Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLEHKAH wakil rakyat menerima hibah miliaran? Jawaban untuk pertanyaan ini masih seru diperdebatkan, mengiringi heboh dana hasil hibah anggota parlemen yang sebulan lalu diumumkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Hadiah istimewa itu kini semakin mengundang rasa penasaran. Sikap responden jajak pendapat TEMPO terbelah dua, dengan mayoritas menolak. Padahal, hibah sejatinya mereka nilai lebih sebagai pemberian bersifat sukarela atau untuk kepentingan sosial.
Di Senayan, hibah telanjur jadi "barang panas" yang mengempiskan nyali. Buktinya, ketika Komisi Pemeriksa mengedarkan formulir yang harus diisi, baru 269 dari 500 orang yang mengembalikannya. Sisanya? Mungkin mereka ogah-ogahan karena keterlambatan cuma dikenai sanksi administratif yang belum jelas bentuknya. Tapi bisa juga anggota parlemen yang belum setor itu "mengatur strategi" untuk menghindari sorotan publik yang marak sejak hibah dipersoalkan.
Sebagian anggota parlemen memang ada yang tiba-tiba kaya raya begitu menjabat. Menurut Abdullah Hehamahua, Ketua Subkomisi Legislatif Komisi Pemeriksa, saat ini ada 11 anggota DPR yang diperiksa khusus karena dinilai mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak wajar.
Di mata mayoritas responden, kredibilitas para penerima hibah itu melorot. Selain itu, kata mereka, hibah membuka peluang terjadinya kolusi. Padahal, DPR punya fungsi penting selaku pengawas pemerintah. Memang, sampai sekarang belum ada anggota yang secara resmi dituduh menerima suap. Namun, menyimak berita ditemukannya selembar cek dari Dirjen Anggaran Departemen Keuangan Anshari Ritonga untuk anggota Fraksi PDI-P Aberson Marle Sihaloho, publik jadi bertanya-tanya. Tak mengherankan bila responden menilai anggota dewan yang menerima hibah sudah tak layak lagi menjalankan tugasnya.
Ada juga responden membela si penerima hibah. Alasan utama, pejabat juga punya hak pribadi sebagaimana warga lainnya. Hal ini bisa dipahami dengan kerangka hibah memang bukan barang haram dalam wilayah agama maupun undang-undang.
Hebatnya, jumlah hibah yang miliaran rupiah juga dinilai responden di kubu ini masih dalam jumlah yang wajar.
Soal hibah memang benar-benar bikin heboh.
Yusi Avianto Pareanom
Apakah hibah menurut pengertian Anda? | |
Pemberian sukarela | 46,2% |
---|---|
Pemberian dengan pamrih | 18,6% |
Pemberian untuk kepentingan agama dan sosial | 35,2% |
Bolehkah anggota DPR menerima hibah? | |
Ya, boleh | 40,6% |
Tidak | 59,64% |
Jika boleh, apa alasan Anda? | |
Hak pribadi pejabat yang bersangkutan | 73,8% |
Agar pejabat tidak tergoda memperkaya diri lewat korupsi | 29% |
Hibah yang diterima masih dalam jumlah wajar | 39% |
Hibah tidak dilarang undang-undang dan agama | 0,5% |
Selama tidak ada maksud penyuapan | 2,4% |
Asalkan hibah tidak disalahgunakan | 2,4% |
Digunakan untuk kepentingan sosial | 0,5% |
*Responden bisa memilih lebih dari satu jawaban | |
Jika tidak boleh, apa alasan Anda? | |
Mengurangi kredibilitas sebagai pejabat negara | 62,2% |
Membuka peluang terjadinya korupsi | 61,2% |
Hibah yang diterima dalam jumlah yang terlalu besar | 42,3% |
Bisa menimbulkan isu korupsi | 1,3% |
Karena dipakai untuk kepentingan pribadi | 1,3% |
Anggota DPR termasuk golongan yang mampu | 3,3% |
Hibah pasti punya pamrih | 0,7% |
Fasilitas yang diberikan pemerintah sudah mencukupi | 1% |
Banyak orang lain yang lebih pantas menerima hibah | 2% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. | |
Apakah anggota DPR yang menerima hibah masih layak menjalankan tugasnya sebagai pengawas pemerintah? | |
Tidak, karena tak punya kredibilitas | 23,6% |
Tidak, karena hibah yang mereka terima ada kaitannya dengan posisi sebagai anggota DPR | 31,3% |
Ya, karena hibah yang diterima tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka sebagai anggota DPR | 19% |
Ya, karena hibah yang diterima tak ada hubungannya dengan pemerintah | 26,1% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. | |
Metodologi jajak pendapat :
- Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 517 responden di lima wilayah DKI pada tanggal 15-18 September 2001. Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistage sampling), dengan unit analisis kelurahan dan rumah tangga. Dengan menggunakan ukuran sampel tersebut, estimasi terhadap nilai parameter mempunyai margin error 5 persen, dengan tak tertutup kemungkinan terjadinya non-sampling error. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka (56,5 persen) dan per telepon (43,5 persen).
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo