HARI ketujuh setelah hari raya led setiap tahunnya, merupakan
hari yang paling sibuk dan meriah bagi kota kecil Jepara, UjUllg
atas dalam peta Jawa Tengah. Ada pesta yang diberi nama Pesta
Lomban, yang intinya berupa upacara tradisionil bagi para
nelayan untuk menunjukkan baktinya kepada para "danyang" penjaga
lautan.
Pesta Lomban tahun ini, jatuh pada tanggal 22 September. Pagi
pagi sekali, penduduk sudah siap. Juga para penggede kota kecil
itu, seperti Bupati Jepara Soedikto SH, sang nyonya dan para
anggota Muspida suda. berkemaskemas di pendapa kabupaten. Karena
selain pesta, ada pula upacara lain yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah. Pagi itu, ada peresmian dua buah kios
BUUD/KUD perikanall yang dibangun di dua desa nelayan: Jobo Kuto
dan Pesajem Biaya kedua buah kios tersebut menelan uang sebanyak
Rp 700.000. Setelah acara peresmian kios barulah semuanya menuju
TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Jobo Kuto yang letaknya persis di
bibir pantai.
Bupati Lelembut, Demang Morfinis
Dan berceriteralah Maridi yang jadi kepala TPI Jobo Kuto tentang
asal usul upacara tradisionil ini. Sekitar 43 tahun yang lalu,
tersebutlah seorang haji yang bernama Sidik yang jadi lurah di
desa Ujung Batu. Haji Sidik dianggap oleh penduduk setempat
sebagai seorang yang bijaksana, punya ilmu bahkan menguasai ilmu
yang bisa tahu keadaan yang akan datang. Orang Jawa bilang:
"weruh sakdurunge winarah," tahu apa-apa yang bakal terjadi.
Kata orang, Pak Haji ini juga sering menerima wangsit, ilham
gaib yang tidak bisa sembarang orang bisa mendapatnya.
Berkat ilmunya inilah, Haji Sidik bisa berkomunikasi dengan mbah
Suto Bondo alias mbah Suto Jiwo. Dia ini, oleh masyarakat pantai
Jepara diakui sebagai "danyang" penjaga lautan dan digolongkan
sebagai mahluk halus alias lelembut. Bahkan banyak yang
menyebutnya juga mbah Suto adalah "bupati lelembut"nya daerah
Jepara. Untuk mbah Suto inilah, sesaji, pesta tradisionil dan
segala keramaian diadakan.
Untung saja makanan kesukaan mbah Suto tidak mahal. Cuma rujak
degan atau kelapa muda yang diberi gula. Tapi mbah Suto juga
konon punya staf yang juga harus diberi pungli. Yaitu Bambang
Adi Dirjono, yang cukup puas mendapat kiriman cengkaruk gimbal,
sejenis makanan dari ketan digoreng kemudian diaduk dengan gula
kelapa plus santan. lantaran pungli dialamatkan pula untuk
Tunggul Wulung, yang diangkat jadi gembala ikan-ikall di laut.
Si Tunggul Wulung ini lain lagi kesukaanya. Jangan kaget, candu.
Rupanya dia ini tergolong morfinis juga.
Dan dari semuanya itu, yang paling top adalah Sang Hyang Baruna.
Dia adalah penguasa tertinggi untuk kawasan lautan. Hobinya lain
lagi. Kepala kerbau adalah kesukaannya. Untuk tahun ini panitya
telah memberikan kepala kerbau tersebut seharga Rp 10.000,
jumlah pungli yang dianggap paling tinggi. Sesajen tersebut
dilengkapi pula dengan hidangan lainnya seperti macam-macam
kuwe yang disebut jajan pasar, tebu, pisang raja dan sebagainya.
Semuanya itu dihanyutkan ke laut dan dibungkus jadi satu. Bentuk
bungkusan berupa rumah-rumahan.
Menghanyutkan sesaji tersebut, harus dilakukan oleh bupati
sendiri. Sudikto dan rombongan naik sebuah kapal bermotor.
Kapal-kapal kecil milik nelayan, mengiringkam Rakyat banyak,
menonton di pinggir pantai. Anak-anak tanggung siap dengan
celana kolornya untuk berenang ke tengah. Yang terakhir ini
mempunyai tujuan lain: siapa tahu bisa menangkap sebuah pisang
atau sepotong kuwe sesajen.
Topeng Monyet, Tong Setan
Pokoknya pantai pemandian Kartini, demikian mereka menamakan
tempat itu, ramailah. Pengunjung bukan dari Jepara saja. Tapi
banyak yang datang dari Semarang, Sala dan kota lainnya. Untuk
pemerintah daerah, makin ramainya orang datang, semakin besar
hasil pendapatan daerah. Maklum, setiap yang masuk. kena tarikan
Rp 25 sebagai penganti karcis masuk. Untuk Pemda lumayan. Untuk
para nelayan, nasib selamat diharapkan. Untuk rakyat, ini adalah
salah satu dari sekian saja kesempatan berekreasi.
Jumlah nelayan Jepara lumayan banyaknya. Ukuran teri, mereka ada
sekitar 12.000 orang Perahu yang tercatat cuma berjumlah 1.888
buah dan 10 buah saja yang tergolong sebagai perahu bermotor.
Produksi setiap hari rata-rata cuma 6-10 ton saja. Harga ikan,
untuk ukuran Jakarta, murah sekali. Pukul rata segala macam
jenis ikan per kilonya cuma Rp 110 sampai Rp 150. Jumlah di atas
6 ton sehari juga bukan milik nelayan Jepara. Kebanyakan berasal
dari Pekalongan, Batang, Tegal dan Semarang.
Sebegitu jauh, nelayan-nelayan yang mempunyai peralatan
sederhana ini belum menikmati kredit-kredit semacam KIK (Kredit
Investasi Kecil) atau KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen). Niat
ini sudah pernah dibicarakan antara Sudikto dan Zaenal Arifin
yang jadi Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Tapi
hingga sekarang cuma angan-angan saja. "Saya dapat info,"
demikian seorang pejabat dari DPRD Kabupaten Jepara, "salah
sebuah kantor dinas memasang tarif Rp 150.000 untuk sebuah
rekomendasi kredit nelayan. " Nah pungli lagi.
Sehingga dari tahun ke tahun, cuma segitulah nasib nelayan
dikasihani: Pesta Lumban. Karena dengan pesta yang cuma
setahun sekali ini anak isteri pun turut bergembira. Malahan
dalam pesta cuma satu siang itu ada pula atraksi menarik buat
anak-anak: tari topeng, orkes dangdut, tong setan dan topeng
monyet melegakan hati sejenak dari hidup yang gersang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini