Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Murid-Murid Itu Jadi Kenek

Kasus putus sekolah banyak terjadi di kab. asahan, sum-ut. anak-anak keluar dari sekolah untuk membantu orang tuanya, yang bekerja di perkebunan kelapa sawit/karet. ditanggulangi dengan penghapusan spp.

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALIPUN dibangun 16 ribu SD Inpres, masalah kekurangan bangku sekolah di tingkat itu nampaknya masih akan dihadapi pada tahun ajaran yang akan datang ini. Beberapa kota di Jawa Barat masih akan mencatat ribuan murid SD bakal tak kebagian bangku. Jakarta saja mencatat 10 ribu lebih calon murid SD yang tidak akan tertampung tahun depan ini. Karena itu usaha menambah gedung yang dilakukan pada tahun-tahun terakhir ini, segera diikuti dengan kebijaksanaan menghapus SPP untuk tiga kelas pertama SD mulai tahun depan. Dengan begitu target 85% anak usia SD bersekolah, diharapkan bisa disapai pada akhir Pelita II ini. Namun penghapusan SPP, menurut Prof. Dr. Setijadi, tidak semata-mata dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah anak masuk SD. "Tapi bagaimana agar mereka yang sudah di bangku SD bisa menyelesaikan pelajarannya sampai tamat", ucap Ketua Badan Perencanaan Pembinaan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) P & K. Menurut catatan yang ada hanya 40% saja yang berhasil tamat SD. Selebihnya putus di tengah jalan dengan berbagai alasan. Ada yang memang tidak kuat bayar SPP. Bahkan di desa kasus putus sekolah yang terjadi sering karena harus membantu orang tua bekera. Kelompok putus sekolah yang terakhir ini terdapat hampir di setiap daerah. Di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, kasus serupa itu cenderung meningkat. Di Air Batu sudah 790 murid yang putus sekolah dari sejumlah 5 ribu lebih murid yang terdapat di kecamatan itu. Sementara di kecamatan Pulau Raja, dari sejumlah hampir 7 ribu murid yang ada 1.096 di antaranya terpaksa keluar dari sekolah. Sehingga tiap sekolah setiap bulannya, rata-rata menghasilkan tiga murid putus sekolah. Gejala serupa itu semakin deras, dan menyebabkan 505 SD negeri dan swasta di Kabupaten tersebut terancam kosong. Di SD Negeri 11 Pulau Raja misalnya kelas VI-nya kini hanya memiliki seorang murid saja. "Bayangkan satu orang guru harus mengajar eorang murid saja, sedih bukan", ucap M. Nuh Hasibuan, Kepala Kandep P & K Kabupaten Asahan. Ngablun Kesedihan Nuh tentu saja bukan tanpa sebab. Daerah yang kebanyakan orang tua muridnya karyawan perkebunan itu (kelapa sawit dan karet) terpaksa mengeluarkan anak-anaknya dari sekolah untuk membantunya bekerja. Dengan menjadikan anak-anaknya sebagai kenek untuk memotong dan mengangkut kelapa sawit dari kebun ke pinggir jalan dan kemudian ke pabrik, jatah pekerjaan yang sudah ditentukan per harinya bisa diselesaikan. Karena seorang karyawan yang dapat jatah 1.200 janjang (tandan kelapa sawit) per minggu misalnya, bila tidak selesai, pada akhir bulan akan dituduh ngablun. Artinya gaji yang mesti diterima akan dipotong sesuai dengan sisa yang belum terpenuhi. "Bayangkan saja, sedang tanpa dipotong saja gaji si buruh hanya Rp 192,50 per hari", ucap Jahuddin Sitorus, Ketua FBSI di sana. Kadri, buruh rendah pemotong kelapa sawit perkebunan PT Socfindo Aek Loba, terpaksa mengeluarkan ketiga anaknya dari sekolah agar tidak dituduh ngablun. "Tanpa bantuan anak-anak saya jatah 100 janjang tidak akan terpenuhi", katanya. Sementara Tukiman teman Kadri pun terpaksa mengambil kebijaksanaan yang sama. Dua anaknya yang masih bersekolah dijadikan kenek. "Dari pada ayah dipecat lebih baik saya bantu", ucap Suharmo (8 tahun), anak Tukiman. Gejala yang agaknya merisaukan banyak fihak itu, dimulai ketika usaha menaikkan produksi secara berlebihan dilakukan oleh perusahaan perkebunan baik milik pemerintah maupun swasta, dua tahun terakhir ini. Sistim target menyebabkan pekeraan yang mesti dipikul para karyawan sering-sering melebihi kemampuannya. Akibatnya anak-anak karyawan ikut kena getahnya. Padahal dalam peraturan, menurut Sunaryo Safri, Sekertaris FBSI, ada larangan tegas mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun. "Karena itu Depnaker lah yang punya kompetensi", ujar Sunaryo. Maksudnya tindakan berupa pencabutan izin pemakaian tenaga kerja di bawah umur bisa dilakukan oleh Kantor Tenaga Kerja. Cara yang diusulkan itu pasti bisa dilakukan. Sepanjang tidak ada faktor lain yang mempengaruhi. Misalnya berakibat buruk bagi orang tua anak-anak itu. Anak-anak itu mesti bersekolah bukan'?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus