PERAK Kendari. Nama ini sama kebekenanya dengan perak bakar
dari Yogya, di Kota Gede itu. Cuma perak bikinan Kendari lebih
rumit tampaknya. Halus, sehalus benang dan tehnik pembuatannya
memang berlainan. Di Kota Gede, setiap turis lokal atau luar
negeri gampang melihat bagaimana cara kena pengrajin-pengrajin
perak itu bekerja. Karena setiap toko gede di kota yang bisa
dicapai dengan kendaraan macam apa saja itu, selalu membuka
pintu bagi pengunjung untuk menonton dan memotret proses
pembuatan perak bakar. Syukurlah kalau anda kemudian tergerak
hati untuk kemudian membuka dompet dan membeli.
Ukiran Kendari, ternyata tidak mudah ditonton. Bahkan sulit
ditemukan. Banyak orang datang ke Kendari di Sulawesi Tenggara
itu untuk menyaksikan bagaimana pengrajin Kendari membuat
lempengan perak jadi bak benang-benang halus. Seorang dari
Singapura -yang telah tiga bulan keliling Indonesia - mampir di
Kendari, juga untuk mencari hal yang sama. Dicari di seluruh
pelosok kota Kendari, hasilnya nihil. Batang hidung pengrajin
perak ukir Kendari tidak ketemu jua. Sama sulitnya seperti anda
berada di Madura, tapi ternyata tidak ada sate ayam Madura satu
pikulpun.
Dua Pewaris
Repotnya pula, setiap orang Kendari yang ditanya tentang hal
ini, mereka menyatakan tidak tahu. Kalau didesak lagi,
merekabahkan bersumpah bahwa mereka tak punya kemahiran dalam
mengukir perak atau emas.
Lantas di mana itu pengukir-pengukir perak Kendari? Setelah
tilik sana, toleh sini, ada terbetik berita bahwa ada sekumpulan
orang asal Kendari yang tinggal di sebelah selatan kota
Ujungpandang. Bahkan ada di tiga tempat: satu di Balangbaru (ini
yang di sebelah selatan Ujungpandang), yang lainnya di Borong,
sekitar taman pahlawan Panaikang dan yang terakhir di Pulau
Barrang Caddi. Pengukirnya, ternyata bukan orang Kendari.
Melainkan orang Makassar asli dan masih termasuk cucu-cucu
Sultan Hasanuddin.
Kemahiran mereka diwariskan secara turun menurun, dan sekarang
sudah masuk ke generasi ketiga. Cikal bakal mereka adalah Daeng
Sutte dan Mohammad Tahir Daeng Beta. Sutte dan Beta semula tidak
mempermak perak, melainkan emas. Yang mereka ukir juga cuma
bentuk seekor cicak. Puluhan tahun yang lalu, berlabuhlah sebuah
kapal Jerman di pelabuhan Makassar. Kelasi-kelasinya sempat
jalanjalan ke kota. Sampailah di Somba Opu dan di toko Haji
Borak mereka menemukan seekor cicak dari emas. Hander Sinyo,
kebetulan dia seorang Belanda adalah penjaga toko tersebut. "Apa
ini?" tanya si Jerman. Hander Sinyo menjawab pasti: "Cicak
Kendari mas." Konon itulah asal mulanya perak made in Kendari
yang dibuat di Sulawesi Selatan. Hingga sekarang.
Cicak Kendari kemudian dibawa ke Jerman. Ketika kapal yang sama
berlabuh lagi, si Jerman bahkan mengusulkan agar emas diganti
saja dengan perak. Hander Sinyo yang melihat bisnisnya membaik,
menyuruh Daeng Sutte untuk mencetak cicak dari perak
banyak-banyak. Kendari mas kemudian jadi rebutan bagi
pendatang-pendatang dari Australia, Belanda, Jerman atau
Amerika. Cicak Kendari kemudian berkembang jadi kembang ros,
perahu pinisi, kerbau, kuda, rusa, kambing, tas, dan banyak
macam lagi.
Ijon Kendari Werk
Hingga kini, Kendari werk -- demikian orang Belanda menyebutnya
-- cukup terkenal. Tidak jarang, hasil kerajinan ini dijadikan
barang suvenir buat tamu negara. Ratu Elizabeth II dari Inggeris
pernah mendapat hadiah berupa tas hasil Kendari terbuat dari
emas. Ratu Yuliana dari Belanda -- biarpun ternyata sedikit
kebesaran - oleh nyonya Tien Suharto pernah diberi hadiah sebuah
ikat pinggang dari emas buatan Kendari werk. Ketika ia Perdana
Menteri Fukuda ke Jakarta bulan lalu, dia juga menerima hadiah
sebuah kapal perak buatan Kendari. Yang terakhir, ketika
Presiden Suharto dan rombongan melawat ke Timur Tengah, tas emas
buatan Kendari dihadiahkan untuk para isteri Kepala Negara Arab.
Nyonya Jehan Sadat dari Mesir bahkan mendapat hadiah yang paling
besar (dan mahal): sebuah tas made in Kendari yang terbuat dari
emas dengan bobot setengah kilogram. Nama Kendari tetap jadi
trademark, biarpun pembuatannya berada di seputar kota
Ujungpandang.
Keturunan Daeng Sutte dan Daeng Beta dewasa ini tetap menekuni
pekerjaan ukir-mengukir. Kabarnya mereka bahkan tidak senang
memilih pekerjaan lain dan banyak yang menyatakan diri tidak
bisa kerja lain selain mengukir perak atau emas. Salah seorang
dari mereka adalah Abdul Rasyid, yang mengaku adalah keturunan
ketiga dari cikal bakal salah satu Daeng tersebut. Album foto
yang dimilikinya diketahui bahwa mereka kini telah mencipta
bukan seekor cicak saja, melainkan 124 macam barang, mulai dari
keris penjepit dasi sampai ke cincin, tusuk konde atau perahu
pinisi tunggangannya orang Bugis kalau melaut.
Kepandaian mengukir dengan gaya cermat ini dimonopoli mereka
saja. Di kampung Balangbaru, kabarnya tidak kurang dari 40 orang
yang terlibat dalam pekerjaan mengukir. Keluhan
pengrajin-pengrajin ini berlagu lama: kurang modal. Menurut
Abdul Rasyid yang pernah turut kursus cepat industri kecil
sebanyak tiga kali, Departemen Perindustrian bagian kerajinan
rakyat beberapa waktu yang lalu pemah mendrop beberapa batangan
perak ke kampungnya. Tapi entah bagaimana, lantakan perak itu
kemudian ditarik kembali. Pernah pula, nyonya Eddy Sabara yang
jadi isteri Gubernur Sulawesi Tenggara menyumbang 10 Kg batang
perak, "dan sumbangan inilah yang menghidupkan perusahaan kami,"
ujar Abdul Rasyid.
Karena nyawa pengrajin Kendari werk ini bagaikan kerapu tumbuh
di batu, - mati segan hidup pun tak mampu - jadilah mereka
kecemplung ke pengijon. Tukang ijonnya kebetulan, orang-orang
bermata sipit. Para Tionghoa yang berduit ini jadi tauke dalam
selubung. Artinya- para pengrajin kini banyak yang cuma jadi
tukang bikin barang-barang tersebut dengan upah yang rendah.
Jadi buruh, begitu. kata salah seorang dari mereka: "Coba saja
itu perahu pinisi yang panjangnya cuma 30 Cm. Harganya di toko
sampai puluhan ribu -- bahkan yang dari emas bisa mencapai harga
setengah juta rupiah -- dan kami hanya mendapat upah 2 ribu
rupiah untuk satu pelahu tersebut."
Begitulah keadaannya. Pemerintah daerah atau BRI (Bank Rakyat
Indonesia) tidak atau belum pernah membantu mereka dengan kredit
lunak atau kursus-kursus ketrampilan manajemen sedangkan pesanan
dari Pusat untuk suvenir tamu negara tetap mengalir. Juga
toko-toko di sepanjang jalan Jampea atau Somba Opu
(Ujungpandang) tetap memajang hasil kerajinan ukir-ukiran
tersebut dan selalu dicari turis dari mana saja. "Seandainya
kami ada modal, model dan harga bisa kami tentukan sendiri,"
kata salah seorang pengrajin. Dan entah mengapa, dari dulu,
tidak ada yang tergerak untuk mendirikan koperasi atau usaha
gotong royong membantu mereka.
Sementara tidak banyak yang tahu bahwa Kendari werk itu bukan
berasal dari Kendari, namun beberapa toko di kota Kendari ada
terpampang hasil kerajinan ukir ini. Tapi ternyata harga dan
ragamnya tidak semurah dan sebanyak yang ada di Ujungpandang.
Selama ini, dari kalangan Istana di Jakarta selalu pula harus
pesan lewat nyonya Eddy Sabara, biarpun yang terakhir ini
kemudian harus mengirim seseorang ke kampung Balangbaru, atau
Borong atau Barrang Caddi, dan terbang ke Ujungpandang. Tapi
akankah mereka tetap lestari, kalau kini nasib para pengrajin
itu ada di awang-awang, tidak menentu? Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini