BILA sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang
yang berbahagia". Itulah kalimat Goethe yang paling
menyenangkan, semenjak saya coba membaca riwayatnya beberapa
tahun lalu. Ucapan itu baru-baru ini menjadi hidup lgi dalam
kepalaku. Bagaimana tidak?
Hari itu siang bolong, hari amat panas dengan suhu Jakarta pada
maximum. Kantor redaksi majalah itu sepi-sepi saja. Hampir semua
reporter tugas-luar. Dengan ragu-ragu, teman diskusi, seorang
wartawan mengajukan pertanyaan yang sejak tadi hilang-timbul di
sudut matanya. Dalam nada yang aneh: "Bung, menurut bung, adakah
kemungkinan manusia berbahagia?" Saya juga pernah risau dengan
soal tersebut, tetapi segera lupa begitu saja. Kesibukan mencari
duit dan sesuap nasi merenggut saya keluar dari renungan
semuskil itu. Apalagi tanpa duit, agak bingung rasanya bagaimana
akan berbahagia di Jakarta.
Tetapi teman wartawan itu nampak bertekun. "Saya kok obsesi
benar! Seandainya kita tak mungkin berbahagia, buat apa harus
begitu banyak berkorban?" Dan dia mulai berbicara tentang Mao.
Tokoh almarhum ini kabarnya mencita-cita kan lahirnya Marusia
Baru, suatu ungkapan yang sering juga saya dengar dalam
pelajaran agama di Sekolah Menengah. Menurut Mao, rakyat RRC
harus dididik untuk tidak mudah tergoda oleh materialisme--atau
menurut teman saya - tidak mudah terpancing oleh
keinginan-keinginan daging. Seingat saya, cita-cita itu pernah
dianjurkan oleh Gandhi dan Kristus, dan saya tak tahu - mungkin
juga oleh beberapa penganjur lain dalam sejarah. Dan sahabat
saya berbisik risau setiap kali: "Mungkinkah ada masa di mana
manusia tak begitu serakah, tidak dilanda banjir kerakusan yang
bukan-bukan?" Mao misalnya mendidik rakyatnya bekerja keras
sekali tanpa suatu hak milik atas tanah. Rasanya rada kelewatan.
Tetapi demikianlah titah sang Maha-Pemimpin, dan Tiongkok
seperti mengalami hari penciptaan kedua. Kelaparan
pupus-menyingkir dari daratan Cina.
Bagaimanapun pokok soal tinggal yang sama. Mao ternyata sukses,
seperti juga Firaun Mesir sukses membangun Piramid di Giza.
Hanya tidakkah rakyat harus berkorban terlalu banyak?
***
Bagi banyak orang, Mao menimbulkan kegemparan besar, baik dalam
keyakinan maupun dalam cara-fikir. Bisa timbu kesan: manusia
ternyata selalu dapat menyesuaikan diri, tanpa batas, tanpa
sisa. Kalau seorang anak Semarang belajar teknik ke Jerman
Barat, maka dia akan butuh beberapa hari untuk menyesuaikan
diri dengan hawa di sana, beberapa minggu untuk menyesuaikan
perutnya dengan makanan di sana, beberapa bulan untuk menguasai
bahasa percakapan di sana dan beberapa tahun untuk bisa faham
cara-fikir dan ada-istiadatnya. Jadi apa yang disusahkan?
Kalau sekelompok rakyat diharuskan takluk pada suatu sistim
politik, mereka juga niscaya akan sanggup menyesuaikan dirinya
dengan sistim itu--atau sistim apa saja - asal pemerintahnya
cukup kuat untuk meng-enforce-kan pelaksanaan sistim tersebut.
Dan selesailah soalnya: masuk kandang kambing mengembik.
***
Pada tahap penjelasan dan reasoring ini, perasaan saya jadi
repot. Kalau benar misalnya bahwa manusia semata-mata mahluk
yang adaptik dalam seluruh seginya, maka apa yang bernama
kodrat, martabat, human condition, das Sollen dan sebagainya,
hanya dusta dan bual orang-orang pintar. Menurut jalan fikiran
di atas, apa yang dinamakan kodrat manusia - dari mana berasal
hak-hak azasi manusia -- sebelumnya omongkosong. Kalau pun ada
kodrat, maka kodrat manusia adalah adaptasi. Karena itu kita
sebetulnya tak punya alasan sungguhan yang benar-benar asasi
untuk menentang kolonialisme. Kita hanya harus menyesuaikan
diri, dan cepat atau lambat kita akan betah juga berada di
bawahi sayap penjajahan asing. Lalu mengapa perang kemerdekaan?
Dan 10 Nopember di Surabaya? Barangkali karena pemerintah
Belanda dan Sekutu pada waktu itu kurang kuat memaksa Amerika
Serikat kiranya boleh dipandang sebagai "orang kuat". Kuat juga
dalam seluruh perlengkapan yang mendukung sistim politiknya:
komunikasi, senjata, dollar, diplomasi, logistik bahkan persuasi
dan pengalaman. Ternyata dia tumbang di Vietnam. Dan Rusia,
mengapa dia tak cukup kuat memaksakan seorang Solzhenitsyn
menyesuaikan diri dengan kehendak partai Komunis?
Bagi saya segi praktis yang membuat bergidik adalah: kalau kita
tak punya suatu apa yang bernama kodrat, martabat (atau apalah
namanya), kita niscaya tak mempunyai alasan dasar untuk menolak,
bila sekali kelak akan ada (semoga dihindarkan Tuhan kiranya!)
suatu sistim yang lalim. Yang hendak dipaksakan ke atas
Indonesia.
**
Kembali ke soal Mao: dengan dasar manakah Mao berhak memaksakan
800 juta manusia bertekuk lutut di depan kehendaknya? Bukankah
hanya karena de facto dia berkuasa dan amat berkuasa? Rakyat
seakan mengorbankan segala sesuatunya (hak, kegembiraan,
kebebasan dan lain-lain) demi mewujudkan cita-cita sang
Pemimpin, sementara dunia dengan rasa kagum menyampaikan salut
karena 800 juta perut tidak lagi diancam rasa lapar. Namun saya
tak dapat membayangkan bagaimana bisa berhitung dengan kelaparan
jiwa yang dikorbankan. Demi apa ya sebetulnya? Sistim Mao kukuh
seperti Tembok Besar yang melindungi RRC dari luar. Tetapi siapa
bisa memastikan bahwa sistim itu bisa menjadi baluarti untuk
meringkus hati nurani yang bebas dan menaklukan yang bernama
martabat?
Dalam percakapan pribadi dengan Prof. De Vries--rektor pertama
IPB, sekarang mahaguru universitas Pittsburg-baru-baru ini, dia
membicarakan tentang perlunya Indonesia memperhatikan juga suatu
rencana kebudayaan, yang memikirkan bagaimana secara konkrit
dijaga, dikembangkan dan diperluas nilai-nilai yang menunjang
martabat manusia. Saya tak menjamin bahwa saya faham sekalian
yang dikatakannya, tetapi rasanya tertangkap juga beberapa
bayangan maksudnya, yang masih memerlukan waktu dan pengalaman
untuk disingkapkan lebih jelas. Di hati saya berfikir, persoalan
kebudayaan kita dari segi ini mungkin berarti: bagaimana
mengusahakan agar supaya sambil berikhtiar memperbaiki seluruh
nasibnya, tiap orang bisa berbahagia dengan keadaannya
masing-masing, karena terjaga martabatnya.
Ada teman lain alumnus pesantren Pondok Gontor berkunjung ke
tempat saya. Setelah percakapan jadi asyik, saya akhirnya
bertanya apa kiranya yang menurut dia paling khas diberikan oleh
Pondok Gontor bagi perkembangan dirinya. "Ada satu utang budi"
dia menjawab tanpa pikir, "sekarang saya merasa mampu untuk
hidup di mana saja dengan rasa senang. Di pesantren saya belajar
menghargai dan dihargai orang". Dengan pasti saya dapat meraba
bahwa di balik penghargaan yang disebutnya itu adalah martabat
manusia.
Ada sebuah ucapan Mao yang amat terkenal: "Politik keluar dari
laras senapan". Seorang pengagumnya baru-baru ini di Amerika
Serikat bahkan menyatakan: "Moral keluar dari mulut senapan".
Dalam khayal saya, muncul kantor majalah itu. Terdengar suara
setengah memberontak: mungkinkah kita berbahagia? Hari ini tak
dapat saya bayangkan untuk menjawabnya dengan parafrase lain
dari ucapan Mao: kebahagiaan keluar dari mulut senapan.
Bagi saya Goethe lebih menyenangkan, dan barangkali lebih benar.
"Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang
yang berbahagia". Dan Goethe menurut kisahnya sendiri merasakan
kebahagiaan yang sepenuhnya, ketika dia diam diam melarikan diri
dari istana Weimar, turun dari negeri utara ke Italia dan
mengadakan pengembaraan di sana di negeri "kebebasan dan
penemuan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini