SEKALIPUN dibangun 16 ribu SD Inpres, masalah kekurangan bangku
sekolah di tingkat itu nampaknya masih akan dihadapi pada tahun
ajaran yang akan datang ini. Beberapa kota di Jawa Barat masih
akan mencatat ribuan murid SD bakal tak kebagian bangku. Jakarta
saja mencatat 10 ribu lebih calon murid SD yang tidak akan
tertampung tahun depan ini. Karena itu usaha menambah gedung
yang dilakukan pada tahun-tahun terakhir ini, segera diikuti
dengan kebijaksanaan menghapus SPP untuk tiga kelas pertama SD
mulai tahun depan. Dengan begitu target 85% anak usia SD
bersekolah, diharapkan bisa disapai pada akhir Pelita II ini.
Namun penghapusan SPP, menurut Prof. Dr. Setijadi, tidak
semata-mata dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah anak masuk SD.
"Tapi bagaimana agar mereka yang sudah di bangku SD bisa
menyelesaikan pelajarannya sampai tamat", ucap Ketua Badan
Perencanaan Pembinaan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) P & K.
Menurut catatan yang ada hanya 40% saja yang berhasil tamat SD.
Selebihnya putus di tengah jalan dengan berbagai alasan. Ada
yang memang tidak kuat bayar SPP. Bahkan di desa kasus putus
sekolah yang terjadi sering karena harus membantu orang tua
bekera.
Kelompok putus sekolah yang terakhir ini terdapat hampir di
setiap daerah. Di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, kasus serupa
itu cenderung meningkat. Di Air Batu sudah 790 murid yang putus
sekolah dari sejumlah 5 ribu lebih murid yang terdapat di
kecamatan itu. Sementara di kecamatan Pulau Raja, dari sejumlah
hampir 7 ribu murid yang ada 1.096 di antaranya terpaksa keluar
dari sekolah. Sehingga tiap sekolah setiap bulannya, rata-rata
menghasilkan tiga murid putus sekolah. Gejala serupa itu semakin
deras, dan menyebabkan 505 SD negeri dan swasta di Kabupaten
tersebut terancam kosong. Di SD Negeri 11 Pulau Raja misalnya
kelas VI-nya kini hanya memiliki seorang murid saja. "Bayangkan
satu orang guru harus mengajar eorang murid saja, sedih bukan",
ucap M. Nuh Hasibuan, Kepala Kandep P & K Kabupaten Asahan.
Ngablun
Kesedihan Nuh tentu saja bukan tanpa sebab. Daerah yang
kebanyakan orang tua muridnya karyawan perkebunan itu (kelapa
sawit dan karet) terpaksa mengeluarkan anak-anaknya dari sekolah
untuk membantunya bekerja. Dengan menjadikan anak-anaknya
sebagai kenek untuk memotong dan mengangkut kelapa sawit dari
kebun ke pinggir jalan dan kemudian ke pabrik, jatah pekerjaan
yang sudah ditentukan per harinya bisa diselesaikan. Karena
seorang karyawan yang dapat jatah 1.200 janjang (tandan kelapa
sawit) per minggu misalnya, bila tidak selesai, pada akhir bulan
akan dituduh ngablun. Artinya gaji yang mesti diterima akan
dipotong sesuai dengan sisa yang belum terpenuhi. "Bayangkan
saja, sedang tanpa dipotong saja gaji si buruh hanya Rp 192,50
per hari", ucap Jahuddin Sitorus, Ketua FBSI di sana.
Kadri, buruh rendah pemotong kelapa sawit perkebunan PT Socfindo
Aek Loba, terpaksa mengeluarkan ketiga anaknya dari sekolah agar
tidak dituduh ngablun. "Tanpa bantuan anak-anak saya jatah 100
janjang tidak akan terpenuhi", katanya. Sementara Tukiman teman
Kadri pun terpaksa mengambil kebijaksanaan yang sama. Dua
anaknya yang masih bersekolah dijadikan kenek. "Dari pada ayah
dipecat lebih baik saya bantu", ucap Suharmo (8 tahun), anak
Tukiman.
Gejala yang agaknya merisaukan banyak fihak itu, dimulai ketika
usaha menaikkan produksi secara berlebihan dilakukan oleh
perusahaan perkebunan baik milik pemerintah maupun swasta, dua
tahun terakhir ini. Sistim target menyebabkan pekeraan yang
mesti dipikul para karyawan sering-sering melebihi kemampuannya.
Akibatnya anak-anak karyawan ikut kena getahnya. Padahal dalam
peraturan, menurut Sunaryo Safri, Sekertaris FBSI, ada larangan
tegas mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun. "Karena itu
Depnaker lah yang punya kompetensi", ujar Sunaryo. Maksudnya
tindakan berupa pencabutan izin pemakaian tenaga kerja di bawah
umur bisa dilakukan oleh Kantor Tenaga Kerja. Cara yang
diusulkan itu pasti bisa dilakukan. Sepanjang tidak ada faktor
lain yang mempengaruhi. Misalnya berakibat buruk bagi orang tua
anak-anak itu. Anak-anak itu mesti bersekolah bukan'?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini