Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab Mokhamad Khoirul Huda
SAYA mencatat hasil wawancara di majalah Tempo edisi 8-14 Juli 2024 berjudul “Skandal Guru Besar Abal-abal”. Saya mengajukan beberapa hal berikut ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Dalam tulisan “Skandal Profesor Para Pesohor” ada kalimat, “Dalam daftar asesor yang dicoret terdapat nama dosen Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya, Mokhamad Khoirul Huda”. Istilah dicoret memberikan konotasi negatif, seakan-akan bermakna diberhentikan tidak dengan hormat atau dipecat. Padahal saya secara resmi diangkat sebagai asesor pada 2021-2024. Selama menjalankan tugas asesor, saya bekerja secara profesional dan sesuai dengan aturan. Hingga hari ini, tidak ada surat pemberhentian atau surat pemecatan. Saya telah menjalankan tugas dengan baik dengan bukti sertifikat dari pelaksana tugas Direktur Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 17 Mei 2024. Itu menunjukkan saya telah bekerja dan berperan aktif dalam penilaian tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2. Ada kalimat, “Huda dan Ida adalah bagian dari tim penilai guru besar Universitas Lambung Mangkurat”. Dalam proses penilaian calon guru besar, Kementerian Pendidikan mewajibkan para asesor melakukan penilaian menggunakan sistem online. Tim penilai atau asesor guru besar terdiri atas dua orang yang ditentukan Kementerian Pendidikan. Yang bisa masuk sistem tersebut hanya para asesor. Di sistem tersebut muncul nama-nama calon guru besar yang akan dinilai dengan jangka waktu penilaian. Mengenai siapa yang dinilai dan asesor mana saja yang ikut dalam penilaian terhadap calon, itu tidak muncul dalam sistem. Di sistem hanya muncul daftar nama calon guru besar yang harus saya nilai. Saya tak mengetahui nama anggota tim asesor yang menjadi penilai kedua karena yang menentukan siapa penilai dan calon guru besar adalah Kementerian Pendidikan.
3. Mengenai jangka waktu penilaian terhadap para calon guru besar, sistem menyebutkan ada jangka waktu yang harus diselesaikan bagi asesor untuk menilai. Umumnya jangka waktu yang ditentukan maksimal tujuh hari. Apabila tidak diselesaikan dalam jangka waktu tujuh hari, nama-nama calon yang ada di sistem tersebut otomatis hilang. Hal inilah yang membuat saya harus menyediakan waktu ekstra untuk menilai para calon guru besar.
Mokhamad Khoirul Huda
Universitas Hang Tuah, Surabaya
Klarifikasi Universitas Pakuan
KAMI merasa perlu memberikan hak jawab terkait dengan berita di Tempo edisi 8-14 Juli 2024 yang mempermasalahkan proses pencalonan guru besar Sufmi Dasco Ahmad karena kami sebagai pihak yang mengusulkan guru besar tersebut di institusi kami. Kami perlu menyampaikan bahwa pencalonan Sufmi Dasco Ahmad menjdi guru besar sudah mengikuti prosedur yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan memenuhi semua persyaratan pengajuan permohonan guru besar. Berikut ini kronologinya.
1. Pengusulan Sufmi Dasco Ahmad cukup lama, sekitar tiga tahun, karena harus memenuhi persyaratan, terutama jumlah satuan kredit semester mengajar dan artikel yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi. Prosesnya tidak langsung diterima karena ada revisi tahap internal di Universitas Pakuan, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
2. Penilaian pengusulan gelar guru besar Sufmi Dasco Ahmad sudah melalui tiga tahap oleh tim penilai angka kredit Universitas Pakuan, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah 4, dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sufmi Dasco Ahmad telah melakukan revisi dalam setiap tahap evaluasi, termasuk tiga kali revisi di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi dan dua kali revisi di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semua proses normal. Permintaan revisi selalu segera dipenuhi dan tak ada intervensi.
3. Jabatan fungsional dosen adalah asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar. Permohonan lompat jabatan dari lektor ke guru besar dimungkinkan dan diatur dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit 2019. Sufmi Dasco Ahmad mengajukan permohonan lompat jabatan dari lektor ke guru besar. Syarat untuk lompat jabatan dari lektor ke guru besar adalah penerbitan empat artikel di jurnal internasional bereputasi. Beliau mengajukan lima artikel, meliputi dua artikel yang diterbitkan tiga tahun sebelum selesai pengusulan dan tiga artikel dalam tiga tahun proses pengusulan.
4. Dalam proses review, dari lima artikel tersebut, kalau ada satu artikel discontinued, perlu ditelusuri apakah jurnalnya discontinued setelah penetapan atau sebelumnya. Sufmi Dasco Ahmad mengajukan artikel baru sebagai revisi untuk artikel yang sudah discontinued sesuai dengan permintaan tim penilai.
5. Berdasarkan berita di Tempo, terdapat satu artikel yang terbit di jurnal volume 27, yang setelah dicek ternyata hanya sampai volume 20. Ini perlu diklarifikasi ke penerbit. Sebab, mungkin artikel masuk ke volume special issue yang aksesnya harus melalui permission dari penerbit. Banyak jurnal yang juga membuat edisi special issue.
6. Sufmi Dasco Ahmad mengajar sejak 2010 dan masuk ke Universitas Pakuan pada 2020 dengan nomor induk dosen nasional serta jabatan fungsional dari perguruan tinggi di Jakarta. Beliau pindah ke Universitas Pakuan karena di kampus sebelumnya tak ada program studi S-2 ilmu hukum. Beliau juga mengajar dan menjadi rektor di Universitas Kebangsaan, Bandung. Menjadi rektor setara dengan 10 poin setiap tahun. Daftar riwayat mengajar sejak 2010 yang belum ter-update di pangkalan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sudah diperbarui dan dapat dicek.
7. Lokasi pengukuhan di Sentul International Convention Center berkaitan dengan banyaknya jumlah tamu undangan. Acara tersebut dikhawatirkan mengganggu proses belajar dan mengajar apabila diselenggarakan di kampus.
Prof Dr Rer Pol Ir H Didik Notosudjono
Rektor Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat
Terima kasih. Klarifikasi Anda melengkapi penjelasan Sufmi Dasco Ahmad yang sudah kami tayangkan di artikel tersebut.
Hak Jawab Ida Nurlinda
MENANGGAPI pemberitaan majalah Tempo edisi 8-14 Juli 2024 berjudul “Skandal Para Profesor Pesohor”, saya menggunakan hak jawab berikut ini.
1. Di halaman 45, saya selaku anggota tim penilai angka kredit jabatan akademik dosen dituliskan, “telah mendapat sanksi dari Kemendikbudristek dalam kapasitas menjalankan tugas sebagai asesor dan telah dicoret dari daftar asesor”. Saya menyatakan hal tersebut tidak benar karena saya tidak pernah menerima surat atau dokumen apa pun yang menyatakan sanksi dan pencoretan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Saya saat ini sedang tidak ditugasi sebagai asesor karena masa berlaku Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 147/E/KPT/2022 tentang tim penilai angka kredit jabatan akademik dosen telah berakhir. Jadi semua anggota tim diberhentikan dengan hormat, bukan dicoret atau diberi sanksi berupa penghentian. Pelaksana tugas Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam surat bernomor 1649/E4/DT.04.01/2024 tertanggal 17 Mei 2024 menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada kami sebagai anggota tim penilai jabatan akademik dosen.
2. Pada halaman 45, Tempo juga menulis, “penilai yang dicoret membentuk jaringan dan cenderung meloloskan kandidat bermasalah”. Pernyataan ini sangat tendensius dan merusak kredibilitas saya. Saya tak pernah mengetahui nama penilai lain dalam menilai berkas kandidat karena nama kandidat yang dinilai telah tercantum dalam dashboard Sistem Penilaian Angka Kredit Dosen Kementerian Pendidikan yang hanya dapat diakses dengan menggunakan nama pengguna dan kata sandi penilai. Dashboard itu tak mencantumkan nama penilai lain, hanya nama saya. Jadi saya tak tahu berpasangan dengan siapa dalam melaksanakan penilaian.
3. Saya dihubungi wartawan Tempo pada 4 Juni 2024 untuk wawancara mengenai pencalonan guru besar Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Saya menolak karena mengetahui masalah tersebut sedang ditangani Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan. Bagi saya, tak patut menyampaikan suatu masalah kepada orang lain, dalam hal ini wartawan, ketika masalahnya sedang diinvestigasi Inspektorat Jenderal. Sebab, hal ini dapat mengganggu jalannya investigasi.
4. Pada halaman 46, Tempo menulis, “Namun ada juga asesor yang menggelar audiensi dengan calon guru besar. Ida dan Indah termasuk di antaranya. Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibnu Sina Chandranegara, mengakui pernah bertemu dengan Ida dalam forum klarifikasi bagi dosen yang permohonan guru besarnya ditolak. Lembar penilaian sejumlah dosen yang dibaca Tempo juga menerangkan bahwa Ida dan Indah menggelar pertemuan dengan calon profesor. Di sinilah pangkal soalnya. Dua akademikus dari kampus di Yogyakarta bercerita, forum audiensi menjadi celah bagi asesor untuk bernegosiasi dengan kandidat yang bermasalah. Mereka mendengar ada istilah ‘menyediakan kemenyan bagi tim penilai’. Tentu saja kemenyan ini bukan dupa yang harum baunya, melainkan pelicin agar lolos menjadi guru besar”.
Pernyataan Tempo sangat merugikan dan mencemarkan nama saya. Audiensi merupakan sarana yang dibuat oleh Direktorat Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi jika seorang pengusul merasa keberatan atas hasil penilaian asesor. Sesuai dengan prosedur operasi standar yang dibuat Direktorat Sumber Daya, audiensi tak pernah dilakukan hanya antara asesor dan kandidat profesor. Audiensi selalu diselenggarakan dan difasilitasi Kementerian Pendidikan, dihadiri pimpinan perguruan tinggi atau Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, dan minimal ada dua asesor. Karena itu, tak mungkin audiensi menjadi celah untuk bernegosiasi antara pengusul jabatan profesor dan saya sebagai asesor.
Tulisan itu menjadi rumor yang tak faktual sebagai pelengkap keterangan yang memberi bobot pada paragraf sebelumnya. Jadi, terdapat kesan terjadi transaksi “kemenyan” dalam pertemuan itu. Padahal itu merupakan kabar yang tak pasti kebenarannya.
Ida Nurlinda
Universitas Padjadjaran, Bandung
Hak Jawab Indah Susilowati
SAYA menggunakan hak untuk menyikapi pemberitaan Tempo edisi 8-14 Juli 2024 dengan judul “Skandal Profesor Para Pesohor”.
1. Pada halaman 45, Tempo menuliskan saya, selaku anggota tim penilai angka jabatan akademik dosen, “telah mendapat sanksi dari Kemendikbudristek dalam kapasitas menjalankan tugas sebagai asesor dan telah dicoret dari daftar asesor”. Saya selama ini tidak pernah menerima surat atau dokumen apa pun dari Kementerian Pendidikan yang menyatakan sanksi dan pencoretan tersebut. Saya pernah menerima surat edaran dari pelaksana tugas Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 1649/E4/DT.04.01/2024 tanggal 17 Mei 2024 yang berisi ucapan terima kasih dan penghargaan kepada semua penilai (311 orang) atas selesainya penugasan sebagai anggota tim penilai jabatan akademik dosen. Penugasan sebagai anggota tim penilai sesuai dengan surat keputusan Dikti Nomor 147/E/KPT/2022 memang sudah berakhir, sehingga semua penilai diberhentikan.
2. Pada halaman yang sama disebutkan, “penilai yang dicoret itu membentuk jaringan dan cenderung meloloskan kandidat bermasalah”. Pernyataan itu bernada tendensius, agitatif, serta merusak kredibilitas saya. Saya tidak mengetahui siapa penilai lain yang menilai berkas pengusul, apalagi membentuk apa yang disebut Tempo sebagai “jaringan”. Masalah penugasan penilai adalah ranah Direktorat Sumber Daya. Yang tertera pada dashboard sistem Penilaian Angka Kredit adalah nama-nama pengusul yang akan dinilai, tidak ada nama penilai lain.
3. Pada Tempo versi online ditulis, “Indah punya peran besar dalam penempatan asesor guru besar. Sebab, dia adalah koordinator penilai calon profesor rumpun ilmu sosial”. Saya menyampaikan bahwa di antara sesama penilai tidak ada yang diangkat atau mengangkat diri sebagai koordinator. Sekali lagi, tidak ada istilah atau fungsi yang disebut sebagai koordinator. Semua penilai, termasuk saya, mempunyai kedudukan dan tugas yang sama seperti halnya ratusan penilai lain. Penggunaan kata “peran besar dan leluasa mengatur” itu seperti menghakimi dan merugikan saya. Sekali lagi, penempatan atau penugasan penilai adalah urusan di Direktorat Sumber Daya. Saya tidak punya wewenang dan kapasitas dalam urusan tersebut.
4. Pada halaman 46 tertulis, “Namun ada juga asesor yang menggelar audiensi dengan calon guru besar. Ida dan Indah termasuk di antaranya. Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibnu Sina Chandranegara, mengakui pernah bertemu dengan Ida dalam forum klarifikasi bagi dosen yang permohonan guru besarnya ditolak. Lembar penilaian sejumlah dosen yang dibaca Tempo juga menerangkan bahwa Ida dan Indah menggelar pertemuan dengan calon profesor. Di sinilah pangkal soalnya. Dua akademikus dari kampus di Yogyakarta bercerita, forum audiensi menjadi celah bagi asesor untuk bernegosiasi dengan kandidat yang bermasalah. Mereka mendengar ada istilah ‘menyediakan kemenyan bagi tim penilai’. Tentu saja kemenyan ini bukan dupa yang harum baunya, melainkan pelicin agar lolos menjadi guru besar”.
Pernyataan ini sangat merugikan dan mencemarkan nama saya. Audiensi merupakan sarana pemfasilitasan dari Direktorat Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi jika ada pengusul yang mengajukan keberatan terhadap hasil penilaian. Audiensi dilakukan secara daring dan direkam. Audiensi dipimpin Direktur Sumber Daya atau pejabat yang mewakilinya. Sesuai dengan prosedur standar, audiensi tidak pernah dilakukan hanya oleh penilai dan pengusul. Forum audiensi selalu diselenggarakan dan difasilitasi pihak Direktorat Sumber Daya dan dihadiri juga oleh pimpinan perguruan tinggi, pimpinan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, serta minimal dihadiri dua penilai. Ada pejabat yang ditunjuk dari Direktorat Sumber Daya untuk mengatur giliran audiensi dan selalu merekam proses audiensi. Karena itu, forum audiensi tak mungkin menjadi celah adanya negosiasi antara pengusul dan penilai sebagaimana disinyalir Tempo dengan istilah “menyediakan kemenyan”. Tulisan itu telah menjadi bola liar yang membentuk opini negatif.
5. Saya dihubungi wartawan Tempo melalui WhatsApp pada 3 Juni 2024 untuk diwawancarai terkait dengan penilaian guru besar di Kementerian Pendidikan. Saya menolak secara halus dan meminta maaf dengan mengatakan sedang ada pergantian Direktur Sumber Daya sehingga saya tak berwenang menjawab. Namun wartawan itu terus mendesak untuk mewawancarai saya dengan mengirim sembilan pertanyaan seputar mekanisme penilaian guru besar, termasuk pencalonan Sufmi Dasco Ahmad sebagai guru besar. Saya waktu itu agak lupa apakah pernah menilai nama itu atau tidak. Saya tidak memenuhi permintaan wawancara, apalagi permintaan informasi atas penilaian kelayakan pemberian guru besar yang harus dirahasiakan sesuai dengan kode etik dan integritas. Saya harus memegang rahasia pengusul, seperti halnya dokter menjaga rahasia pasiennya.
Saya heran, siniar Bocor Alus Politik berjudul “Investigasi Tempo: Simsalabim Pejabat Menjadi Profesor” memberi kesan bahwa wartawan dapat melihat semua data pengusul (Sufmi Dasco Ahmad) secara rinci, termasuk karya-karyanya. Sistem penilaian seperti itu hanya dapat diakses oleh akun verifikator atau pejabat berwenang karena merupakan rahasia Kementerian. Data pengusul, sebagaimana rekam medis pasien, semestinya tidak boleh diberikan atau dipaparkan secara sembarangan karena akan melanggar kode etik. Bagaimana bisa wartawan Tempo di acara Bocor Alus Politik memperoleh data lengkap dan menafsirkan menurut caranya sendiri?
Saya ditugasi menjadi penilai ketiga untuk penilaian Sufmi Dasco Ahmad. Sebelum saya, sudah ada penilai pertama dan kedua yang merupakan guru besar ilmu hukum dan sesuai dengan bidang ilmu pengusul, yang menilai usulan itu. Satu penilai sudah menyetujui empat karya ilmiah syarat khusus dan syarat tambahan sehingga merekomendasikan usulan diproses lebih lanjut. Satu penilai lain tak memberi catatan tentang syarat khusus dan hanya meminta perbaikan bidang ilmu guru besar pengusul. Penilai ini mungkin masih menganggap loncat jabatan tak membolehkan adanya revisi sehingga merekomendasikan untuk naik jabatan ke lektor kepala saja.
Waktu itu sudah diberlakukan kebijakan pimpinan bahwa pengusul yang loncat jabatan dapat melakukan revisi. Sebagai penilai ketiga atau arbitrase, saya diminta menyelaraskan penilaian. Materi substansi berupa syarat khusus dan syarat tambahan sudah dinilai oleh penilai yang punya kepakaran bidang ilmu hukum. Penilai juga sudah menilai kecukupan angka kredit dan tak ada masalah. Karena itu, saya merekomendasikan usulan diproses lebih lanjut karena secara normatif sudah memenuhi syarat. Kata “merekomendasikan” digunakan karena penilai hanya dapat mengusulkan. Keputusan final berada di tangan pimpinan Kementerian Pendidikan. Penjelasan ini sekaligus menyikapi informasi di siniar Bocor Alus Politik yang mengesankan bahwa penilaian terhadap usulan Sufmi Dasco Ahmad hanya dilakukan saya sendiri. Padahal realitasnya usulan itu dinilai juga oleh dua guru besar ilmu hukum.
Indah Susilowati
Universitas Diponegoro, Semarang
Hak Jawab Bambang Soesatyo
MENANGGAPI berita Tempo di kanal online, majalah, dan YouTube sepanjang 16 Juni-8 Juli 2024, saya memberikan hak jawab untuk meluruskan banyak hal atas pemberitaan Tempo yang saya anggap telah melakukan pembunuhan karakter karena tak obyektif dan akurat serta bersifat insinuatif dengan tak menjunjung asas praduga tak bersalah.
1. Pertama adalah perihal status guru besar. Saya menekankan bahwa ini baru tahap pengusulan sehingga saya belum memperoleh gelar guru besar atau profesor. Untuk dapat memperoleh gelar guru besar, saya harus mengikuti tahapan dan pengusulan oleh universitas yang menjadi home base saya mengajar, yaitu Universitas Borobudur, Jakarta, serta melengkapi pemenuhan syarat berupa pendidikan terakhir doktor dan dilengkapi dengan pendidikan sarjana muda, S-1, dan S-2; serta sertifikat dosen yang saat ini masih menunggu dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Untuk memperoleh sertifikat dosen itu, saya harus mengikuti tahapan pelatihan dan tes, yaitu pekerti, tes kemampuan dasar skolastik, dan tes kemampuan bahasa Inggris yang telah dijalani pada Mei 2024. Secara prosedural, saya seharusnya sudah bisa menjadi peserta sertifikasi dosen pada Juni 2024. Namun kuota sudah penuh sehingga saya baru bisa menjadi peserta sertifikasi pada kesempatan berikutnya. Artinya, saya tetap taat prosedur dan aturan.
2. Berikutnya adalah perihal ijazah S-2 yang lebih dulu keluar daripada ijazah S-1. Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, peraturan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan itu memungkinkan sarjana muda dengan pengalaman kerja berlanjut ke jenjang S-2 dan kesempatan itu saya ambil. Namun saya tetap punya keinginan mengambil S-1 bersamaan dengan kuliah S-2. Saya lulus lebih dulu di jenjang S-2 bidang ekonomi dan S-1 bidang ekonomi pada 1992.
3. Tentang pemberitaan di Tempo.co dan kanal YouTube, Bocor Alus Politik, disebutkan bahwa gelar profesor Bambang Soesatyo janggal. Judul seperti ini menurut saya menyesatkan dan menjurus ke pembunuhan karakter (trial by the press), sebagaimana saya sebutkan pada poin pertama.
4. Majalah Tempo edisi 8-14 Juli 2024 menyebutkan dalam lima paragraf awal bahwa saya mempunyai ambisi khusus menjadi guru besar sejak 2019 serta menuliskan kembali riwayat pendidikan saya tanpa melengkapinya dengan penjelasan yang saya berikan sebelumnya. Bahkan hal ini telah menjurus pada framing dan pembunuhan karakter serta mencampuradukkan opini dengan fakta.
Bambang Soesatyo
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo