KEANEKA-RAGAMAN pengaturan mengenai pemerintahan desa, kini
sudah tiada lagi. Hal itu berkat sudah diundangkannya UU No.
5/1979 sejak 1 Desember 1979 lalu. "Sekarang pengaturan mengenai
pemerintahan desa sudah seragam," kata Feisal, juru bicara
Departemen Dalam Negeri 17 Januari lalu.
Yang disebut seragam oleh Feisal adalah pengertian mengenai desa
dan kelurahan. Menurut UU tersebut desa ialah wilayah yang
ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat,
termasuk kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Sedang kelurahan: wilayah yang ditempati sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah
camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri. Kelurahan terletak di ibukota negara, ibukota provinsi
ibukota kabupaten, kotamadya kota administratif dan kota-kota
lain, sementara desa terletak di luar kota-kota tersebut.
Pelaksanaannya memang tak mudah. Sebab penyeragaman seperti
dimaksud UU tersebut sesungguhnya tidak mungkin dilaksanakan
secara serentak untuk seluruh desa/kelurahan yang jumlahnya
meliputi 68.875 buah itu. Dan tidak dengan sendirinya bahwa
dengan diundangkannya UU No. 5/1979 itu, sekaligus
desa/kelurahan di seluruh Indonesia sudah seragam.
Seperti disebut dalam penjelasan UU tersebut, penyeragaman itu
akan dilaksanakan secara bertahap. Hal itu mengingat banyaknya
perbedaan kualitatif yang terdapat pada desa-desa tersebut. Desa
di Jawa dan Bali tidak sama dengan kampung di Kalimantan atau
nagari di Sumatera Barat. "Sehingga tidaklah mungkin dalam waktu
yang singkat diperoleh keseragaman," begitu bunyi penjelasan
pasal 35 UU tersebut.
Tidak Campur Tangan
Sebelumnya memang ada UU No.19/ 1965 tentang Desa Praja tapi
dinyatakan tidak berlaku sejak 1969. Dan sementara belum ada UU
lain yang menggantikannya, tentu saja pengaturan pemerintahan
desa jadi semrawut. Apalagi warisan peraturan zaman Hindia
Belanda masih terasa. Yaitu Indlandsche Gemeente Ordonantie
(IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Indlandsche
emeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) yang berlaku untuk
luar Jawa dan Madura. Kedua peraturan perundang-undangan
tersebut mengatur pemerintahan desa secara tidak seragam.
Dalam penjelasan UUD 45 pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah
secara panjang lebar disebutkan bahwa di Indonesia terdapat
lebih kurang 250 desa adat, seperti desa di Jawa dan Bali,
nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Sumatera Selatan.
"Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara RI
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati
hak-hak asal-usul daerah tersebut," begitu bunyi penjelasan UUD
45 itu.
Tapi menurut Oka Mahendra dari F-KP, UU tentang Pemerintahan
Desa itu "hanya mengatur desa dari segi pemerintahannya saja"
(TEMPO, 27 Oktober 1979). Maksudnya, tidak campur tangan dalam
urusan adat-istiadat yang hidup di sesuatu wilayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini