KALAU dibandingkan besarnya perhatian kepada kwantitas (jumlah)
manusia, maka perhatian kepada kwalitas manusia dapat dikatakan
sepi. Kalau orang berbicara tentang dunia pendidikan misalnya,
maka perhatian juga hanya lengket pada mutu pengajaran, kwalitas
akademis, penguasaan disiplin yang amat penting sebagai
penunjang kemajuan dan perkembangan profesi. Akan tetapi mutu
pendidikan dalam arti semula -- education -, serta kadar
keterdidikan orang-orang sekolahan, siapa masih menggubrisnya?
Kita barangkali amat mengagumi dan menghormati keahlian seorang
dokter atau hebatnya seorang penyanyi, tetapi di dalam hati kita
bisa juga menertawakannya. Sebagai manusia keduanya barangkali
samasekali tidak hebat. Mereka dengan senang hati dimaafkan:
masak orang harus serba sempurna. Namun, kita tahu juga, mereka
tak dapat dijadikan teladan. Bahwa dalam profesinya mereka
unggul, terang bisa mengagumkan. Tetapi ada segi tertentu yang
mendukung kwalitasnya sebagai manusia yang kurang terpenuhi.
Susah dijelaskan, tetapi mudah merasakannya.
***
Arloji pemberian ayah kepada saya adalah sebuah arloji butut
yang selalu saya pakai sampai hari ini. Teman-teman suka
memperolok-olokkannya, tetapi arloji itu tetap saja di tangan
saya. Alasannya cuma satu: benda itu belum pernah mengecewakan
saya dalam menunjuk waktu, dan karena itu saya selalu
menganggapnya bermutu. Apakah ukuran mutu kalau bukan kadar
fungsionil-tidaknya benda tersebut? Radio yang bermutu ialah
yang jelas menyampaikan berita. Kamera yang bermutu ialah yang
peka merekam gambar. Recorder yang bermutu ialah yang peka
merekam suara. Dia menjadi bermutu karena sanggup memenuhi
fmgsinya, dapat mencapai tujuannya.
Pada diri seseorang halnya tetap sama. Dokter yang bermutu ialah
yang cepat dan pintar menolong pasien. Sekretarese yang bermutu
ialah yang dapat jadi tangan kanan-kiri bossnya. Tetapi manusia
yang bermutu, bagaimana mestinya?
***
Seorang teman yang suka nyentrik berkata pada suatu sore: "Sudah
lebih dari 10 tahun saya berburu pemimpin, belum juga ketemu."
Mungkin pemimpin tak dapat diburu seperti rusa atau celeng.
Tetapi mengapa tak kunjung bertemu? "Bagaimana ya? Yang pintar
sih banyak. Yang jago pun tidak kurang. Tetapi yang qualified
susah dapatnya."
Dan saya segera ingat bila di sebuah perusahaall atau kantor,
seorang calon hendak diangkat jadi pimpinan atau direktur, maka
fle konduite-nya dibolak-balik habis-habisan. Dalam konduite
tidak amat dipersoalkan kemampuan seseorang tetapi perihal
apakah dia pantas dan layak menduduki jabatan tersebut. Mungkin
dia amat unggul dalam managerial know-how, tetapi bawahannya
tidak mantap kalau dia jadi atasan mereka. Mengapa? Nggak
pantas. Masak direktur kita begitu, yang benar saja.
**
Profesionalisme sudah menjuruskan kita juga kepada suatu
perburuan tertentu: keahlian, atau spesialisasi yang bakal
menunjang perkembangan profesi. Dengan dernikian kerisauan utama
banyak orang tua ialah: menjadi Ipa anaknya kelak?
Tepat benar lirik lagu Che Sara Sara. Dokter, itu yang paling
baik. Insinyur boleh juga. Kalau tidak, sarjana hukum pun
jadilah, asal jangan wartawan atau penyair.
Tetapi adakah kerisauan tentang menjadi manusia yang sejati?
Tentang bagaimana menjadi bermutu, tidak sebagai apaapa, tetapi
sebagai manusia? Kerisauan seperti itu makin hari makin terasa
sebagai hal abstrak, dengan akibat yang amat konkrit: kenakalan
dan kriminalitas kaum remaja berhadapan langsung dengan
keisengan, penyelewengan dan hedonisme para tua-tua.
Indonesia bangsa.yang besar - itulah kebanggaan kita selama ini.
Tentu saja! 130 juta jiwa bagaimana kecil? Indonesia bangsa yang
bermutu -- sebuah kerisauan tegak menantang. Wallahualam, siapa
yang bilang begitu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini