Tanggal 12 Oktober 2002, menjelang tengah malam. Kami hampir menyelesaikan naskah-naskah akhir ketika mendengar kabar dari koresponden TEMPO di Bali, Jalil Hakim: sebuah bom meledak di Legian. Korban saat itu belum diketahui banyaknya. Naskah akhir sudah siap dikirim ke percetakan Temprint, dan Redaktur Pelaksana Nasional Wahyu Muryadi sempat memasukkan sepotong kisah tragedi itu di rubrik Peristiwa.
Hanya dalam bilangan jam, semuanya bergulir bak bola salju. Wakil Pemimpin Redaksi Toriq Hadad dan Redaktur Eksekutif Leila S. Chudori pada hari Minggu—yang lazimnya menjadi hari keluarga—langsung mengerahkan pasukan Jakarta yang akan dikirim ke Bali untuk memperkuat tim Jalil Hakim: Arif Zulkifli, Rommy Fibri, dan Sunudyantoro (koresponden Surabaya). Fotografer Hariyanto, yang baru saja memotret perburuan ikan paus di Flores, kami perintahkan untuk mengakhiri periode menatap ikan paus itu dan segera bergabung dengan tim bom Bali. Hasilnya, di TEMPO setahun silam, kemudian menjadi laporan utama yang merupakan himpunan kerja sama semua kompartemen majalah ini, dan menjadi laporan utama terpanjang yang pernah kami kerjakan: 29 halaman.
Tragedi yang menewaskan lebih dari 200 orang dan yang kemudian merontokkan persendian kehidupan Bali yang bertopang pada pariwisata itu kami anggap sangat penting untuk diingat. Bukan untuk meratap dan bukan untuk terus-menerus berduka lara. Tapi sangat penting bagi kami, seperti masyarakat Indonesia dan dunia umumnya, untuk memperlihatkan bahwa kita tidak tunduk pada terorisme.
Edisi khusus kali ini adalah upaya kami melakukan investigasi jaringan Jamaah Islamiyah, sebuah organisasi yang membentang bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Singapura, Malaysia, Thailand, dan bahkan Pakistan. Di bawah pimpinan Karaniya Dharmasaputra, Redaktur Pelaksana Investigasi, kami menemukan sel-sel jaringan Jamaah Islamiyah yang masih tumbuh subur. Rommy Fibri, yang kami kirim ke Malaysia, dan Nezar Patria, yang kami kirim ke Bali, tentu saja dengan dua tiang penting dalam edisi kali ini: Jalil Hakim dan Sunudyantoro, menyajikan 45 halaman investigasi tentang kehidupan dan gerak-gerik tokoh-tokoh jaringan ini yang sudah ataupun belum divonis pengadilan.
Tentu saja kisah suram teror itu kami imbangi dengan kisah ekonomi Bali yang berupaya menggeliat dari keruntuhan. Bagian ini dikelola oleh Mohamad Teguh. Sedangkan Arif Zulkifli memimpin tim yang meliput kehidupan sosial dan budaya Bali pascabom. ”Tim Ekonomi” dan ”Tim Sosial” ini diperkuat oleh reporter Endah W.S., Rofiqi Hasan, dan Alit Kertaraharja. Melalui foto-foto Rio Helmi, Anda akan diajak mendengarkan pendapat para tokoh Bali tentang perasaan hati mereka setelah Bali porak-poranda.
Mudah-mudahan kami tak perlu lagi menampilkan edisi khusus yang menyajikan sebuah kemuraman negeri ini. Ini adalah cara kami untuk menyatakan: kami melawan teror. Selamat membaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini