Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kendari punya nama, tapi made in ...

Kerajinan perak kendari terkenal karena pembuatannya halus dan rumit. walaupun dikenal nama kendari, tapi pembuatnya ada disekitar ujung pandang. banyak dihadiahkan untuk tamu negara.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAK Kendari. Nama ini sama kebekenanya dengan perak bakar dari Yogya, di Kota Gede itu. Cuma perak bikinan Kendari lebih rumit tampaknya. Halus, sehalus benang dan tehnik pembuatannya memang berlainan. Di Kota Gede, setiap turis lokal atau luar negeri gampang melihat bagaimana cara kena pengrajin-pengrajin perak itu bekerja. Karena setiap toko gede di kota yang bisa dicapai dengan kendaraan macam apa saja itu, selalu membuka pintu bagi pengunjung untuk menonton dan memotret proses pembuatan perak bakar. Syukurlah kalau anda kemudian tergerak hati untuk kemudian membuka dompet dan membeli. Ukiran Kendari, ternyata tidak mudah ditonton. Bahkan sulit ditemukan. Banyak orang datang ke Kendari di Sulawesi Tenggara itu untuk menyaksikan bagaimana pengrajin Kendari membuat lempengan perak jadi bak benang-benang halus. Seorang dari Singapura -yang telah tiga bulan keliling Indonesia - mampir di Kendari, juga untuk mencari hal yang sama. Dicari di seluruh pelosok kota Kendari, hasilnya nihil. Batang hidung pengrajin perak ukir Kendari tidak ketemu jua. Sama sulitnya seperti anda berada di Madura, tapi ternyata tidak ada sate ayam Madura satu pikulpun. Dua Pewaris Repotnya pula, setiap orang Kendari yang ditanya tentang hal ini, mereka menyatakan tidak tahu. Kalau didesak lagi, merekabahkan bersumpah bahwa mereka tak punya kemahiran dalam mengukir perak atau emas. Lantas di mana itu pengukir-pengukir perak Kendari? Setelah tilik sana, toleh sini, ada terbetik berita bahwa ada sekumpulan orang asal Kendari yang tinggal di sebelah selatan kota Ujungpandang. Bahkan ada di tiga tempat: satu di Balangbaru (ini yang di sebelah selatan Ujungpandang), yang lainnya di Borong, sekitar taman pahlawan Panaikang dan yang terakhir di Pulau Barrang Caddi. Pengukirnya, ternyata bukan orang Kendari. Melainkan orang Makassar asli dan masih termasuk cucu-cucu Sultan Hasanuddin. Kemahiran mereka diwariskan secara turun menurun, dan sekarang sudah masuk ke generasi ketiga. Cikal bakal mereka adalah Daeng Sutte dan Mohammad Tahir Daeng Beta. Sutte dan Beta semula tidak mempermak perak, melainkan emas. Yang mereka ukir juga cuma bentuk seekor cicak. Puluhan tahun yang lalu, berlabuhlah sebuah kapal Jerman di pelabuhan Makassar. Kelasi-kelasinya sempat jalanjalan ke kota. Sampailah di Somba Opu dan di toko Haji Borak mereka menemukan seekor cicak dari emas. Hander Sinyo, kebetulan dia seorang Belanda adalah penjaga toko tersebut. "Apa ini?" tanya si Jerman. Hander Sinyo menjawab pasti: "Cicak Kendari mas." Konon itulah asal mulanya perak made in Kendari yang dibuat di Sulawesi Selatan. Hingga sekarang. Cicak Kendari kemudian dibawa ke Jerman. Ketika kapal yang sama berlabuh lagi, si Jerman bahkan mengusulkan agar emas diganti saja dengan perak. Hander Sinyo yang melihat bisnisnya membaik, menyuruh Daeng Sutte untuk mencetak cicak dari perak banyak-banyak. Kendari mas kemudian jadi rebutan bagi pendatang-pendatang dari Australia, Belanda, Jerman atau Amerika. Cicak Kendari kemudian berkembang jadi kembang ros, perahu pinisi, kerbau, kuda, rusa, kambing, tas, dan banyak macam lagi. Ijon Kendari Werk Hingga kini, Kendari werk -- demikian orang Belanda menyebutnya -- cukup terkenal. Tidak jarang, hasil kerajinan ini dijadikan barang suvenir buat tamu negara. Ratu Elizabeth II dari Inggeris pernah mendapat hadiah berupa tas hasil Kendari terbuat dari emas. Ratu Yuliana dari Belanda -- biarpun ternyata sedikit kebesaran - oleh nyonya Tien Suharto pernah diberi hadiah sebuah ikat pinggang dari emas buatan Kendari werk. Ketika ia Perdana Menteri Fukuda ke Jakarta bulan lalu, dia juga menerima hadiah sebuah kapal perak buatan Kendari. Yang terakhir, ketika Presiden Suharto dan rombongan melawat ke Timur Tengah, tas emas buatan Kendari dihadiahkan untuk para isteri Kepala Negara Arab. Nyonya Jehan Sadat dari Mesir bahkan mendapat hadiah yang paling besar (dan mahal): sebuah tas made in Kendari yang terbuat dari emas dengan bobot setengah kilogram. Nama Kendari tetap jadi trademark, biarpun pembuatannya berada di seputar kota Ujungpandang. Keturunan Daeng Sutte dan Daeng Beta dewasa ini tetap menekuni pekerjaan ukir-mengukir. Kabarnya mereka bahkan tidak senang memilih pekerjaan lain dan banyak yang menyatakan diri tidak bisa kerja lain selain mengukir perak atau emas. Salah seorang dari mereka adalah Abdul Rasyid, yang mengaku adalah keturunan ketiga dari cikal bakal salah satu Daeng tersebut. Album foto yang dimilikinya diketahui bahwa mereka kini telah mencipta bukan seekor cicak saja, melainkan 124 macam barang, mulai dari keris penjepit dasi sampai ke cincin, tusuk konde atau perahu pinisi tunggangannya orang Bugis kalau melaut. Kepandaian mengukir dengan gaya cermat ini dimonopoli mereka saja. Di kampung Balangbaru, kabarnya tidak kurang dari 40 orang yang terlibat dalam pekerjaan mengukir. Keluhan pengrajin-pengrajin ini berlagu lama: kurang modal. Menurut Abdul Rasyid yang pernah turut kursus cepat industri kecil sebanyak tiga kali, Departemen Perindustrian bagian kerajinan rakyat beberapa waktu yang lalu pemah mendrop beberapa batangan perak ke kampungnya. Tapi entah bagaimana, lantakan perak itu kemudian ditarik kembali. Pernah pula, nyonya Eddy Sabara yang jadi isteri Gubernur Sulawesi Tenggara menyumbang 10 Kg batang perak, "dan sumbangan inilah yang menghidupkan perusahaan kami," ujar Abdul Rasyid. Karena nyawa pengrajin Kendari werk ini bagaikan kerapu tumbuh di batu, - mati segan hidup pun tak mampu - jadilah mereka kecemplung ke pengijon. Tukang ijonnya kebetulan, orang-orang bermata sipit. Para Tionghoa yang berduit ini jadi tauke dalam selubung. Artinya- para pengrajin kini banyak yang cuma jadi tukang bikin barang-barang tersebut dengan upah yang rendah. Jadi buruh, begitu. kata salah seorang dari mereka: "Coba saja itu perahu pinisi yang panjangnya cuma 30 Cm. Harganya di toko sampai puluhan ribu -- bahkan yang dari emas bisa mencapai harga setengah juta rupiah -- dan kami hanya mendapat upah 2 ribu rupiah untuk satu pelahu tersebut." Begitulah keadaannya. Pemerintah daerah atau BRI (Bank Rakyat Indonesia) tidak atau belum pernah membantu mereka dengan kredit lunak atau kursus-kursus ketrampilan manajemen sedangkan pesanan dari Pusat untuk suvenir tamu negara tetap mengalir. Juga toko-toko di sepanjang jalan Jampea atau Somba Opu (Ujungpandang) tetap memajang hasil kerajinan ukir-ukiran tersebut dan selalu dicari turis dari mana saja. "Seandainya kami ada modal, model dan harga bisa kami tentukan sendiri," kata salah seorang pengrajin. Dan entah mengapa, dari dulu, tidak ada yang tergerak untuk mendirikan koperasi atau usaha gotong royong membantu mereka. Sementara tidak banyak yang tahu bahwa Kendari werk itu bukan berasal dari Kendari, namun beberapa toko di kota Kendari ada terpampang hasil kerajinan ukir ini. Tapi ternyata harga dan ragamnya tidak semurah dan sebanyak yang ada di Ujungpandang. Selama ini, dari kalangan Istana di Jakarta selalu pula harus pesan lewat nyonya Eddy Sabara, biarpun yang terakhir ini kemudian harus mengirim seseorang ke kampung Balangbaru, atau Borong atau Barrang Caddi, dan terbang ke Ujungpandang. Tapi akankah mereka tetap lestari, kalau kini nasib para pengrajin itu ada di awang-awang, tidak menentu? Wallahualam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus