Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syamsuddin Haris
Pengamat politik dari LIPI
Sekitar setahun lalu, nasib Partai Golkar ibarat telur di ujung tanduk. Betapa tidak, selama masa kampanye Pemilu 1999, para aktivisnya dikejar massa di mana-mana. Menjelang pemilihan presiden, Profesor Habibie yang dinominasikan Golkar sebagai capres terjungkal lantaran pidato pertanggungjawabannya ditolak Sidang Umum MPR 1999. Ketika itu, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung pada mulanya tampil sebagai Kuda Troya bagi Habibie, tapi kemudian menjadi Brutus yang menjebloskan calon yang diajukannya sendiri.
Kini, publik seolah-olah lupa dengan semua itu. Masyarakat awam serta para elite politik terpesona dengan teater politik yang dipentaskan elite Golkar. Ironisnya, para politisi sekaliber Amien Rais bukannya memberikan pencerahan dan menafsirkan realitas politik secara "lurus" bagi masyarakat, tapi justru terperangkap arus permainan Golkar yang diperankan dengan baik oleh ketua umumnya. Melalui dukungan pers yang haus hiruk-pikuk politik, Akbar Tandjung dan Golkar tampil seolah-olah sebagai reformis baru yang tiba-tiba terjaga setelah tertidur kekenyangan selama 30 tahun Orde Baru. Sementara itu, partai lain, termasuk PDI Perjuangan, yang menjadi korban kejahatan politik rezim Soeharto, tiba-tiba menjadi begitu konservatif dan ikut terbawa irama permainan cerdik Golkar. Kasus penggunaan hak interpelasi DPR adalah contoh paling relevan mengenai hal ini. Atas inisiatif Golkar, melalui penggunaan hak interpelasi, DPR mempersoalkan pencopotan anggota kabinet yang secara konstitusi menjadi wilayah kewenangan presiden. Sebaliknya, hampir tidak ada usaha serius Golkar yang bersifat kelembagaan untuk mengejar kelambanan pemerintah menuntaskan kasus-kasus korupsi yang jelas-jelas dimandatkan MPR kepada presiden. Juga tidak ada upaya institusional Golkar sebagai kekuatan politik signifikan di DPR untuk mendesak pemerintah agar mengungkap berbagai kejahatan politik dan kemanusiaan yang terjadi pada era rezim Orde Baru Soeharto maupun Habibie. Mengapa demikian? Jawabannya, saya kira, sangat lugas dan sederhana. Kacamata politik Golkar hanya diciptakan untuk membaca dosa-dosa orang lain, dan tidak didesain untuk melihat keborokan dan kebusukan diri sendiri. Kasus korupsi dan kejahatan politik hampir selalu membawa serta gerbong besar keserakahan orang-orang Golkar, keluarga Soeharto, para kroni Cendana, para jenderal, dan mantan menteri yang bisa tidur nyenyak di atas penderitaan mayoritas rakyat kita selama ini. Politisasi atas kasus Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin adalah contoh paling jelas tentang hal ini. Golkar melalui Akbar Tandjung berusaha mengalihkan isu sentral skandal Bank Bali yang melibatkan Partai Golkar dan tokoh-tokoh Golkar menjadi isu intervensi presiden atas independensi BI. Di tengah kesemrawutan politik yang tidak produktif itu, ironisnya, Ketua MPR Amien Rais terpenjara oleh inkonsistensi perilaku politiknya sendiri. Sebagai tokoh reformasi yang dahulu menolak bekerja sama dengan Golkar dan pendukung utama pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, Amien mestinya bisa menjadi "penengah" yang fair dan netral di tengah kebingungan serta kejenuhan masyarakat mengikuti pertarungan politik tingkat atas itu. Sebaliknya, mantan pimpinan Muhammadiyah itu justru "merendahkan diri" di balik jurus-jurus oportunisme politik tersembunyi yang diagendakan Golkar. Kalau dicermati secara seksama, apa yang tengah dilakukan Golkar tampaknya adalah upaya membangun dan menganyam koalisi oportunisme baru, setelah koalisi oportunisme lama bersama-sama dengan Soeharto, militer, dan birokrasi ambruk bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru. PDI Perjuangan dan Poros Tengah dicoba diajak di dalamnya. Keprihatinan kolektif patut kita miliki apabila koalisi oportunisme baru itu hanya berorientasi pada upaya membersihkan dosa-dosa besar Golkar, berbagai kasus korupsi, skandal, dan kejahatan politik masa lalu. Singkatnya, permainan politik elite Golkar perlu diwaspadai jika ia benar-benar berorientasi pada penyelamatan "aset" segenap kekuatan status quo Orde Baru belaka. Apabila asumsi ini bisa dianggap benar, persoalan serius yang dihadapi bangsa kita bukanlah masalah mencopot atau mempertahankan Gus Dur, melainkan mewaspadai bahaya serta ancaman oportunisme politik baru bagi kelangsungan agenda reformasi. Bahaya besar lain yang dihadapi bangsa kita di balik fenomena politicking yang berlatar oportunisme politik tersebut adalah terbukanya peluang bagi militer untuk kembali menjadi "juru selamat" dalam rangka apa yang sering disebut sebagai "tugas suci" mereka "menyelamatkan bangsa". Pertarungan politik berlarut-larut antara Gus Dur, Akbar Tandjung, dan Amien Rais bisa menjadi justifikasi bagi tentara bahwa para politisi sipil ternyata "gagal" menciptakan stabilitas politik, mengatasi krisis ekonomi, dan menghindarkan bangsa dari ancaman disintegrasi. Kevokalan elite Golkar dewasa ini belum mengindikasikan adanya perubahan signifikan di balik slogan paradigma baru Golkar. Perubahan ke arah paradigma baru akan terjadi apabila ada kesediaan elite Golkar mengadili serta membongkar topeng kebusukan orang-orangnya sendiri. Karena itu, manuver politik Golkar yang tak terkontrol justru bisa "mengundang" hadirnya otoritarianisme politik baru dengan slogan, katakanlah, "penyelamatan reformasi". Kecuali, tentu saja, hal itu memang menjadi agenda tersembunyi Golkar. Kolom ini dikutip dari Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini |