yang
kemudian menuturkan hal ini, lebih lanjut mengungkapkan bahwa
antara si gadis dengan aktor utama Randai Tiga Dara itu saling
jatuh hati. Lalu tak lama kemudian cepat tertiup bahwa hubungan
keduanya akan segera dilanjutkan dengan perkawinan. Tapi entah
bagaimana kisah cinta itu tiba-tiba terputus. Kata sementara
temannya pemuda Gustamar terlalu berani mendekati pacarnya
sehingga fihak orang tua si gadis tak menyetujuinya. Sebagai
laiknya kisah lama, maka patah hatilah Gustamar.
Waita Daramah
Sejak peristiwa itu perangai Gustamar berubah. Banyak orang
desanya menyaksikan ia sering marah secara tiba-tiba,
berteriak-teriak sepanjang jalan dian melempar ke sana-sini. Tak
jarang orang menyaksikan berhari-hari dan bermalam-malam
Gustamar menyusuri sungai sambil berbincang-bincang dengan
dirinya sendiri. Tapi lebih dari itu, ulahnya telah menyebabkan
kerugian warga desa. Entah karena kaca rumah mereka ia pecahi
atau tumbuh-tumbuhan yang ia pangkas seenaknya. Tak ayal lagi
kemarahan penduduk desa kerap dialamatkan kepada sanak keluarga
terdekat pemuda itu.
Akhirnya suatu ketika seorang pamannya mengambil keputusan:
Gustamar diikat pada tiang rumah agar dia tidak berkeliaran ke
mana-mana. Sementara itu, Daramah, ibu Gustamar, perempuan tua
yang miskin dan telah ditinggal mati oleh kedua suaminya, tak
tinggal diam. Di mana ada terdengar dukun ke sanalah ia
menyampaikan hajat akan kesembuhan putera tunggalnya itu. Hidup
Daramah yang miskin makin bertambah tiada karena harus membayar
ongkos dan segala syarat dari si dukun. Tapi tak satupun membawa
hasil. Malahan menurut penglihatan sementara penduduk desa
penyakit syaraf Gustamar semakin parah.
Suatu ketika rumah Daramah yang memang sudah usang itu roboh.
Babak baru dalam kehidupan Gustamar dimulai: sebuah gubuk
dibangun beberapa meter di belakang rumah ibunya. Dan di dalam
gubuk inilah dia dipasung. Sebelah dari kakinya diapitkan di
antara dua buah balok kayu yang sengaja diberi lubang seukuran
dengan besar pergelangan kakinya. Kedua balok itupun dipaku
rapat. Tindakan ini dimaksudkan agar sipemuda Gustamar tak dapat
pergi ke mana-mana. Wanita Daramah dengan sabar mengantarkan
sepiring nasi untuk anaknya di gubuk yang sepi itu. Semua ini
bermula pada tahun 1965. Dan selama waktu itu pula penduduk desa
Calogandang seakan telah melupakan Gustamar, pemuda yang dulu
tampan, pemuda yang pernah membawa harum nama desa lewat
pertunjukan randai ke berbagai tempat. Suara pemuda itu yang
sering melolong-lolong minta dikasihani terlewat begitu saja
dari telinga penduduk kampung. Ada juga beberapa orang yang
merasa belas kasihan melihatnya, namun hanya sampai pada saran
agar membunuhnya saja supaya tidak terlalu lama menderita. "Tapi
tak sampai hati kami membunuhnya, biar ajal sajalah yang akan
menentukan nasib Gustamar", tutur wanita Daramah.
Cabik-Cabik
Tapi entah mengapa awal Nopember baru lalu, ada orang yang
sempat memotret Gustamar dalam pasungannya. Lebih sepuluh tahun
keadaannya sudah amat berubah. Badannya benar-benar tanpa
daging, suaranya hampir tak terdengar lagi. Selembar kain sarung
penutup tubuhnya agaknya adalah juga pakaian yang melekat pada
tubuhnya pada saat permulaan ia dipasung. Dan sekarang telah
cabik-cabik, tanpa warna yang nyata lagi. Cubuk itu juga sudah
tiris, hampir tiada berdinding lagi dan siap roboh. Bau tubuhnya
pun sudah tak sepadan lagi dengan yang seharusnya menguap dari
tubuh anak manusia. Lebih dari semuanya tubuh itu sudah sulit
dikenali sebagai pemuda Gustamar yang dulu.
Pemasungan agaknya masih merupakan cara yang lazim terhadap para
penderita gangguan syaraf di kawasan Sumatera Barat -
setidak-tidaknya hingga 10 tahun lewat ketika pusat-pusat
kesehatan masyarakat belum banyak dikenal di daerah ini.
Meskipun pemasungan ini sifatnya hanya untuk pengamanan
sementara, namun biasanya keadaan si penderita bertambah parah.
Dan umumnya meninggal dunia. Sejak Gustamar berada dalam
pasungan lebih 10 tahun lalu saja, di wilayah itu telah tercatat
2 orang juga yang mengalami nasib serupa. Tapi keduanya
meninggal dalam pasungan.
Adapun halnya Gustamar, tampaknya belum ada usaha-usaha untuk
menolongnya, baik dari fihak badan sosial maupun
instansi-instansi pemerintah setempat. Wanita Daramah sendiri
agaknya merasa berat hati menyerabkan anaknya ke rumah sakit
terdekat, tentu dengan alasan kemampuan biaya yang tiada
padanya. Lebih-lebih lagi setelah usahanya untuk meminta
pertolongan lewat badan-badan sosial setempat agar sudi membantu
pengobatan puteranya secara medis ditolak secara tegas belum
lama ini. "Tidak ada yang akan mengurus", begitu jawaban yang
diterima Daramah nan miskin. Nah, apakah artinya ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini